Mahasiswa IPB Rela Tinggal di Hutan Selama 10 Bulan demi Meneliti Monyet

Konten Media Partner
15 Juni 2021 9:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Indi selfie bersama monyet di hutan. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Indi selfie bersama monyet di hutan. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Tesis atau tugas akhir jenjang magister tak jarang menjadi momok bagi setiap mahasiswa. Sebab proses pengerjaan tesis yang menyita waktu, tenaga, biaya, dan pikiran membuat mahasiswa serasa ingin segera menyelesaikannya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dialami oleh pemilik akun Twitter @indiratendi. Demi tesis sebagai salah satu syarat kelulusan, perempuan yang merupakan mahasiswa S2 Biosains Hewan IPB itu harus tinggal hutan selama 10 bulan.
"Hari ini hari terakhir aku ambil data penelitian. Akhirnya setelah 10 bulan hidup di hutan, tiap hari ngikutin monyet," tulisnya.
Dihubungi Hi!Pontianak, pemilik nama lengkap Indira Nurul Qomariah itu menceritakan kisahnya melakukan penelitian tentang monyet di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Mulanya, ia ditawari topik penelitian tersebut oleh dosen pembimbingnya. Merasa tertarik dan pernah bekerja di pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan Timur, ia memutuskan untuk melakukannya.
"Dulu skripsi saya tentang lutung jawa di Jawa Timur. Lalu saya bekerja menyelamatkan siamang dan owa di Sumatera Utara. Setelah itu saya bekerja di pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan Timur. Sekarang saya berkesempatan melakukan penelitian tesis tentang monyet yaki di Sulawesi Utara," kata perempuan yang akrab disapa Indi kepada Hi!Pontianak, Selasa, 15 Juni 2021.
Indi meneliti monyet di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto: Dok. Pribadi
"Di awal kuliah S2 saya ditawari topik penelitian itu oleh dosen pembimbing, dan saya tertarik. Karena memang passion saya ingin belajar mengenai berbagai jenis primata di Indonesia," timpalnya.
ADVERTISEMENT
Tesis yang dibahas oleh Indi adalah perilaku tidur spesies monyet jambul hitam atau yaki (Macaca Nigra). Dari bangun tidur (5 pagi) hingga tidur kembali (5 atau 6 sore). Demi mendapatkan data yang diinginkan, Indi pun harus menetap dihutan selama 10 bulan. Tidak sendiri, ia temani oleh 2 orang mahasiswa, 3 orang field asisstant, 2 manager, dan 1 juru masak.
"Saya tinggal di hutan sejak 1 September 2020. Kami punya stasiun riset di dalam hutan. Ada dapur, kamar-kamar, toilet, dan lab. Tapi tidak ada listrik jadi kalau malam kami memakai genset," ungkapnya.
Perempuan asal Jakarta ini mengaku tidaklah mudah melakukan riset tersebut. Pasalnya, ia harus melewati proses habituasi atau pengenalan dengan monyet yaki selama 2 bulan agar tidak diserang. Bahkan, saat proses pengenalan ada lebih dari 200 ekor monyet yang diikutinya.
ADVERTISEMENT
"Selama habituasi, saya belajar mengenal, membedakan, dan menghafal nama monyet-monyet tersebut. Lalu karena penelitian perilaku itu banyak resiko subyektif, makanya butuh waktu lama dan data yang banyak agar hasil penelitian saya menjadi obyektif. Minimal pengamatan 1.000 jam agar datanya bagus. Total pengamatan saya adalah 148 hari atau sekitar 1.700 jam," jelasnya.
Monyet di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto: Dok. Pribadi
Selain itu, setiap hari minimal dirinya membawa 5 kilogram alat penelitian. Di antaranya, GPS untuk ambil data koordinat dan track, tablet dan kamera thermal atau infrared, handycam, mikrofon, minuman serta bekal makan siang.
Meski demikian, Indi mengaku, tidak menyesal dan merasa puas. Sebab banyak kenangan suka duka yang dialaminya. Mulai dari kehujanan sepanjang jalan, tidak dapat data sama sekali hingga digigit monyet.
ADVERTISEMENT
"Paling seru kalau ada bayi (monyet) yang lahir. Pengamatan jadi lebih berwarna karena betina yang punya bayi perilaku sosialnya sangat banyak. Ada banyak perilaku unik monyet yaki (Macaca Nigra), salah satunya mereka suka berpelukan ketika menyapa monyet yang lain," tuturnya.