Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
RSJ Sungai Bangkong, Peninggalan Belanda di Pontianak yang Masih Melayani Pasien
18 Februari 2021 16:19 WIB
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Rumah Sakit Jiwa Pontianak sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Diperuntukkan untuk menampung masyarakat yang memiliki masalah dengan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Saat itu, sekitar awal tahun 1900, depresi berat melanda banyak warga di wilayah Kalimantan Barat.
Rumah sakit ini dibangun di kawasan Sungai Bangkong, yang waktu itu lokasi ini berada di luar Tanah Seribu, atau luar Kota Pontianak sekarang.
Saat itu rumah sakit ini sebagai bangunan terpencil, dipagari hutan rimbun dan rawa-rawa. Termasuk dalam wilayah Sekip Darat, dan dikenal sebagai Kampung Sungai Bangkong.
Karena itu, rumah sakit jiwa ini juga disebut rumah sakit Sungai Bangkong.
Beberapa tenaga kesehatannya berasal dari Batavia dan Surabaya. Mereka adalah alumni Stovia dan NIAS, dua sekolah kedokteran yang ada di Indonesia ketika itu.
Hingga masa pendudukan Jepang, dokter pribumi yang bertugas di sini adalah dr RM Ismael, yang dalam peristiwa pembantaian sadis Jepang tahun 1944, ikut jadi korban kebengisan militer Jepang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya nama dr Ismael tidak diabadikan untuk nama rumah sakit ini, sebagaimana nama dr Agusdjam di Ketapang, dr Rubini di Mempawah atau dr Soedarso di Pontianak, dan lain-lainnya.
Bangunan fisik Rumah Sakit Jiwa, yang zaman kolonial dulu dikenal sebagai Roemah Sakit Gila, dibangun sekitar tahun 1911, lebih dulu dari bangunan kantor Pos dan Telegraf, serta Sekolah Rakjat di Jalan Tamar.
Saat dr Soedarso, kemudian dilanjutkan dr RM Notosoenario menjadi Kepala Inspeksi Kesehatan Keresidenan, dan kemudian Propinsi Kalbar pada tahun 1958 hingga 1960, renovasi bangunan tersebut mulai dilakukan.
Sejalan juga semakin mekarnya daerah Kota Pontianak, sehingga keberadaan rumah sakit ini pun berada di dalam kota, seperti sekarang ini.
Penulis: Syafaruddin Usman, peminat kajian sejarah dan budaya Kalbar
ADVERTISEMENT