4 Hal Menyenangkan yang Bisa Dilakukan di Port Moresby, Papua Nugini

Horionsah Hasan
Father & Husband - Civil Servant - Rookie Gardener & Farmer - World Wanderer
Konten dari Pengguna
21 Juli 2019 0:02 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Horionsah Hasan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Papua Nugini. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Papua Nugini. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
“Kerja di mana, Mas?”, seorang bapak bertanya sewaktu aku menunggu pesawat dari Jakarta menuju Denpasar, sebelum terbang ke Port Moresby, Papua Nugini.
ADVERTISEMENT
“Kerja di Papua Nugini, Pak,” jawabku.
“Oh, Papua..” jawabnya. Berhenti sampai di situ saja. Dalam hati, aku menduga bahwa beliau berpikir kalau Papua Nugini adalah Provinsi Papua atau Provinsi Papua Barat-nya Indonesia.
“Papua Nugini, Pak,” sambungku lagi. “Yang di luar negerinya. Kalau Papua, Indonesia, di bagian kepala hingga pinggang Pulau Papua. Nah ini di bagian pinggang hingga ekornya” aku menjelaskan tanpa diminta. Ini bukan kali pertama terjadi.
“Oh..”, bapak itu mengangguk-angguk. “Saya pikir Papua kita,” lanjut si bapak.
Kejadian tersebut aku alami beberapa tahun lalu sewaktu ditugaskan di Port Moresby. Port Moresby adalah sebuah kota di ujung Pulau Papua, pulau di mana kita berbagi kedaulatan dengan Papua Nugini, negara yang malah menurutku tak begitu populer di telinga orang Indonesia.
Indonesia dan Papua Nugini berbagi Pulau Papua (Sumber: Google Map)
Port Morebsy, nama sebuah kota yang ketika terdengar cukup keren. Aku datang ke kota itu dengan banyak sekali gambaran-gambaran yang sudah ku dengar sebelumnya. Gambaran yang kurang menyenangkan, mengingat kota ini katanya adalah salah satu kota paling rawan kriminal di dunia.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di sana, aku langsung diingatkan oleh beberapa staf di Kedutaan Besar Republik Indonesia supaya berhati-hati. Kota ini tak ramah manusia. Perampokan dan pencurian oleh raskol terjadi di mana-mana, yang tidak mengenal waktu dan tempat.
“Bisa saja ketika sedang berjalan-jalan di dalam mall, kita melihat perampokan atau pembunuhan di depan mata,” ujar Mas Maman, seorang staf KBRI Port Moresby, yang selalu mengingatkanku.
Waduh, terbayang di benakku, kehidupan tiga tahun mendatang akan cukup membosankan. Rumah, kantor, dan sesekali berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Hal yang ternyata ku lakukan di minggu-minggu pertamaku di Port Moresby. Rutinitas yang untuk sebagian orang mungkin akan sedikit menyiksa.
Namun tak butuh waktu yang lama bagiku untuk mulai merasa betah di Port Moresby. Entah karena kepribadianku yang memang tidak terlalu suka kota besar atau karena aku mulai menemukan ritme rutinitas ku sendiri. Ternyata tinggal di Port Moresby tidak semenyeramkan yang digambarkan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Selain rutinitas sehari-hari, ada empat hal menyenangkan yang pernah ku lakukan ketika tinggal di sana. Empat hal ini tidak ku sangka ternyata bisa lho dilakukan di negara para raskol ini.
Menjelajahi Alam PNG yang Mengagumkan
Papua Nugini atau Papua New Guinea (PNG) terkenal dengan trek yang sangat menantang di dunia, termasuk Kokoda Track, sebuah lintasan pertempuran sengit sepanjang 96 km yang dulunya melibatkan pasukan Australia dan Jepang selama Perang Dunia II. Selain menjadi magnet pagi petualang asal kedua negara tersebut, jalur tersebut setiap tahunnya dikunjungi oleh ribuan trekkers dari berbagai penjuru dunia.
Batas Indonesia-Papua Nugini, PLBN Skouw Foto: Antara Foto/Wahyu Putro A
Selain Kokoda Track, masih banyak jalur trekking lainnya di PNG, termasuk di ibu kota Port Moresby. Aku bergabung dengan Port Moresby Bushwalking Club, sebuah klub pelintas alam yang mayoritas pesertanya adalah para pekerja asing yang tinggal di kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyak tempat indah yang aku lihat ketika bergabung dengan klub tersebut. Mulai dari menjajal puncak tertinggi di Port Moresby, Varirata National Park, hingga meninjau peternakan sapi di Koitaki Country Club. Mulai dari menikmati indahnya pedalaman di Sogeri, hingga melintasi Bomana War Cemetary, tempat makam tentara Perang Dunia II.
Setiap perjalanan itu sangat berkesan. Melihat dan mendengar kicauan burung cenderawasih dari jarak dekat. Berjumpa dengan hewan liar maupun tumbuhan liar seperti anggrek yang cuma ada di PNG. Berenang melintasi anak sungai, membeli sayuran atau buah-buahan segar langsung dari petani yang kebunnya aku lewati. Dan tentu saja hal yang menjadi kesukaaku, bertemu dengan masyarakat lokal yang terlihat garang tapi sangat bersahabat.
Masyarakat di Nugini. Foto: Milton Kwaipo/Caritas Australia via Reuters
Berwisata ke Pulau-pulau Eksotis di Pasifik
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Indonesia, PNG juga merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 600 pulau. Beberapa lokasi terkenal di PNG yang menjadi tempat favorit beberapa selebritas dunia adalah Milne Bay, Panasia Island, Tufi, Madang, Kavieng, dan Nusa Island.
Nah, kalau favoritku adalah Fisherman Island, sebuah pulau tak berpenghuni di Samudera Pasifik yang jaraknya hanya satu jam dari Port Moresby. Pulau ini dapat diakses dengan perahu sewaan dari nelayan lokal. Pagi hari merupakan waktu terbaik untuk berkunjung ke pulau yang dikelilingi pasir putih ini.
Pulau tersembunyi ini memiliki banyak keindahan alam yang masih jarang disentuh, apalagi dieksplor. Selain berjalan kaki mengitari pulau, pengunjung juga dapat melakukan aktivitas diving, snorkeling, maupun memancing. Setelah itu, apalagi kalau bukan masak dan makan hasil tangkapan ikan. Seru sekali bukan?
ADVERTISEMENT
Mengenal Budaya PNG yang 'Kaya'
PNG merupakan negara dengan bahasa terbanyak di dunia yaitu sekitar 850 bahasa. Selain itu, terdapat beragam suku di PNG yang tentunya disertai dengan ragam budaya yang sangat menarik untuk dikenali. Ada beberapa museum di Kota Port Moresby yang bebas untuk dikunjungi, salah satunya adalah National Museum and Art Gallery.
Salah satu budaya yang membuat aku mengernyitkan dahi adalah kebudayaan Suku Chambri, salah satu suku asli pedalaman PNG yang berada di Provinsi East Sepik. Di beberapa sudut dunia, banyak terdapat tradisi dalam melepas peralihan anak laki-laki menjadi pria dewasa. Namun, ada yang berbeda dari Suku Chambri yaitu, anak laki-laki akan beralih menjadi 'buaya'. Lho?
Suku Chambri percaya bahwa buaya di Sepik River berevolusi jadi manusia yang selanjutnya menjadi nenek moyang mereka. Untuk memberikan penghormatan kepada leluhur mereka, setiap anak laki-laki yang akan menuju dewasa akan menjalani tradisi di mana kepala suku akan menyayat kulit anak tersebut. Bekas luka sayatan itu akan berbentuk menyerupai sisik buaya.
ADVERTISEMENT
Menjalani Hobi di PNG
Warga Papua Nugini Belanja Lintas Perbatasan Foto: ANTARA/Agung Rajasa
Kegiatan yang satu ini adalah caraku untuk 'membunuh' rasa bosan apabila tidak bisa keluar rumah. Selama tinggal di Port Moresby, aku punya hobi baru yaitu memasak dan berkebun.
Hampir setiap akhir pekan aku bertandang ke Koki Fish Market dan pusat perbelanjaan di Port Moresby. Koki Fish Market adalah pusat jual beli pangan laut segar hasil tangkapan nelayan lokal. Mulai dari berbagai jenis ikan, kepiting, lobster, hingga penyu.
Yang unik dari tempat ini adalah panganan laut tersebut tidak dijual per kilo, tapi per ekor atau per ikat. Harganyapun sangat murah. Bayangkan saja, aku pernah membeli lima ekor lobster besar dengan harga PGK 10 (Rp 40 ribu) saja. Seekor kepiting seberat satu kilo hanya dijual dengan harga sekitar Rp 20 ribu.
ADVERTISEMENT
Nah, karena takut kolesterol naik keseringan makan makanan laut, perlu diimbangi dengan asupan sayuran dan buah-buahan. Produk sayuran dan buah-buahan impor asal Australia sangat mudah didapatkan di Port Moresby. Tentu saja harganya selangit. Alternatif lain untuk mendapatkan sayuran dengan harga yang jauh lebih terjangkau adalah menjajal pasar tradisional yang menjual banyak produk segar. Namun keberadaan raskol membuat aku tidak begitu bebas untuk berbelanja ke pasar tradisional. Solusi lainnya, ya tanam sendiri di sekitar rumah.
Oleh karena itu, berkebun menjadi hobi utama ku selama lebih dari tiga tahun tinggal di Port Moresby. Tanah PNG sangatlah subur jadi tidak perlu tambahan nutrisi kimia sama sekali. Bibit impor ku dapatkan di toko pertanian di sana, namun ada juga bibit yang ku peroleh dari petani lokal yang ada di Port Moresby.
ADVERTISEMENT
Beberapa bibit juga ku bawa dari Indonesia. Kurang seru kalau cuma berkebun, aku juga sempat beternak ayam kampung sebagai sumber protein, mengingat ayam kampung jarang dijual di kota ini.
Singkat cerita, aku sangat menikmati waktuku di Port Moresby. Ternyata banyak hal yang bisa dilakukan di sana dan tidak semenyeramkan gambaran sebelumnya. Aku juga sangat bersyukur bisa menjalani hidup di Port Moresby, sebuah pengalaman langka yang jarang dialami oleh banyak orang.
#DiplomatSeru #Sesdilu64