Saya Katolik; Saya Berutang Rasa pada Lebaran-Kembali Dekat

Hugo Gian
Mengajar di pedalaman Tsinga, Tembagapura, Papua. Tertarik dengan suku Amungme, bumi Amungsa, anime, game, dan sastra.
Konten dari Pengguna
29 April 2022 7:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
114
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hugo Gian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya Katolik. Bapak saya berasal dari keluarga Islam. Sedari kecil saya dibiasakan mengikuti Halal Bihalal di keluarga besar Bapak. Berasal dari situlah, saya berutang rasa pada Lebaran.
ADVERTISEMENT

Katolik dengan Tradisi Mudik Lebaran

Tak bisa dipungkiri, salah satu keuntungan dalam keragaman di Indonesia adalah terciptanya tanggal merah yang banyak di kalender. Tanpa terkecuali pada saat Lebaran.
Sebagai seorang siswa di sekolah, walaupun beragama Katolik saya turut menantikan momen Lebaran. Terlebih lagi, Bapak saya akan membawa kami sekeluarga pergi ke tempat Simbah di Manisrenggo, Klaten untuk mudik. Inilah saat di mana Keluarga Besar Siswodarmojo berkumpul.
Kembali Dekat - Foto kenangan Cendeng Siswodarmojo di Halalbihalal Trah Sontosudarmo tahun 2017. (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Keluarga yang besar dengan delapan orang anak. Serta sederet cucu yang selalu berlarian di halaman rumah Simbah. Makanan kecil ramai menghiasi meja. Suasana kampung yang sejuk dengan banyak pohon. Kami sering mandi di sungai dengan hiasan gunung Merapi yang menyentuh angkasa.

Perayaan Halalbihalal Trah Sontosudarmo

Selang beberapa hari setelah lebaran, kami semua mengikuti acara Halal Bihalal keluarga. Bertemu dengan keluarga dari saudaranya Simbah, kami menyebutnya Trah Sontosudarmo.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan sebuah tradisi silaturahmi dengan jumlah anggota keluarga yang berkumpul hampir ratusan orang. Bila boleh jujur, tidak semuanya saya kenal. Jadi tidak mengherankan, dulu sebagai seorang jomblo, mata ini melihat banyak sekali nona – nona cantik yang ternyata harus saya sadari secara penuh bahwa mereka masih saudara.
Pada acara inilah, kami diingatkan lagi sebagai sebuah keluarga besar. Sebagai seorang Katolik, saya merasa senang. Keluarga besar ini tak memandang status agama saya. Entah bagaimanapun sekali saudara tetaplah saudara.
Puncak acaranya adalah ketika kami semua yang hadir saling bersalam – salaman, saling memberi maaf. Berkat jumlah anggota trah yang banyak maka kami menggunakan metode “mengular”. Kami akan antre menyalami Simbah – Simbah, lalu kemudian berdiri berbaris sembari anggota trah yang lain bergantian menyalami kita.
ADVERTISEMENT
Bersalam – salaman ini memang membuat gigi dan lutut lelah. Senyum sambil berjalan dan berdiri, bersalaman kepada semua anggota trah. Namun, inilah saat yang paling ditunggu, sebab di sinilah saya bisa melihat wajah – wajah anggota trah yang baru ataupun mungkin belum pernah saya jumpai. Silaturahmi menjadi terjaga. Kadang – kadang ada tertawa terbahak yang muncul ketika ada kerabat yang sudah lama tak berjumpa.
Selain itu, bersalam – salaman membuat kita lebur menjadi satu. Saya yang Katolik ini pun merasa bahwa ini adalah tradisi saya. Satu sisi, ini adalah sarana saya untuk menerima dan juga diterima oleh keluarga besar saya.
Sehingga ketika ada lontaran pertanyaan Kapan menikah? Kapan lulus kuliah? Kapan dapat pekerjaan? lanjut dengan pertanyaan sensitif lainnya. Itu semua sudah termaklum dalam silaturahmi ini. Jadi tidak ada yang sensitif lagi di antara kita. Namanya juga keluarga.
ADVERTISEMENT

Lebaran Tahun Ini; Jauh yang Dekat

Covid19 membuat acara Halalbihalal sempat tertunda. Tahun 2022 acara tersebut kembali digelar. Sayangnya, tahun ini saya berada di Timika, Papua dan tidak bisa mudik. Berarti sudah hampir lima tahun saya absen dalam acara Halalbihalal Trah Sontosudarmo.
Pertengahan April, Ibu meminta saya untuk membantu mengecek Buku Keanggotaan Trah. Buku ini dibuat untuk mendata semua anggota keluarga. Masing – masing dari kami bahkan mempunyai nomor keanggotaan sendiri. Tidak hanya anak kandung, menantu pun dimasukkan dalam buku ini. Jadi tidak heran ada orang Suku Batak, Suku Dayak, bahkan orang Korea yang terdaftar.
Data di Buku Keanggotaan Trah harus direvisi per tahun dengan pertimbangan kelahiran, kematian, atau penambahan anggota keluarga karena perkawinan (menantu). Saya pun menghubungi beberapa kerabat. Dari yang biasa saya hubungi sampai yang sama sekali tidak pernah saya hubungi.
ADVERTISEMENT
Bermula dari saudara sepupu, hingga kemudian merambah ke kerabat yang lain. Senang rasanya ketika mendengar bahwa ada kelahiran baru.
Sempat juga tertawa terkekeh karena mendengar tentang Mbak Erna yang sudah berkeluarga dan bersuamikan orang Korea. Ternyata suami dan anak – anaknya mempunyai nama Indonesia. Begitu pula Mbak Erna yang mempunyai nama Korea.
Rasa ini menjadi bercampur aduk ketika harus mengetikkan “alm” pada beberapa anggota keluarga yang sudah dipanggil oleh Tuhan. Pakde Bayan yang gagah dan tegap, berperawakan sangar tapi ramah. Pakde Yanto yang selalu mengisi Hikmah Halalbihalal, Pakde Gamping yang mempunyai karisma, serta Simbah Suparmi yang selalu tersenyum menyambut cucu – cucunya ketika datang. Saya pun menjadi takut, jangan – jangan ada berita yang tak saya dengar saat merantau di Papua.
ADVERTISEMENT
Sekian detik yang lalu saya merasa dekat dengan mereka semua. Sama seperti saat saya waktu kecil datang kepada mereka satu per satu untuk mendapatkan berkat lebaran (THR). Saya jauh, tapi saya terasa seperti dekat.
Lebaran kali ini memberikan sebuah peristiwa yang spesial. Saya kembali diingatkan bahwa saya adalah bagian dari Trah Sontosudarmo Cendeng Siswodarmojo. Lebaran mampu membuat saya menjadi terikat kembali dan tidak lepas dari keluarga. Seberapa jauhnya saya pergi.