Noken yang Keren: Nilai Luhur di Pundak Perempuan Amungme

Hugo Gian
Mengajar di pedalaman Tsinga, Tembagapura, Papua. Tertarik dengan suku Amungme, bumi Amungsa, anime, game, dan sastra.
Konten dari Pengguna
20 April 2022 11:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hugo Gian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Noken sudah menjadi sebuah identitas bagi orang Papua. Salah satunya bagi orang Amungme, salah satu suku di dataran tinggi Papua yang tersebar di Timika, Tembagapura, Agimuga, Jila, Hoya dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Berjalan di Timika, Papua. Penulis mampir sejenak di Asrama Joronep. Tempat di mana anak Amungme menetap dan belajar. Beberapa di antara mereka terlihat asyik menganyam noken.
Terlihat Sarlince Magal tampak lincah memainkan pen (hakpen) di tangannya. Alat berupa gagang pendek yang ujungnya mempunyai kait tersebut menari dengan lincah dengan sesekali menggaet benang wol berwarna kuning. Baru hari itu dia memulai mengerjakan noken yang ada di tangannya.
Sarlince Magal kini sudah bersekolah di kota. Disela kesibukan sekolahnya, Sarlince membutuhkan waktu kurang lebih 3 sampai 5 hari untuk merampungkan satu noken. (Dokumentasi pribadi)
Tak jauh darinya, ada Sisilia Magal. Dia juga sedang menganyam noken. Sama-sama berbahan dasar benang wol. Bedanya adalah Sisilia tidak menggunakan hakpen. Dia hanya menggunakan sebatang lidi panjang sebagai alat bantu. Tangan kanannya sesekali berputar cepat untuk menggulung benang.
Cara pembuatan noken yang dilakukan Sarlince merupakan cara yang lebih modern (crochet). Sedangkan, Sisilia menganyam noken dengan cara tradisional.
Sisilia Magal menganyam noken dengan cara tradisional, walaupun memakai bahan dasar benang wol. Prosesnya bisa memakan waktu satu minggu. (Dokumentasi Pribadi)
Sisilila menuturkan jika dulu, Neneknya membuat noken menggunakan alat bantu dari tulang kuskus. Tulang tersebut dibersihkan dan kemudian dilubangi ujungnya sebagai tempat mengikat benang.
ADVERTISEMENT
Sarlince dan Sisilia merupakan dua anak suku Amungme. Hubungan Amungme dengan noken sangatlah erat. Suku Amungme memandang noken sebagai asal dari sumber kehidupan dan juga tempat sekaligus teman untuk bertumbuh.

Sekilas tentang Noken

Noken merupakan tas tradisional dari Papua. Noken sendiri sudah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) sejak 2012. Oleh karena itu, pada tanggal 4 Desember ditetapkan sebagai Hari Noken Sedunia.
Ciri khas noken berbeda-beda tergantung pada setiap wilayah maupun suku yang ada di Papua. Untuk Suku Amungme sendiri, noken memiliki ciri khas terbuat dari serat kayu. Kulit kayu akan dikikis,, kemudian dikeringkan dan kemudian setelah itu akan dipintal menjadi benang.
Amungme sendiri menyebut noken dengan cara pembuatan tradisional berbahan dasar kulit kayu dengan ilam wii. Proses yang sama tapi dengan bahan dasar benang wol seperti yang dibuat Sisilia biasa disebut dengan ka wii.
Noken berbahan dasar kulit kayu (ilam wii). Pewarnaan berasal dari bahan alami seperti tanah merah (merah), sejenis buah (hitam), dan daun (kuning). (Dokumentasi Pribadi)
Sedangkan noken yang dibuat dengan alat bantu pen, atau noken modern seperti yang dibuat oleh Sarlince disebut dengan apen wii. Untuk pembuatannya sendiri, mereka sudah nyaman menyebut proses pembuatan noken dengan sebutan menganyam.
ADVERTISEMENT

Cara Pakai yang Unik

Betapa kagetnya ketika penulis pertama kali berkunjung ke Tsinga, tempat sebagian Suku Amungme tinggal. Seorang Mama dengan bawaan yang berat berjalan menyusuri jalan kampung. Dia memikul noken dengan menggantungkan tali noken di dahi bagian atas. Begitu mendekat, ada suara tangisan dari dalam noken. Ada seorang bayi di dalamnya. Inilah salah satu alasan noken masuk sebagai warisan budaya tak benda.
Peragaan menggendong bayi oleh Ester Jawame. Evangelin yang masih bayi sedang tidur di dalam noken (Dokumentasi pribadi).
Noken digunakan seperti tas pada umumnya. Namun, ada beberapa kekhasan yang dimiliki oleh noken dibandingkan tas konvensional seperti tas jinjing ataupun tas ransel.
Pertama, noken bisa digunakan untuk mengangkat sayuran dalam jumlah banyak. Kayu bakar berupa ranting juga biasa dibawa menggunakan noken. Tak hanya itu, noken juga digunakan untuk menggendong bayi dari usia baru lahir hingga bisa berjalan. Hal ini berlaku untuk noken tradisional.
ADVERTISEMENT
Kedua, beban berat tersebut biasanya dibawa dengan menggantungkan tali noken di atas dahi. Cara ini memang tergolong sangat sulit. Pengguna noken membutuhkan keahlian dan juga jam terbang yang cukup tinggi supaya bisa bertahan membawa beban berat dengan jarak yang cukup jauh.
Di Timika, saya bertemu dengan Ester Jawame yang dengan berbaik hati memperagakan cara menggunakan noken. dia sedang menggendong Evangelin (Dokumentasi PRibadi)
Akan tetapi, cara tersebut terbilang cukup efisien ketika digunakan di medan perjalanan berupa lereng curam ataupun bebatuan yang cukup terjal. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Orang Papua biasa melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Terutama di daerah pedalaman seperti Tsinga, jarak kebun dengan pemukiman warga bisa dikatakan cukup jauh. Bisa memakan waktu hingga seperempat hari perjalanan. Medan yang dilewati juga penuh dengan lereng curam.
Pergi ke kebun dan kemudian pulang membawa hasil panen akan sangat melelahkan jika dilakukan bolak-balik. Oleh karena itu, mau tidak mau hasil kebun harus dibawa pulang dalam sekali jalan. Tidak heran, jika noken berisi sayuran biasanya memuat banyak dan berat.
ADVERTISEMENT
Medan yang terjal menuntut keseimbangan dengan berjalan. Tas ransel ataupun tas gunung (carrier) memang umum digunakan. Akan tetapi, muatannya mungkin tidak akan sama banyak dengan noken. Lagipula tas gunung tidak dapat memuat bayi di dalamnya.
Noken merupakan tas berupa jaring. Sehingga ketika bayi ada di dalam, dia masih bisa bernafas dengan baik. Suhu saat berada di dalam noken juga terbilang hangat. Cocok sekali jika digunakan di tempat seperti Tsinga yang bersuhu dingin.
Noken dan cara membawanya menggunakan bagian atas dahi sangatlah efektif digunakan untuk perjalanan jauh sambil membawa beban berat dengan medan yang ekstrem.
Penulis pernah membawa noken berisikan kayu bakar berupa ranting. Beratnya kurang lebih 20kg. Bagian atas dahi untuk tumpuan tali noken memang terasa sakit. Hal itu dikarenakan posisi yang kurang pas. Setelah posisinya dirubah, maka sensasi berat di atas dahi justru membuat kita akan selalu fokus dan penuh konsentrasi saat membawa beban berat.
Penulis mencoba mengangkat noken berisi ranting untuk bahan bakar perapian honae. Tentu saja caranya salah. Tali yang digantungkan di kepala terlalu jauh diletakkan dari dahi. (Dokumentasi Pribadi)

Hubungan Noken dengan Suku Amungme

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Suku Amungme memandang noken sebagai asal dari sumber kehidupan dan juga tempat sekaligus teman untuk bertumbuh. Hal itu sudah ditanamkan sedari kecil di dalam diri seorang Amungme. Sehingga bisa dikatakan bahwa, noken tak akan bisa lepas dari kehidupan mereka.
Salah satu sumber kehidupan dari Amungme yang utama adalah berkebun. Noken berfungsi sebagai alat angkut baik itu bibit maupun hasil panen. Bahan makanan yang utama seperti keladi dan sayuran hampir semuanya keluar dari noken.
Noken juga mempunyai nilai sebagai tempat bertumbuh. Dari kondisi bayi yang lahir beberapa bulan hingga sampai sudah bisa berjalan, kehidupan bayi Amungme sebagian besar berada di dalam noken.
Noken merupakan manifestasi kasih sayang seorang Ibu yang memberi makan dan juga merawat keluarga yang dicintainya. Itulah mengapa, di pedalaman Suku Amungme, seorang perempuan dianggap sudah dewasa dan siap berkeluarga jika sudah mampu menganyam noken.
ADVERTISEMENT

Dari Pedalaman untuk Dunia

Sisilia menuturkan dari kecil dia sudah bisa menganyam noken. Kemampuan tersebut menjadi lebih terasah lagi pada saat upacara adat Bulan Baru.
Upacara adat ini diperuntukkan bagi perempuan Amungme yang berada pada fase menarche atau menstruasi pertama. Perempuan Amungme akan diisolasi dari lingkungan dan di tempatkan di honae khusus. Hanya saudara perempuan inti yang boleh datang melihat. Laki-laki tidak diperbolehkan melihat ujung hidungnya sekalipun. Jika melanggar, akan ada sanksi adat berupa sanksi yang bersifat magis.
Pada saat upacara adat itulah, sambil menunggu proses isolasi selesai selama kurang lebih satu bulan, Sisilia menghabiskan waktu dengan menganyam noken. Bahkan, Sisilia mengalami aturan ketat yaitu hanya diperbolehkan duduk dan menganyam noken.
ADVERTISEMENT
Ada sekitar 10 noken modern (crochet) dan 3 noken cara tradisional yang sudah Sisilia buat. Semua dibagikan kepada saudara-saudaranya sebagai tanda bahwa prosesi adatnya sudah selesai. Pada momen itulah, Sisilia sudah dianggap mampu berkeluarga oleh lingkungannya.
Pelestarian akan noken, terutama di kota besar seperti Timika mendapatkan perhatian khusus. Noken juga sudah mempunyai nilai tambah yaitu nilai ekonomis. Komodifikasi noken sudah dilakukan di kota. Pelatihan pembuatan noken juga sering dilakukan, terutama di sekolah-sekolah.
Noken sudah mendunia. Harapan besar di sini adalah nilai keunggulan noken bukan hanya dari sisi ekonomi saja. Ada nilai besar yang tidak boleh hilang, nilai untuk memberikan dan merawat kehidupan. Nilai-nilai yang kuat dari awal adanya noken.
ADVERTISEMENT
Jadi, saat membeli noken dan kita terpaku pada nilai ekonomisnya saja itu merupakan sebuah kesalahan. Ada nilai yang besar dan luhur dari sebuah benda kecil bernama noken.