Konten Media Partner

Tenun Ikat Dayak, Kerajinan Khas Sintang di Kalbar yang Telah Mendunia

26 Oktober 2019 10:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anastasia, Koordinator Kelompok Kapas Desa Umin Jaya menunjukan tenun ikat Dayak dengan panjang 2,2 meter. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
zoom-in-whitePerbesar
Anastasia, Koordinator Kelompok Kapas Desa Umin Jaya menunjukan tenun ikat Dayak dengan panjang 2,2 meter. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Kabupaten Sintang tak hanya terkenal dengan wisata alam Bukit Kelam. Tapi juga kerajinan khasnya yang mendunia. Yakni, tenun ikat dayak yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan pernah meraih Upakarti.
ADVERTISEMENT
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Kabupaten Sintang, Siti Musrikah mengatakan, tenun ikat sudah dikenal di beberapa negara besar seperti Amerika, Belanda, Jerman, Italia serta beberapa negara Eropa lainnya. “Kalau di Pulau Borneo, semua sudah mengenalnya,” ujarnya, Sabtu (26/10).
Tenun ikat Dayak yag dibuat oleh pengrajin di Sitang, Kalbar. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
Bahkan, kata Siti, ketika melakukan pameran di Swedia pembelinya juga luar biasa. “Mereka melihat sesuatu yang unik, ketika banyak orang sudah meninggalkan itu,” ucapnya.
Ia mengatakan, ketika melakukan pameran di luar negeri, yang dilakukan tidak hanya promosi produk tenun ikat saja. Tapi juga mempromosikan Kabupaten Sintang ke dunia. “Selain promosi produk, kita juga mengenalkan Sintang. Di Kalbar ini, Sintang berada di mana sih? Ini yang kita jelaskan,” kata Siti.
Sejumlah ibu-ibu penenun menawarkan kain tenun ikat khas dayak saat di Gedung Pancasila Sintang. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
Siti mengatakan, tenun ikat Sintang ada dua proses pewarnaan. Yakni pewarnaan alami dan kimia. “Dua-duanya ada di Sintang dan asli. Kadang, ada yang bilang kalau pewarnaan kimia tidak asli. Padahal itu asli,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Dijelaskannya, jika menggunakan pewarna alami bahan yang digunakan bermacam-macam. Diantaranya akar pohon, daun-daunan, kulit kayu serta tumbuhan. “Memang ada kendala bahan baku jika menggunakan pewarna alami, karena prosesnya lama. Contoh, kalau mengambil akar pohon mengkudu, kan tidak bisa cepat,” ungkapnya.
Solusinya, pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Sintang menepatkan kawasan ekobudaya. Agar bisa meremajakan kembali bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaan alami.
Salah seorang pengrajin menunjukan hasil kerajin tenun ikat. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
“Contohnya seperti pohon mengkudu tadi. Pohon ini boleh diambil untuk pewarna alami setelah lima tahun. Makanya, harus ditanam kembali,” beber Siti.
Selain itu, daun Tarum juga bisa digunakan. Tapi, kalau sudah berbuah warnanya berkurang. “Kalau di luar, sudah mulai membuat powder (tepung) dari Tarum. Tapi, kami sudah coba. Kualitasnya tetap bagus yang alami,” jelas Siti.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang, Yosepha Hasnah mengatakan, tenun ikat Sintang sudah beberapa kali menerima penghargaan dari pemerintah. Penghargaan itu antara lain sebagai Warisan Budaya Tak Benda, Upakarti dan sebagai pelestari yang diterima oleh Pastor Jacque Manssen.
Selain kain, tenun ikat khas dayak juga diproduksi dalam bentuk syal. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
“Tenun ikat Sintang merupakan salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) jika kita mengacu Undang Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan,” tuturnya.
Ia menambahkan, tenun ikat dapat mengakomodir 7 dari total 10 OPK yang dapat dijelaskan secara rinci. Pertama: Tradisi lisan. Tenun ikat Sintang diwariskan secara turun-temurun dengan menggunakan bahasa tutur dari nenek moyang ke anak cucu.
Kedua: Tenun ikat Sintang juga merupakan rangkaian adat istiadat yang mempunyai aturan-aturan tertentu yang dipercayai oleh semua penenun untuk tidak dilanggar sesuai dengan pakem-pakemnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga: Ritus. Dalam proses pembuatan tenun ikat para penenun melakukan ritual saat persiapan, pelaksanan dan setelah menenun. Keempat: Pengetahuan tradisonal. Para penenun memiliki ilmu pengetahuan tradisional yang tidak pernah tercatat dalam buku. Tapi tersimpan kuat dalam ingatan masing-masing dari nenek moyang hingga generasi penerus saat ini.
Kerajinan tenun ikat Sintang sudah dikenal hingga mancanegara. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
Kelima: Teknologi tradisional. Para penenun tetap menggunakan alat-alat sederhana dan handmade yang masih terpelihara hingga saat ini yang belum tersentuh alat tenun bukan mesin atau mesin produksi massal lainnya.
Keenam; seni. Melalui tenun ikat tercipta karya, karsa dan cipta yang luar biasa berupa motif tenun yang penuh dengan makna dan cerita. Semua itu berisi petuah-petuah dari para leluhur pada generasi muda.
Ketujuh: Bahasa. Para penenun menggunakan bahasa asli ibunya dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan menenun pada anak cucu mereka.
Sekda Sintang Yosepha Hasnah meninjau proses pembuatan tenun ikat saat Festival Tenun Ikat di Museum Kapuas Raya. Foto: Dok Hi!Pontianak
Yosepha menegaskan, warga Kabupaten Sintang patut bangga karena penuh adat budaya dan kearifan lokal yang memperkaya khazanah budaya bangsa. “Jangan sampai adat budaya itu hilang dari peradaban, tetap wariskan pada generasi penerus,” pintanya.
ADVERTISEMENT
“Kita jangan terlena meski saat ini ratusan penenun masih produktif. Tenun ikat Sintang harus tetap produktif dan lestari,” timpalnya.
Sementara itu, Anastasia, Koordinator Kelompok Kapas Desa Umin Jaya mengatakan, untuk membuat tenun ikat dengan pewarna alami bahannya susah didapat. Karena harus menanam terlebih dahulu dan perlu waktu lama agar bisa digunakan.
Tenun ikat Sintang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Foto: Yusrizal/Hi!Pontianak
“Kalau menggunakan akar mengkudu, paling tidak harus lima tahun umurnya. Baru bisa menghasilkan warna yang bagus. Selain mengkudu, pewarna alam lainnya adalah Lengkar, Engkerebang dan Tarum,” bebernya.
Ia menjelaskan, untuk membuat kain tenun dengan panjang 2,2 meter memerlukan waktu hingga dua bulan. Idealnya, harga per kain Rp 1 juta. Namun, pihaknya sering menjualnya dengan harga sekitar Rp 800 ribu. “Dalam sebulan, paling bisa menjual 1-2 helai kain tenun ikat,” tukas Anastasia.
ADVERTISEMENT