PFI Desak Mahkamah Agung Cabut Larangan Foto dan Rekam Persidangan

Konten Media Partner
22 Desember 2020 11:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PFI Desak Mahkamah Agung Cabut Larangan Foto dan Rekam Persidangan
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Berbagai pihak menolak Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 tahun 2020, salah satunya dari Pewarta Foto Indonesia (PFI). PFI menilai kebijakan tersebut akan menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.
Perma yang dimaksud adalah Peraturan MA Nomor 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, tertanggal 4 Desember 2020. Secara khusus pada Pasal 4 ayat (6) mengatur terkait kewajiban adanya izin hakim/ketua majelis hakim untuk dapat 'Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual' dalam proses persidangan, dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan. Selain itu pada Pasal 7 Perma Nomor 5 tahun 2020 ini juga mengkualasifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
ADVERTISEMENT
"Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan yang sudah diatur di dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers Bab II/Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma," kata Ketua Umum PFI, Reno Esnir dalam keterangan tertulis yang diterima Hi!Pontianak, Selasa, 22 Desember 2020.
Menurutnya, MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Ia mengatakan, peran dan fungsi jurnalis dinilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus.
ADVERTISEMENT
"Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan. Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis," paparnya.
Mahkamah Agung (MA) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Reno menambahkan, larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.
"Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Peratuan MA yang serupa bukanlah hal yang pertama. Pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan 'Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan'. Walaupun pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.
"Berdasarkan uraian di atas, PFI mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma Nomor 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," pungkas Reno.