news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Membincang Fenomena Pelabelan NPD (Narcissistic Personality Disorder)

Holy Wahyuni
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSurabaya
11 Maret 2025 12:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Holy Wahyuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen pribadi didesain dengan Canvapro
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen pribadi didesain dengan Canvapro
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, sebagai pengajar saya beberapa kali mendapat celetukan ketika mahasiswa lebih memilih diam daripada aktif berargumen di kelas, “Takut dicap NPD, Bu, Saya,” atau jawaban senada. Demikian halnya di media sosial, belakangan juga dipenuhi dengan label-label psikologis yang digunakan secara serampangan. Salah satu yang paling sering muncul adalah "NPD" atau Narcissistic Personality Disorder.
ADVERTISEMENT
Saya memang bukan ahli psikologi, hanya seorang pengajar dan kebetulan juga suka mengamati tren di media sosial. Namun rasanya cukup tergelitik, setiap kali ada seseorang yang percaya diri, vokal, atau sekadar membangun personal branding, ada saja yang berkomentar, "Wah, ini NPD nya kuat banget!" Padahal, kalau merujuk pada teori psikologi yang sebenarnya, NPD bukan sekadar rasa percaya diri yang tinggi atau kebiasaan memamerkan pencapaian di media sosial.
NPD atau Gangguan Kepribadian Narsistik adalah kondisi psikologis serius yang didefinisikan sebagai pola grandiositas yang terus-menerus, kebutuhan akan pujian yang berlebihan, serta kurangnya empati terhadap orang lain. Gangguan ini juga bukan sekadar soal seseorang yang suka pamer atau ingin diakui. Penderita NPD sering kali memiliki ketidakstabilan dalam hubungan sosial, sulit menerima kritik, dan memiliki kecenderungan mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi. Dengan kata lain, label "NPD" yang sembarangan digunakan di media sosial sering kali terlalu menyederhanakan dan bahkan mengaburkan pemahaman yang benar tentang gangguan ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak dari tren pelabelan cepat ini adalah rusaknya kepercayaan diri seseorang. Misalnya, ada mahasiswa yang memang memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan dosen, atau mempresentasikan tugas di depan kelas, tetapi urung karena takut dilabeli narsis. Atau ada individu yang sebenarnya hanya sedang membangun personal branding—sesuatu yang wajar dan bahkan diperlukan di era digital—namun langsung dilabeli NPD.
Akibatnya, mereka mungkin mulai mempertanyakan diri sendiri, takut terlihat terlalu percaya diri, dan akhirnya menghambat potensi mereka dalam menunjukkan kompetensi. Ini sejalan dengan teori "Self-Fulfilling Prophecy" yang dikemukakan oleh Robert Merton, di mana label sosial yang diberikan pada seseorang dapat mempengaruhi bagaimana mereka melihat diri sendiri dan bertindak sesuai dengan label tersebut.
Pelabelan Cepat NPD dan Pembungkaman Performa
ADVERTISEMENT
Selain itu, fenomena ini juga bisa dikaitkan dengan konsep "Imposter Syndrome", di mana seseorang merasa tidak pantas atau tidak cukup baik, meskipun mereka sebenarnya kompeten. Ketika seseorang yang berusaha membangun citra diri di media sosial terus-menerus diberi label NPD, mereka bisa mulai ragu terhadap diri sendiri dan merasa bahwa pencapaian mereka hanyalah kebohongan belaka. Padahal, ada perbedaan besar antara seseorang yang narsistik dalam pengertian sehari-hari dan mereka yang benar-benar mengalami gangguan kepribadian narsistik.
Lebih jauh, kita juga bisa melihat fenomena ini dari sudut pandang Foucault tentang "biopolitik" dan bagaimana wacana medis atau psikologis bisa digunakan sebagai alat kontrol sosial. Ketika seseorang yang vokal atau percaya diri dilabeli dengan istilah klinis seperti NPD, ini bisa menjadi cara untuk meredam suara mereka. Masyarakat seolah lebih nyaman dengan individu yang tidak terlalu menonjol, dan siapa pun yang terlihat berbeda atau lebih dominan dalam menampilkan dirinya berisiko dianggap memiliki gangguan psikologis.
ADVERTISEMENT
Personal branding sendiri merupakan strategi yang sah dalam membangun karier dan citra diri di era digital. Konsep ini berkaitan dengan bagaimana seseorang memposisikan diri mereka dalam lingkungan profesional atau sosial, dengan menampilkan keahlian, nilai, dan keunikan mereka. Berbeda dengan NPD, personal branding tidak melibatkan eksploitasi orang lain atau kebutuhan akan validasi berlebihan, justru, ia lebih bertujuan pada peningkatan kesadaran diri dan strategi komunikasi yang efektif.
Jadi, sebelum buru-buru melabeli seseorang dengan NPD hanya karena mereka percaya diri atau sering membagikan pencapaiannya, ada baiknya kita memahami dulu teori psikologis yang mendasarinya. Tidak semua orang yang vokal atau suka membangun citra diri adalah narsistik dalam arti klinis. Sebaliknya, pelabelan sembarangan justru bisa berdampak buruk bagi mereka yang sedang dalam proses membangun kepercayaan diri. Sebagai pengguna media sosial, kita perlu lebih kritis dan reflektif sebelum mengadopsi istilah psikologi tanpa pemahaman yang memadai.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Cara Menyikapi
Untuk menyikapi fenomena ini dengan lebih bijak, kita bisa menerapkan teori "Etika Komunikasi" dari Jurgen Habermas, yang menekankan pentingnya komunikasi yang rasional, terbuka, dan berbasis pada pemahaman bersama. Sebelum memberi label pada seseorang, ada baiknya kita bertanya apakah yang kita katakan membantu atau justru merugikan.
Selain itu, teori "Dramaturgi" dari Erving Goffman juga relevan, di mana manusia memang cenderung menampilkan diri mereka secara berbeda tergantung pada situasi sosialnya. Ini berarti, apa yang seseorang tampilkan di media sosial bisa jadi hanya bagian dari "panggung depan" mereka, bukan cerminan sejati dari keseluruhan kepribadian mereka.
Lebih lanjut, penting juga untuk menerapkan prinsip "Charitable Interpretation" dalam interaksi sosial kita. Daripada langsung menghakimi seseorang sebagai narsistik, kita bisa mencoba memahami motivasi mereka dengan sudut pandang yang lebih positif. Dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan media sosial yang lebih suportif dan sehat, di mana orang merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dilabeli secara negatif.
ADVERTISEMENT