Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Politik Hukum Nasional
12 Juni 2022 15:24 WIB
Tulisan dari Irham Fadhilah Hidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap Negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai sesuatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan yang mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup Bangsanya. kalau Prancis dapat menunjukkan Code Civil yang menjadi kebanggaannya. Swiss mempunyai Zivilia Gesetzbuch yang juga terkenal. RRC dan Philipina sudah mempunyai Code Civilnya juga, maka Indonesia sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu asingnya Kitab Undang-Undang Nasional baik dalam Kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mengadakan "screening" terhadap Wetboek van Strafrecht pemerintah Kolonial Belanda dan menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan kemerdekaan, yaitu dalam Undang-Undang tanggal 26 Februari 1946 dengan maksud supaya Kitab Undang-Undang tersebut sementara waktu dapat dipakai sambil menunggu terciptanya kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional.
Dengan Undang-Undang tanggal 13 Januari 1951 No. 1 diadakan dilakukan suatu tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil, tindakan mana yang diperlukan setelah mencapai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, karena dalam konstelasi Republik Indonesia Serikat susunan kekuasaan dan acara Pengadilan beraneka warna di berbagai negara-negara bagian. Pada kesempatan itu pula Pengadilan Asli dan Swapraja yang sampai saat ini masih berjalan dan dihapuskan secara berangsur-angsur. Dan dengan dihapuskan Pengadilan Asli dan Swapraja maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mulai berlaku diseluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dr. Wirjono Prodjodikoro, ketua Mahkamah Agung dalam prasanya di muka Kongres Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia di Yogyakarta sudah menyiapkan rancangan undang-undang Hukum Perjanjian yang dibentuk dengan mengingat asas-asas Hukum Adat. Untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum nasional, pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia mengajukan permohonan kepada Perdana Menteri Republik Indonesia supaya dibentuk suatu panitia Negara pembinaan hukum nasional, permohonan tersebut telah menghasilkan keputusan presiden No. 107 tahun 1958 mengenai pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang berkedudukan di Jakarta.
Dasar-dasar hukum nasional digariskan oleh Lembaga Hukum Nasional dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari seminar Hukum Nasional yang telah diadakan di Jakarta atas usaha Lembaga bersama Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia dan Fakultas Hukum. Semenjak Proklamasi kemerdekaan Indonesia, pembinaan hukum Nasional harus berlandaskan falsafah Negara Pancasila. Namun, selama lebih dari seperempat abad lamanya dalam Negara Indonesia belum ditegaskan tentang suatu politik hukum nasional seperti pada masa Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang garis-garis besar haluan Negara, yang didalamnya secara resmi digariskan politik hukum nasional Indonesia.
Perumusan politik hukum Indonesia dalam Garis Besar Haluan Negara cukup padat, dan perlu diketahui hal-hal berikut:
1. Kepala Pemerintah dan DPR dibebani tugas modernisasi, kodifikasi, dan unifikasi dalam bidang-bidang tertentu.
2. Dalam bidang institusional dikehendaki adanya penertiban fungsi Lembaga-Lembaga Hukum serta menetapkan dan mengatur wewenang masing-masing aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim agar tidak terjadi kesimpangsiuran.
3. Dalam bidang keterampilan perlu diadakan peningkatan kemampuan dan kewibawaan bagi penegak hukum melalui peningkatan mutu pendidikan/ilmiah.
ADVERTISEMENT