Konten dari Pengguna

Akuntabilitas atas Pengelolaan APBN Berbasis Kinerja

hudi sadmoko
ASN Kemenkeu, saat ini bertugas sebagai Pejabat Pengawas pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jambi
27 Desember 2023 14:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hudi sadmoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penggunaan belanja dari APBN.  Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penggunaan belanja dari APBN. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
Lebih dari dua dekade reformasi telah bergulir di Indonesia. Tuntutan reformasi utamanya adalah penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu tata kelola yang baik (good governance). United Nations Development Programme (UNDP) memberikan definisi good governance sebagai pelaksanaan otoritas politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan suatu negara di semua tingkatan.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan perwujudan praktik-praktik kepemerintahan yang baik, seperangkat peraturan perundang-undangan telah ditetapkan. Pemerintah beserta seluruh elemen bangsa secara sistematis dan berkelanjutan telah mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan tuntutan terselenggaranya kepemerintahan yang baik tersebut. UNDP merumuskan 9 prinsip pada good govenance, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law, efektif dan efisien, responsif, equity building, concensus oriented, dan strategic vision.
Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip yang menjadi perhatian utama Pemerintah. Ada beberapa definisi dan pendapat dari para ahli mengenai akuntabilitas dalam pemerintahan. Mengutip laporan akhir Kajian Pengarusutamaan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, yang disusun oleh Tim Kajian UI dan Bappenas (2017), Dubnick (2005), menjelaskan akuntabilitas sebagai berikut.
"Akuntabilitas secara tradisional dianggap sebagai cara yang digunakan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilaku administratif dengan mewajibkan ‘tanggung jawab’ (answerability) kepada otoritas eksternal”. Selanjutnya Barbara Romzek and Patricia Ingraham, mendefinisikan akuntabilitas “mengacu pada tanggung jawab kepada seseorang atas kinerja yang diharapkan”.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut Fesler dan Kettl (1996), akuntabilitas memiliki dua dimensi. Yang pertama adalah kesetiaan terhadap hukum, perintah atasan dan prinsip-prinsip efisiensi ekonomi. Dimensi yang kedua adalah etika perilaku; kepatuhan terhadap moral dan penghindaran terhadap perilaku yang tidak etis.
Dari beberapa definisi di atas akuntabilitas dapat dipahami sebagai suatu prinsip yang menyangkut aspek pengendalian dan pertanggungjawaban atas seluruh aktivitas organisasi (pemerintah) dalam rangka mencapai suatu target kinerja.

APBN Berbasis Kinerja

Ilustrasi penggunaan belanja dari APBN. Foto: Dok Kemenkeu
Dalam bidang pengelolaan Keuangan Negara, reformasi diwujudkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Salah satu hal penting dalam undang-undang tersebut adalah penerapan anggaran berbasis kinerja. Anggaran merupakan rencana kerja yang disusun berdasarkan kebutuhan dana dalam satu periode.
ADVERTISEMENT
Dalam anggaran dicantumkan sumber dana dan penggunaan dana. Anggaran dimaksudkan untuk mendanai seluruh aktivitas pemerintahan dalam rangka mencapai suatu target kinerja tertentu. Anggaran terdiri dari komponen pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disusun secara tahunan dan dalam kerangka Medium Term Expenditure Framework (MTEF), suatu model kerangka pengeluaran jangka menengah (lima tahunan) yang lazim diterapkan pada negara-negara maju.
Kinerja, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sesuatu yang dicapai, atau prestasi yang diperlihatkan, atau kemampuan kerja (tentang peralatan)”. Kinerja dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran kinerja secara tidak langsung dilakukan melalui pengukuran terhadap indikator-indikator yang merupakan atribut dari kinerja tersebut.
Dalam konteks APBN, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 90 Tahun 2010 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2017, kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian makna APBN Berbasis Kinerja adalah bahwa dalam setiap penyusunan APBN harus disertakan informasi kinerja (indikator kinerja) anggaran yang hendak dicapai. Penerapan penganggaran berbasis kinerja berlandaskan pada 3 (tiga) prinsip, yaitu:
Lebih lanjut sebagai bentuk penerapan penganggaran berbasis kinerja, Pemerintah melakukan pengukuran dan evaluasi atas kinerja pelaksanaan anggaran. Pengukuran dan evaluasi tersebut meliputi: a. tingkat Keluaran (output); b. capaian Hasil (outcome); c. tingkat efisiensi; d. konsistensi antara perencanaan dan implementasi; dan e. realisasi penyerapan anggaran.
ADVERTISEMENT

Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN

Ilustrasi penggunaan belanja dari APBN. Foto: Dok Kemenkeu
Pemerintah menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), yang disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan tersebut harus sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang diterima secara internasional. Sementara laporan keuangan yang disusun harus terlebih dahulu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan diberikan opini.
Standar Akuntansi Pemerintahan saat ini diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2010. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa Laporan Keuangan disusun dengan tujuan untuk menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, laporan keuangan menyediakan informasi mengenai sumber dan penggunaan sumber daya keuangan/ekonomi, transfer, pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran, saldo anggaran lebih, surplus/defisit-Laporan Operasional (LO), aset kewajiban, ekuitas, dan arus kas suatu entitas pelaporan.
ADVERTISEMENT
Adapun komponen Laporan Keuangan yang harus disajikan meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL), Neraca, Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Informasi terkait kinerja pelaksanaan anggaran dapat diperoleh dari LRA dan LPSAL, serta Catatan atas Laporan Keuangan.
Melengkapi LKPP sebagai pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN, Pemerintah menyusun dan menyampaikan Laporan Kinerja Pemerintah Pusat (LKjPP). Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 2006, tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, laporan kinerja diintegrasikan dengan laporan keuangan sebagai satu kesatuan dalam mewujudkan akuntabilitas Pemerintah Pusat/Daerah.
LKjPP dihasilkan dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Penyelenggaraan SAKIP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014. SAKIP adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan SAKIP harus selaras dengan penyelenggaraan sistem akuntansi pemerintahan. Informasi yang disampaikan dalam LKjPP adalah capaian kinerja berupa Keluaran dari Kegiatan, serta Hasil yang dicapai dari Program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN.
Dokumen LKPP dan LKjPP adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. LKPP bersama-sama dengan LKjPP sebagai sarana pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN, merupakan perwujudan dari akuntabilitas keuangan dan kinerja Pemerintah Pusat. Keduanya juga menjadi bukti atas implementasi konsep APBN berbasis kinerja.