Konten Media Partner

Stigma Penari Lelaki di Pontianak, Dirisak hingga Dianggap Menyimpang

31 Desember 2021 18:24 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diego, seniman tari laki-laki di Pontianak. Foto: Dok Hi!Pontianak
zoom-in-whitePerbesar
Diego, seniman tari laki-laki di Pontianak. Foto: Dok Hi!Pontianak
ADVERTISEMENT
Menjadi penari lelaki di Indonesia khususnya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat memang penuh tantangan. Tak hanya sempitnya ruang berkarya, homophobia juga menjadi penghalang. Ragam persekusi dialami, hingga pembubaran kegiatan beberapa waktu silam. Tri Purnawati dari Hi! Pontianak merekam sejumlah kejadian itu lewat jurnal mendalam berikut ini :
ADVERTISEMENT
Ini ada LGBT-LGBT ya?”
Adalah kata-kata yang dilontarkan oleh satuan polisi pamong praja (Satpol PP) saat membubarkan peringatan hari tari sedunia yang digelar Fakultas KIP Universitas Tanjungpura Pontianak, 2019 silam.
Peristiwa itu masih lekat dalam ingatan Ismunandar. Pria paruh baya yang merupakan Dosen Seni Tari Universitas Tanjungpura ini menyebut, pembubaran peringatan hari tari sedunia yang terjadi 2019 silam sebagai peristiwa traumatis, khususnya bagi para penari pria.
“Waktu mereka datang dan ingin membubarkan kegiatan kami dengan alasan ada kelompok LGBT, saya langsung protes. Saya bilang enggak ada. Masa orang menari langsung dikatakan LGBT. Mereka hanya menari, tidak melakukan hal lain,” ucap pria yang kerap disapa Bang Is ini.
Ekspresi Diego saat tampil di atas panggung dalam sebuah pementasan. Foto: Dok Hi!Pontianak
Pada saya, Bang Is bersedia berbagi cerita tentang apa yang terjadi di malam 29 April 2019 itu. Menurutnya, sejumlah orang dan satpol PP menganggap peringatan Hari Tari itu sebagai ajang berkumpulnya kelompok LGBT di Pontianak. Alasan mereka, karena ada sejumlah laki-laki yang menari-nari dalam peringatan itu.
ADVERTISEMENT
Padahal, ada banyak sanggar tari yang terlibat dalam peringatan itu. Mereka datang dari berbagai daerah, untuk menyemarakkan acara.
“Jadi ada penari tradisional, kontemporer, dan modern. Ada penari laki-laki, dan ada juga penari perempuan. Memang acara ini kita gelar setiap tahun di ruang terbuka. Penari saya tiba-tiba dibawa, mau diamankan. Saya sebagai penanggung jawab acara, saya lindungi, dan saya dicekik. Saya melindungi penari saya dong. Dia datang dengan sah, dan acaranya legal, ada suratnya. Jadi bukan acara yang asal,” ujarnya.
Saat kejadian, ia sempat dicekik dan dipukul pada bagian kepala, karena melindungi penari laki-laki yang akan dibawa mereka.
“Saya menjadi korban pada saat itu. Saya sempat dicekik, dan dipukul bagian kepala, lalu teman-teman dari mahasiswa mencoba melerai dan membantu saya,” ucapnya.
Seniman tari laki-laki di Pontianak masih mengalami stigma dari masyarakat. Foto: dok Hi!Pontianak
Kericuhan itu sempat membuat acara terhenti. Acara dilanjutkan setelah Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, datang untuk memediasi pihak penyelenggara acara dan kelompok yang ingin membubarkan acara. Dari mediasi itu, Wali Kota mengizinkan acara dilanjutkan hingga tuntas.
ADVERTISEMENT
Menurut Bang Is, apa yang terjadi pada 2019 silam merupakan bukti kurangnya pemahaman masyarakat terhadap profesi penari, utamanya penari laki-laki.
Di Pontianak, penari laki-kali kerap mendapat stigma negatif dan dianggap menyimpang. Ini juga yang membuat peminat jurusan tari di FKIP Untan terbilang sedikit.
“Saya pikir fenomena ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat, sampai muncul stigma tersebut. Padahal, dalam tarian, ada genrenya atau karakternya masing-masing. Pemahaman ke masyarakat itu perlu, sebagian besar masih perlu diedukasi,” terangnya.
Wido, Seniman tari laki-laki di Pontianak membawakan modern dance. Foto: Dok Hi!Pontianak
Mereka yang dirisak
Apa yang menimpa para penari pada 2019 lalu, ternyata bukanlah akhir dari stigma bagi para penari, utamanya penari laki-laki. Saya menemui sejumlah penari laki-laki asal Pontianak, untuk melihat bagaimana perspektif mereka tentang berbagai stigma yang dilekatkan oleh publik.
ADVERTISEMENT
Saya bertemu Diego. Penari lulusan kampus Seni Tari FKIP Universitas Tanjungpura. Saat ini, ia tengah sibuk menjadi pengajar di sebuah sekolah tari. Namun jauh sebelum penerimaan saat ini, Diego adalah korban perundungan.
“Jadi, aku nekat daftar tari. Awalnya malu, karena stigma penari cowok kan kemayu gitu. Kawanku banyak yang mengejek. Kalau penari itu melambai lah, banci lah, bencong lah. Sempat down. Tapi aku bawa enjoy aja semua bullyan itu,” katanya.
Diego merupakan penari laki-laki yang fokus dengan genre tarian tradisional. Karakter yang ia tampilkan dalam setiap tarian adalah karakter dengan perawakan dan perwatakan yang tegas dan bijaksana. Namun, lingkungan Diego tak menerima alasan itu. Bagi mereka menari hanyalah kegiatan yang dilakukan oleh perempuan. Laki-laki tak seharusnya meliuk-liuk dan memperagakan tarian apapun.
Stigma terhadap penari laki-laki di Pontianak juga dialami para penari modern. Foto: Dok Hi!Pontianak
“Semua keraguan dan hinaan tidak membuat saya mundur. Buktinya, saya menang juga di berbagai lomba. Semua ejekan saya jadikan amunisi untuk menunjukkan bakat saya,” kata Diego.
ADVERTISEMENT
Saya juga bertemu Winando atau Wido. Saat ini, ia sedang melanjutkan pendidikan di bidang seni tari di kampus ISI Surakarta. Wido adalah korban perisakan di dunia maya, karena kecintaannya pada menari.
Kata Wido, belum banyak yang memahami, bahwa menari itu tidak terpaku pada gender tertentu. Tidak ada batasan tentang siapa yang boleh dan tidak boleh menari.
“Aku sempat dijudge. Ya, memang masih banyak stigma negatif ke penari laki-laki di kalangan masyarakat, khususnya di Pontianak. Kebetulan aku juga menari cross gender, nah itu juga masih susah diterima di masyarakat. Jangankan cross gender, menari sebagai laki-laki aja masih sering dicela,” jelasnya.
Perundungan yang ia terima berawal dari beredarnya video Wido sedang menari yang direkam dan disebarkan tanpa consent (persetujuan) di media sosial.
ADVERTISEMENT
“Jadi, waktu itu aku gak tau siapa yang ngirim video itu ke akun Instagram cukup besar di Pontianak. Akhirnya aku dibully sama netizen, dan banyak komentar negatif yang aku lihat di sana. Sempat down, tapi aku jadiin motivasi buat berkembang lebih baik,” tuturnya.
Hal yang hampir serupa dialami Dani. Ia juga sering dirundung karena memilih menjalani profesi sebagai penari. Ia bahkan pernah dirisak secara langsung, saat akan menari di salah satu cafe di Pontianak.
“Apasih laki-laki kok ngedance? Kok jadi laki-laki letoy banget, kok laki-laki lentur sih? Itu kata mereka. Saya harap, jangan lagi ada yang memandang negatif laki-laki yang berprofesi sebagai dancer, kita juga bisa berprestasi dengan cara kita,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir saya berjumpa dengan Nanda, lulusan ISI Yogyakarta jurusan seni tari ini mengaku kerap mendapat stigma. Kata Nanda, ia kerap dirisak dan diremehkan, karena memilih menjadi penari.
“Sebenarnya, saya bisa mematahkan stigma itu. Saya sering ditanya, kuliah seni? Mau jadi apa? Tapi ya ngapain terlalu dipikirkan, keluarga selalu dukung kok, dan mereka yang menyaksikan perjalanan saya hingga saat ini,” ucapnya.
Meski mendapat stigma hingga risakan, Nanda tak pernah menyesali keputusannya untuk menjadi penari. Ia justru merasa bangga, karena di tengah berbagai stigma yang diterima penari laki-laki, ia mampu membuktikan kemampuannya dengan memenangkan berbagai kompetisi nasional hingga internasional.

Sejarah Seni Tari

Berbagai perundungan yang diterima oleh para penari laki-laki tidak lepas dari keyakinan dan budaya patriarki yang melekat turun temurun di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya kita saat ini, laki-laki adalah sosok yang tegas, keras dan tidak boleh lemah lembut. Memilih profesi sebagai penari, seakan mempertegas bahwa sifat kelaki-lakian dalam diri para penari akan berganti menjadi sifat perempuan.
Padahal, jika kita mengulik sejarah dan budaya menari, utamanya di Suku Melayu, para penari adalah laki-laki. Perempuan tidak diizinkan untuk menari. Dosen Seni Tari FKIP Universitas Tanjungpura, Ismunandar mengatakan, sejarah ini banyak tak diketahui oleh masyarakat.
“Kalau tahu sejarahnya di Melayu, awalnya laki-laki yang menari. Tidak boleh wanita menari. Karena Melayu, dengan budaya Islamnya, perempuan dilarang menampakkan auratnya. Maka laki-laki penarinya, seperti penari japin,” ujarnya.
Seiring perkembangan zaman, sekitar pada tahun 50-an, penari perempuan Melayu mulai bermunculan. Perempuan mulai ikut menari, namun dengan gerakan atau karakter yang dibatasi, atau lebih lembut dari penari laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengamat tari, Bang Is menceritakan, setiap tarian itu memiliki karakternya masing-masing, seperti laki-laki biasa membawakan tarian dengan watak atau karakter yang gagah, tangguh, dan kuat. Sedangkan penari perempuan biasanya membawakan gerakan dengan watak lembut, dan halus.
“Tarian itu ada karakteristiknya. Misalnya seperti di Jawa, ada penari yang membawakan gerakan perempuan, itu karena masih mengikuti tradisi dulu, bahwa perempuan tidak boleh menari, sehingga dia memperagakan tarian perempuan,” katanya.
Bang Is juga bercerita, pada saat ia mulai melanjutkan pendidikan di dunia tari, di tahun 80-an, tak ada stigma terhadap penari laki-laki. Bahkan pada saat itu, jumlah penari laki-laki masih cukup banyak dari penari perempuan.
“Dulu zaman saya mulai menari, gak ada ini stigma-stigma kayak gini. Contohnya saja di kampus seni ini, penari laki-lakinya mungkin setiap angkatan hanya ada 3 sampai 5 penari laki-laki,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ia berharap, makin banyak ruang aman bagi para penari laki-laki di Pontianak. Untuk menciptakan ruang aman ini, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah.
“Penari-penari di Pontianak ini sangat berpotensi, hanya saja kurang didukung. Kita juga berharap pemerintah dapat memberikan fasilitas kepada seniman, misalnya panggung terbuka sekaligus dapat mengedukasi masyarakat, dan menjadi hiburan dalam suatu penampilan,” imbuhnya.
Jika dilihat dari kacamata pengamat sosial, stigma yang dilekatkan pada penari laki-laki bukanlah fenomena baru di masyarakat. Pengamat Sosial dari FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Dr. Muhammad Fedryansyah, mengatakan, di beberapa daerah terdapat jenis tarian tradisional yang memang secara khusus hanya diperagakan oleh penari laki-laki.
Seiring dengan perkembangan, jenis tarian juga berkembang. Tak hanya tarian tradisional, tetapi juga berkembang menjadi tarian kontemporer atau dikenal dengan istilah tarian modern. Jenis tarian modern ini lebih bersifat terbuka, bisa diperagakan oleh laki-laki maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
“Masih ada sebagian masyarakat yang belum menerima laki-laki yang berprofesi sebagai penari. Dalam konteks ini, laki-laki yang memperagakan tarian modern atau kontemporer, dipandang tidak mencerminkan maskulinitas,” paparnya.
Secara sosiologis, pria yang akrab disapa Fedry ini mengatakan, pemahaman mengenai dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis antara individu dan dunia sosio-kultural. Proses tersebut mencakup tiga momen simultan yang dikenal dengan istilah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
“Sejak anak-anak, sudah ditanamkan nilai-nilai mengenai pemisahan antara permainan anak laki-laki dengan anak perempuan. Seperti misalnya anak laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan (mencerminkan maskulinitas), sedangkan anak perempuan diberikan mainan boneka (mencerminkan feminimitas),” tuturnya.
Pemisahan ini menciptakan pandangan, bahwa anak laki-laki tidak boleh bermain boneka, serta sebaliknya. Proses ini menunjukkan adanya proses dialektis dari ketiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang terjadi melalui proses sosialisasi primer. Hal ini juga terjadi ketika laki-laki berprofesi sebagai penari, terutama penari modern atau kontemporer.
ADVERTISEMENT
Fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang dibentuk di masyarakat, menunjukkan bahwa menari merupakan kegiatan yang boleh dilakukan oleh perempuan, karena dipandang lebih feminim. Sehingga laki-laki yang melakukan gerakan tarian dipandang tidak mencerminkan maskulinitasnya.
Konstruksi sosial yang berlangsung di masyarakat ini kemudian menciptakan adanya stigma terhadap laki-laki yang berprofesi sebagai penari, yakni laki-laki yang tidak maskulin.
Ia mengatakan, fenomena ini tentunya menimbulkan permasalahan yang lain, ketika perbedaan gender menjadi dasar untuk melakukan pembatasan atau pemisahan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemisahan berdasarkan gender tersebut dapat bertentangan dengan kebebasan berekspresi sebagai wujud implementasi Hak Asasi Manusia. (*)
*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT