Konflik Papua Tak Kunjung Usai: Inilah Kira-kira yang Akan Terjadi

Hugo Gian
Mengajar di pedalaman Tsinga, Tembagapura, Papua. Tertarik dengan suku Amungme, bumi Amungsa, anime, game, dan sastra.
Konten dari Pengguna
11 April 2022 10:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hugo Gian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan 26 pelajar Aceh dari jenjang pendidikan menengah atas terpilih mengikuti Siswa Mengenal Nusantara (SMN) di Papua. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan 26 pelajar Aceh dari jenjang pendidikan menengah atas terpilih mengikuti Siswa Mengenal Nusantara (SMN) di Papua. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Papua selalu saja konflik dari tahun ke tahun. Maaf, saya tidak pernah ke Sugapa ataupun Kenyam (mentok saya cuma sampai Tsinga) tapi izinkan saya untuk sok tahu. Sekali ini saja mengungkapkan perasaan. Sebab saya membaca, balita berumur 2 tahun Nopelinus Sondegau menjadi korban atas terjadinya baku tembak di Sugapa. Kontras bahkan sudah bersuara tentang ini pada 31 Oktober 2021. Sungguh gatal setengah mati, perang ada di Sugapa dan sudah ada korban sipil. Tapi ya itu, semua sepi. Padahal perang sudah di depan mata.
ADVERTISEMENT
Berikut coba saya tuangkan, bagaimana jika perang di Sugapa dan seantero Papua terus terjadi secara berulang-ulang.
1. Indikasi adanya dendam berkepanjangan
Apa yang lebih menyakitkan lagi ketika kehilangan orang yang disayang? Dan betapa sakitnya bila kita kehilangan secara tiba-tiba. Duka atas Covid-19 saja luar biasa. Pastinya duka akibat perang bisa berlipat-lipat lagi. Hidup saya sudah tenang, tanam keladi, anyam noken baik, tiba-tiba saja ramai suara senapan di sana-sini. Belum lagi keluarga saya meninggal ditembus peluru langsung dari senjatanya. Belum lagi, saya bukan siapa-siapa. Cuma rakyat sipil biasa. Senjata untuk melawan saja tidak punya. Saya benar tidak berdaya. Dan tuan datang seperti Tuhan, berkehendak kuasa penuh mengambil suara anak saya.
Dendam di sini bukan meledak-ledak seperti nyawa dibalas dengan nyawa. Tapi menaruh sumpah serapah di sepenggalan doa itu pun termasuk dalam ketidakpuasan karena dendam. Dan bahaya apa yang bisa merasuk dalam dendam? Kamu mau maki Covid-19, berilah sepuluh kali makian lebih besar untuk perang di Sugapa. Apakah dendam sudah hilang? Jawabnya adalah sementara.
ADVERTISEMENT
2. Konflik horizontal antar sipil
Mungkin sudah semakin bosan dengan konflik yang melibatkan SARA. Tapi ayolah, perang di Sugapa dan daerah lain di Papua sangat rentan untuk memunculkan konflik horizontal yang baru. Perang bukan lagi antara pasukan bersenjata melawan pasukan bersenjata. Perang sudah milik sipil. Merembet menjadi sipil melawan sipil.
Contoh kecil, walaupun cuma tweet was wes wos. Sebut saja inisial Olvah Alhamid yang kemudian membawa wacana dalam tweetnya di @olvaholvah.
“Tapi kalau saya yang posting, selalu jadi masalah. Kenapa? Karena saya seorang Papua Muslim?”
Deg! Apa yang dibawa Olvah Alhamid di benak saya secara subjektif ini sudah lengkap. Konflik ras ada, konflik suku ada, konflik agama ada hanya dengan dua kata “Papua Muslim”. Tweet semacam ini bisa memicu konflik horizontal. Kepentingan politik dalam perang menjadi tumpang tindih. Perang akan berubah menjadi benang yang semakin kusut. Isu SARA menjadi konflik sipil yang baru dan diperbarui.
ADVERTISEMENT
Jika kalimat “Jangan kawin sama ras atau suku itu nanti gini dan gitu” sayup-sayup masih terdengar. Maka jangan berharap konflik horizontal ini akan segera bisa diredam. Jika pun demikian bisa diredam, pasti kondisinya menahan sakit di tengah sunyi.
Dan lagi, hanya sedikit negara yang bisa menyelesaikan dengan baik konflik sipil yang terjadi. Sebenarnya, ini perangnya siapa sih? Sipil lagi sipil lagi yang jadi korban berkelanjutan.
3. Matinya Pendidikan
Sekolah jarak jauh via Zoom meeting itu menyakitkan. Kita yang kurang lebih setahun menghadapi situasi itu sudah ketar-ketir menghadapi “generasi”. Apalagi anak di Sugapa. Setelah konflik kira-kira bagaimana wajah pendidikan di sana? Mau sekolah tatap muka? Di tengah pengungsian? Sebesar apa efektivitas kegiatan belajar mengajar yang akan terjadi? Adakah yang mau mengajar?
ADVERTISEMENT
Rentetan pertanyaan itu akan terus berlanjut tiada henti menuju ke ranah pesimistis. Bagaimana tidak pesimis, konfliknya ada terus setiap tahun. Cuma pindah tempat saja. Jika generasi masa depan seperti anak-anak kehilangan harapan dan hanya akan tersumpal oleh anggapan-anggapan semu tentang kekacauan perang. Apa yang kira-kira akan diajarkan ke generasi setelahnya? Apa yang diajarkan oleh anak-anak itu ketika sudah besar ke putra-putrinya?
4. Jauhnya akses kehidupan yang layak
Sebelum perang sempat singgah, menanam keladi, memberi makan babi, bakar batu, acara adat, sembahyang adalah kegiatan rutin yang produktif sekaligus tidak mengada-ada. Perut terisi, rohani terjaga.
Begitu perang datang, gereja berubah menjadi tempat pengungsian. Babi menjadi tak terurus. Kebun terlantar. Sekolah non aktif. Belum lagi jika di tempat pengungsian kena malaria. Musuh nyamuk saja sudah setengah mati, ini ketambahan lagi suara peluru ramai di sekitar rumah. Puqmay! Lihat anak main Free Fire menggerombol ramai saja kita naik darah. Ini senjata-senjata asli. Pastilah emosi.
ADVERTISEMENT
Tapi adakah daya? Tidak ada. Mereka hanyalah sipil dan kedua belah pihak semuanya bersenjata.
5. Trauma perang
Saat saya berdialog dengan salah seorang tentara, beliau bilang seperti ini “trauma perang itu cuma buatan saja". Saya diam. Tidak bisa komentar atau menyanggah. Tapi beginilah saya akan bersaksi.
Paruh tahun 2019, waktu dinas di pedalaman, pernah mendengar suara peluru mendesing malam-malam. Kita semua kemudian dijemput TNI untuk diungsikan. Memang perangnya tidak ada, tapi setiap malam kita selalu senam jantung. Setiap suara kecil saja, kita akan buka telinga baik-baik. Itu suara peluru atau kelelawar yang injak seng?
Nah, sekarang bayangkan jika yang didengar adalah suara mortir. Butuh berapa hari senam jantung baru selesai. Ya, kalau pesta kembang api cuma satu hari, jika itu sampai beberapa hari? Sungguh saya bilang, trauma perang itu nyata.
ADVERTISEMENT
Iwan Fals bersaksi dalam “Pesawat Tempur” bahwa dana perang jika diberikan kepadanya maka dia bisa membuat kau yang manis singgah, ngopi-ngopi dikit, serta tersenyum padaku. Tapi itu dinyanyikan dengan nada suka-suka.
Nada perang adalah nada yang pilu. Seorang tentara rindu akan pasangannya yang berada di kampung. Atau keluarga yang berduka ketika anaknya gugur di medan perang. Dan paling memilukan adalah meninggalnya Nopelinus Sondegau, balita 2 bulan yang meninggal di tengah baku tembak perang Sugapa, Papua. Meninggal atas konflik yang dia pun belum mengerti.
Maukah kita semua gencatan senjata? Duduk dan baku bicara dalam honae? Ataukah kita terlalu pengecut berlindung di balik moncong-moncong senjata yang selalu meraung mencari korban dan meninggalkan dendam?
ADVERTISEMENT