Konten dari Pengguna

Memahami Keesaan Tuhan dalam Agama Konghucu

Hudhurul Qolby Panphila
Hudhurul Qolby Panphila, seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA). Kejuruan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Islam Nusantara. Alamat Kampus : Jl. Taman Amir Hamzah No.5, RW.4, Pegangsaan, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat.
10 Januari 2025 12:36 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hudhurul Qolby Panphila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kelenteng (rumah ibadah tradisional Tionghoa). Sumber gambar: Pixabay/Aiworldexplore
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kelenteng (rumah ibadah tradisional Tionghoa). Sumber gambar: Pixabay/Aiworldexplore
ADVERTISEMENT
Dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, atau yang lebih dikenal sebagai agama Konghucu, Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan sebutan Tian. Secara harfiah, "Tian" berarti "Langit". Namun, dalam konteks agama Konghucu, sebutan Tian untuk Tuhan bukan mengacu pada arti harfiah atau langit secara fisik, melainkan mengacu pada makna metaforis (bahasa kiasan), yaitu sebagai Kekuatan Tertinggi yang mengatur alam semesta. Tian merupakan representasi dari Kemahaluasan-Nya yang meliputi segala sesuatu, sumber dari segala kehidupan dan hukum alam. Ini sejalan dengan pemahaman transendensi dan imanensi, bahwa Tian adalah kekuatan yang jauh melampaui segala kehidupan makhluk, tidak tampak secara kasat mata, tetapi juga hadir dalam segala aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Di dalam kitab Wu Jing disebutkan terdapat enam nama utama yang merepresentasikan sifat dan peran Tian, yaitu :
ADVERTISEMENT
Meski terdapat enam nama utama yang merepresentasikan sifat dan peran Tian, kesemuanya merujuk pada Tian yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ini mirip dengan konsep nama-nama indah Tuhan (Asmaul Husna/The Beautiful Names) dalam agama Islam, yang berjumlah 99 nama, namun tetap merujuk pada Allah Yang Maha Esa. Dalam agama Konghucu, Tian tidak memiliki bentuk atau gambaran tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tiong Young pada Bab XV (15), ayat 1-5 tentang Keesaan Tian adalah sebagai berikut :
"Di lihat tiada nampak, di dengar tiada terdengar. Namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia." (Tiong Yong XV: 1-5)
Maksudnya, meskipun Tian tidak dapat dilihat atau didengar secara indrawi, tetapi segala sesuatu yang ada merupakan manifestasi dari kekuatan-Nya. Dengan kata lain, Tian ada di dalam segala ciptaan-Nya, meskipun keberadaan-Nya tidak tampak secara indrawi.
ADVERTISEMENT
Di dalam kelenteng (rumah ibadah tradisional Tionghoa) terdapat berbagai arca atau patung yang sering disangka sebagai representasi Tian oleh orang-orang non-Konghucu. Padahal, dalam agama Konghucu, arca-arca tersebut bukanlah Tian, melainkan representasi dari para Sheng Ren (Orang Suci). Para Sheng Ren adalah individu-individu yang dihormati karena kebijaksanaan, moralitas, dan kontribusi besar mereka terhadap peradaban. Mereka adalah tokoh yang pernah hidup di masa lalu dan memberikan teladan hidup yang positif, baik melalui karya-karya mereka, tindakan kebajikan, maupun pengaruh besar dalam membangun masyarakat dan negara di Tiongkok–mengingat agama Konghucu berasal dari sana.
Ketika para Sheng Ren wafat, dibuatkanlah arca-arca mereka untuk mengenang jasa-jasanya, yang ditempatkan di setiap kelenteng. Meskipun para Sheng Ren sering disebut sebagai Dewa atau Dewi, tetapi makna Dewa-Dewi dalam konteks agama Konghucu berbeda dengan pemahaman dalam agama Hindu. Dalam Konghucu, Dewa-Dewi yang merujuk kepada para Sheng Ren tidak dipandang sebagai Tian atau Tuhan, melainkan sebagai manusia-manusia suci atau tokoh historis yang dihormati karena kebajikan dan teladan hidup mereka, bukan sebagai pencipta alam semesta.
ADVERTISEMENT
Pemujaan terhadap arca-arca para Sheng Ren dalam Konghucu adalah bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap jasa-jasanya, bukan menyembah mereka sebagai Tuhan.
Pemujaan dan Penyembahan dalam agama Konghucu
Ilustrasi Konfusius atau Kongzi, salah satu Sheng Ren, tokoh peletak dasar tradisi Konghucu. Sumber gambar: Pixabay/Peggy_Marco
Penting untuk memahami perbedaan antara pemujaan dan penyembahan. Pemujaan adalah bentuk penghormatan yang lebih umum, yang bisa diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu, baik dalam konteks agama maupun budaya. Pemujaan ini bisa diberikan kepada nabi, orang-orang suci, atau bahkan tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti idola atau pasangan hidup. Sedangkan penyembahan adalah tindakan penghormatan yang lebih mendalam dan khusus, yang ditujukan hanya kepada Tuhan sebagai realitas tertinggi.
Di dalam kelenteng, altar atau tempat penyembahan untuk Tian dan altar pemujaan untuk para Sheng Ren juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik dalam letak maupun simbolismenya.
ADVERTISEMENT
Altar untuk Tian (Tuhan):
ADVERTISEMENT
Altar untuk Sheng Ren (Orang Suci):
Secara keseluruhan, pemahaman dalam agama Konghucu tentang Tian sangat menekankan pada keesaan Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak bisa dibatasi oleh gambaran fisik atau bentuk apapun. Pemujaan terhadap Sheng Ren adalah bentuk penghormatan atas kehidupan mereka yang memberikan teladan baik, namun tetap berada dalam kerangka bahwa segala sesuatu, termasuk jasa mereka, berasal dari kehendak dan kekuatan Tian Yang Maha Agung.
ADVERTISEMENT
Dalam agama Konghucu juga terdapat konsep filosofis yang mendalam, yang disebut Zhong dan Shu. Zhong berarti "kesetiaan" yang merujuk pada hubungan vertikal antara manusia dan Tian (Tuhan), di mana manusia berusaha mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sementara itu, Shu bermakna "tenggang rasa" atau "empati," yang mencerminkan hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Prinsip Zhong dan Shu memiliki keselarasan universal dengan konsep Habluminallah (hubungan dengan Tuhan) dan Habluminannas (hubungan dengan manusia) dalam Islam. Selain itu, makna tersebut juga sejalan dengan simbol salib dalam Kristen, di mana garis vertikal menyimbolkan hubungan manusia kepada Tuhan, sedangkan garis horizontal menggambarkan hubungan manusia dengan sesama.
Konsep ini mencakup nilai-nilai luhur seperti:
ADVERTISEMENT
Zhong dan Shu mengajarkan keseimbangan harmoni dalam menjalani hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk, menciptakan kehidupan yang penuh makna dan kebajikan.
Sebagai kesimpulan, ajaran agama Konghucu menekankan pentingnya keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Konsep seperti Tian, Zhong, dan Shu memperlihatkan betapa ajaran ini menjunjung nilai kebajikan, cinta kasih, serta tanggung jawab moral dalam hubungan vertikal kepada Tuhan dan horizontal kepada sesama. Dengan memahami filosofi ini, kita dapat melihat bahwa agama Konghucu bukan hanya sebuah kepercayaan, tetapi juga sebuah panduan etika universal yang relevan untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis. Semoga pemahaman ini dapat memperkaya wawasan tentang keragaman spiritualitas dan memperkuat rasa saling menghormati antar umat beragama.
ADVERTISEMENT
Penulis: Hudhurul Qolby Panphila, Akademisi Sejarah Peradaban Islam di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.