Rayakan Lebaran Ketupat dengan Kulit Ketupat Hasil Tangan Mama Papua

Hugo Gian
Mengajar di pedalaman Tsinga, Tembagapura, Papua. Tertarik dengan suku Amungme, bumi Amungsa, anime, game, dan sastra.
Konten dari Pengguna
9 Mei 2022 15:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
117
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hugo Gian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mama-mama dari Suku Kamoro sudah mulai berjualan kulit ketupat semenjak subuh di Pasar Lama, Timika, Foto : Eddy Deda
zoom-in-whitePerbesar
Mama-mama dari Suku Kamoro sudah mulai berjualan kulit ketupat semenjak subuh di Pasar Lama, Timika, Foto : Eddy Deda
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jauh merantau ke Timika, Papua, hati ini rindu akan kebiasaan setelah lebaran, yaitu Lebaran Ketupat. Rindu untuk kembali dekat dengan keluarga dan kerabat di kampung sambil menyantap ketupat.
ADVERTISEMENT
Lebaran Ketupat biasanya diadakan tujuh hari setelah Idul Fitri. Biasanya saya dan beberapa teman sewaktu masih di kampung dulu, akan keliling ke rumah-rumah sembari menyantap ketupat yang disuguhkan oleh tuan rumah.
Memori itu masih terkenang hingga sekarang. Kalau setiap lebaran pasti akan rindu ketupat serta ramah tamah antar kerabat ataupun tetangga.

Ada Apa dengan Ketupat?

Ketupat adalah ikon dari perayaan Idul Fitri di nusantara. Sunan Kalijaga menggunakan ketupat sebagai media dakwah. Lebih dari itu, ada makna filosofis yang mendalam. Bagi orang Jawa ketupat berarti "ngaku lepat". Artinya adalah mengakui kesalahan.
Jadi Lebaran Ketupat mempunyai tujuan supaya kita saling meleburkan kesalahan, mengakui, dan pada akhirnya memberikan maaf kepada sesama kita.
ADVERTISEMENT

Mama Papua Menganyam Ketupat

Sempat tidak percaya, ketika ada yang bilang bahwa Mama Papua khususnya Mama Suku Kamoro biasa membuat kulit ketupat untuk dijual. Orang Papua bisa membuat ketupat adalah hal yang cukup aneh bagi saya.
Sebab ingin mengulang memori masa kecil dan didorong rasa penasaran, maka pergilah saya menuju ke Pasar Lama Timika.
Mama Kamoro berjualan ketupat menjelang dan sesudah lebaran. Foto : Eddy Deda
Benarlah, di sana saya mendapati orang dari Suku Kamoro sedang asyik menganyam janur untuk dibuat kulit ketupat. Singkat cerita, bertemulah saya dengan Mama Berta salah satu penjual kulit ketupat dari Suku Kamoro.
Tangannya lincah dan hampir tak pernah berhenti menganyam janur. Di depannya terdapat beberapa kulit ketupat yang sudah jadi. Hasil anyamannya rapi dan berwarna cerah. Sepertinya Mama Berta memilih dengan baik janur kelapanya.
ADVERTISEMENT
Mama Berta bercerita sedikit mengenai janur menurut bahasa ibunya;
Beliau menerangkan, dia menjual kulit ketupatnya per ikat seharga Rp 10.000,00. Satu ikat terdiri dari 6 sampai 7 buah kulit ketupat.
Semua bahan yang ada diambil dari kebun sendiri. Sore hari mereka siapkan semua bahan yang ingin dijual. Pagi buta, mereka pergi ke pusat kota Timika dengan jarak kurang lebih 30 kilometer untuk menjual hasil kulit ketupat mereka.
Pada momen lebaran ini, kulit ketupat mereka laris manis terjual. Begitu juga dengan janur ataupun daun pisang.

Mama Papua Mengenal Ketupat

Mama Berta menyampaikan bahwa dirinya mengenal ketupat saat melihat banyaknya transmigran dari Jawa yang menjualnya di warung makan.
ADVERTISEMENT
Awalnya Mama Berta hanya dimintai tolong untuk menjual janur atau daun kelapa muda ke warung makan. Saat menjelang lebaran, ternyata janur-janur tersebut dianyam sedemikian rupa dan dibuatlah kulit ketupat. Barang tersebut bahkan mempunyai nilai tambah ekonomis.
Mama Berta pun belajar sendiri menganyam ketupat. Bagi Mama Berta, menganyam merupakan makanan sehari-hari. Suku Kamoro erat dengan budaya menganyam. Kehidupan mereka berada di daerah pesisir. Kerajinan berupa anyaman adalah sesuatu yang tak asing.
Sudah tiga tahun ini, Mama Berta sengaja datang jauh ke Timika untuk menjual kulit ketupatnya. Dia anggap di sini pendatang jauh lebih banyak. Dan tentu saja ketupatnya akan semakin laris manis.
Mama Suku Kamoro yang berasal dari Kaugapu berjualan ketupat di Pasar Baru. Jarak Kaugapu dengan pasar kurang lebih 30 kilometer. Foto : Erni Saiful
Setiap lebaran menjelang, Mama Berta berhasil memanfaatkan peluang dan meraih keuntungan.
ADVERTISEMENT

Ketupat Milik Nusantara

Ketupat bukan lagi milik orang Jawa. Sajian ketupat di seluruh belahan nusantara saja sudah punya keunikannya masing-masing. Ketupat beras seperti kepunyaan orang Jawa. Ketupat pulut yang berisikan beras ketan dan biasa dibuat orang Medan. Ada juga ketupat yang menggunakan daun pandan.
Belum lagi ketika bersinggungan dengan sayur atau lauk seperti opor, sate, rendang, dan sebagainya. Ketupat menjadi semakin ragam. Uniknya lagi kita tak bertengkar, saling klaim, mempermasalahkan ini dan itu terkait ketupat. Salah satu contoh keberagaman yang jarang diperdebatkan.
Jadi tidaklah mengherankan bahwa orang Papua, khususnya Suku Kamoro mengenal dan menggunakan ketupat sesuai dengan kebutuhannya.
Dari fenomena ketupat ini, kita bisa melihat adanya pertukaran budaya. Pertukaran semacam inilah yang membuat hubungan antar suku ataupun etnik menjadi lebih erat.
ADVERTISEMENT
Orang Jawa seperti saya yang tidak bisa membuat ketupat terbantu tangan-tangan lincah Mama Suku Kamoro dari Papua. Saya mendapatkan kenangan, Mama mendapatkan uang makan.