Konten dari Pengguna

Kaleidoskop Pendidikan di Masa Pandemi

humaeni rizqi
guru madrasah pembangunan UIN Jakarta
23 Maret 2021 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari humaeni rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto diambil sebelum pandemi di kegiatan pengabdian kampus UIN Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
foto diambil sebelum pandemi di kegiatan pengabdian kampus UIN Jakarta
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 di Indonesia genap satu tahun. Lonjakan demi lonjakan orang-orang ‎yang terkonfirmasi positif sudah mencapai angka 1,4 jutaaan. Ini menjadi kaleidoskop yang sungguh sangat ‎mengkhawatirkan. ‎
ADVERTISEMENT
Penyebabnya, tekanan ekonomi dalam masyarakat kadang membuat mereka keluar dari ‎usaha untuk mengurangi aktivitasnya. Mereka mulai nekat untuk mencari penghidupan ‎dikarenakan mulai tertekan dengan kondisi perekonomian keluarganya. ‎
Kondisi seperti ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Perhimpunan Ahli ‎Epidemiologi Indonesia (PAEI) mengatakan, angka 1 juta terkonfirmasinya positif merupakan ‎angka yang mengagetkan. Karena berdasarkan hitung-hitungan, bahwa di awal tahun 2021 ‎seharusnya angka suspek positif harus sudah melandai. PAEI menyarankan supaya kita dapat ‎menekan kasus COVID-19, pemerintah harus menjaga keseimbangan antara penanganan pandemi ‎dengan pemulihan ekonomi.‎
Di kota Wuhan, tempat pertama kali virus ini ditemukan malah sudah mulai membaik. ‎Bahkan warganya sudah bisa menghirup udara bebas tanpa ada rasa takut. Tetapi Indonesia, pemerintah masih terus berupaya menekan dan mengendalikan COVID-19. Pemerintah juga terus berupaya memulihkan sektor-sektor imbas dari pandemi COVID-19. Termasuk pada sektor pendidikan.‎
ADVERTISEMENT
Dampak pandemi COVID-19 membuat kegiatan belajar-mengajar yang semula dilaksanakan di sekolah kini menjadi belajar di rumah melalui daring. Pembelajaran daring dilakukan dengan disesuaikan kemampuan masing-masing sekolah. ‎
Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 dari menteri pendidikan dan kebudayaan menjadi babak baru dimulainya pendidikan di tengah pandemi COVID-19. SE ini dikeluarkan sebagai respons agar dunia pendidikan harus tetap berjalan. Di antara kebijakannya yaitu membatalkan Ujian Nasional (UN) dan pembelajaran dilakukan dari rumah.‎
Kondisi ini sedikit membuat kaget bagi para pelaku pendidikan. Baik itu pemangku kebijakan, pendidik, tenaga pendidik, orang tua dan peserta didik. Mereka harus berpikir dan mampu menciptakan konsep yang dapat menunjang proses pembelajaran dalam kondisi pandemi. ‎
Terlebih media pembelajaran yang sangat minim dalam membantu proses kegiatan belajar-mengajar. Bahkan di desa-desa masyarakat baik pendidik dan peserta didik memilih untuk tidak melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.‎
ADVERTISEMENT

Pembelajaran Daring

Pembelajaran dengan konsep daring mulai diperkenalkan oleh lembaga pendidikan khususnya oleh pemerintah. Pembelajaran daring menjadi solusi pertama supaya pendidikan harus terus berjalan. Kendati demikian pada prinsipnya memang kebijakan pendidikan di masa pandemi COVID-19 adalah mengutamakan kesehatan dan keselamatan para peserta didik, para pendidik, ‎tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat pada umumnya, dalam rangka pemenuhan ‎layanan pendidikan selama masa pandemi.‎
Penerapan pembelajaran daring ini tentu menuntut kesiapan berbagai pihak, baik dari ‎pendidik, orang tua, dan peserta didik. Pertama bagi pendidik, dalam pembelajaran daring ‎pendidik sulit mengukur pencapaian pembelajaran karena antara materi yang satu dengan yang ‎lainnya. Terkadang ada di antara peserta didik yang tidak menyelesaikan tugas yang diberikan ‎oleh guru, dan kalaupun ada menyelesaikan tentunya sulit memastikan apakah itu hasil kerja anak ‎atau hasil kerja orang lain, dalam hal ini tentu orang tua.‎
ADVERTISEMENT
Kedua bagi orang tua yang harus mendampingi anak-anaknya belajar, terlebih lagi orang tua yang memiliki lebih dari satu orang anak. Tak jarang orang tua banyak yang mengeluh ‎dan merasa kewalahan akan pembelajaran daring. Ditambah bagi mereka yang memiliki pekerjaan ‎yang padat. ‎
Ketiga bagi peserta didik yang membutuhkan pendampingan dalam belajar, mereka harus melaksanakan berbagai macam tugas yang harus dikumpulkan dalam waktu yang telah ‎ditentukan. Kadang mereka tidak didampingi oleh orang tuanya. Sehingga banyak tugas yang ‎tidak dikerjakan atau mereka tidak ikut dalam pembelajaran.‎
Dari ketidaksiapan tersebut mulai ditemukan solusinya sering terus berjalannya waktu. ‎Guru mulai membuka kawah candra dimuka. Dengan menemukan terobosan-terobosan, seperti ‎memanfaatkan teknologi digital sebagai media pembelajaran.‎
ADVERTISEMENT
Konsep pembelajaran daring di sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas penunjang yang ‎lengkap lebih memudahkan. Misalnya sekolah yang sudah memiliki akun video conference, seperti Zoom dan lainnya. Ini akan memberikan kemudahan untuk melakukan tatap muka secara virtual. ‎Kemudian sekolah yang sudah memiliki Learning Management System (LMS). Ini akan semakin ‎memberikan kemudahan, selain di fasilitasi video conference, LMS juga dilengkapi dengan fitur-fitur perangkat pembelajaran. ‎
Berbeda bagi sekolah yang kurang memiliki fasilitas penunjang yang lengkap. Mereka ‎yang belum melek teknologi atau keterbatasan ekonomi paling hanya menggunakan media WhatsApp. Sebagai media mengirimkan tugas baik dari guru atau dari peserta didik ‎mengumpulkan tugas kepada guru. ‎
Dua anak menonton video belajar digital dari rumah di Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/03/2020). Foto: ANTARA/M Agung Rajasa

Kendala Teknologi dan Jaringan

Perbandingan kemajuan antara masyarakat kota dan desa memang berbeda. Saat ‎pembelajaran dilaksanakan secara daring hampir pendidikan yang di desa mengalami ‎kelumpuhan. Hal ini disebabkan oleh kondisi masyarakat desa. Pertama, kemampuan ‎perekonomian yang berada pada taraf masyarakat menengah ke bawah. Sehingga mereka ‎kesulitan untuk memiliki teknologi seperti komputer, laptop, notebook, dan smartphone. Kendati ‎demikian pemerintah memberikan program pembelajaran melalui stasiun televisi yaitu TVRI. ‎Tetapi tetap saja terkadang untuk menonton televisi saja harus dipasang antena yang menjulang ‎tinggi menggunakan bambu. Agar gambar di televisi bisa sedikit jernih
ADVERTISEMENT
Kedua, daerah perdesaan belum terpasang tower-tower sebagi pusat signal internet. ‎Sehingga bagi masyarakat yang sudah memiliki komputer atau smartphone masih kesulitan ‎mendapatkan signal. Kita sudah banyak melihat pengalaman masyarakat desa atas perjuangan ‎mendapatkan signal. Seperti memanjat pohon agar dapat belajar, melaksanakan proses wisuda di ‎dekat kuburan dan harus mendayung kelautan agar mendapatkan signal internet.‎
Ketiga, masyarakat desa belum paham cara mengoprasikan teknologi informasi. Orang tua ‎dalam mendampingi anaknya untuk belajar merasa gaptek (gagap teknologi). Ketika pemenuhan ‎atas tugas yang diberikan guru tidak dapat diselesaikan. Maka orang tua hanya dapat pasrah saja.‎
Berbeda dengan masyarakat kota yang secara geografis sudah hampir dipasang sumber ‎signal internet disetiap titik. Sehingga ini memudahkan dalam mengakses jaringan internet. ‎Kemudian pemerintah kota ada yang sudah memfasilitasi jaringan internet disetiap titik kelurahan ‎secara gratis. Contohnya di kota Tangerang Selatan masyarakat sudah bisa menikmati internet ‎secara gratis di dekat kantor-kantor kelurahan.‎
ADVERTISEMENT

Bantuan Data Internet

Pemerintah pusat menerapkan kebijakan pemberian kuota internet secara gratis. Baik ke setiap sekolah atau kampus-kampus. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam menunjang pembelajaran daring.‎
Pada tahun 2020 September-Desember Kemendikbud menganggarkan kuota internet ‎gratis sebesar Rp 7,2 triliun. Sedangkan di tahun 2021 Maret-Mei sebesar Rp 2,6 triliun. ‎Pemberian subsidi kuota internet ini mengalami penurunan.‎
Di lingkungan kementerian agama (Kemenag) menganggarkan kuota internet gratis sebesar ‎Rp 1,178 triliun. Angka ini memang lebih sedikit dari Kemendikbud. Karena jumlah sekolah ‎umum lebih banyak dibandingkan madrasah.‎

Utak-atik Kebijakan

Di awal tahun 2021 pendidikan dihebohkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Nasional ‎‎(BKN). BKN menjelaskan bahwa di tahun 2021 pembukaan CPNS untuk guru ditiadakan dan ‎diganti oleh Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK). Perubahan ini menuai kritik baik dari ‎akademisi, aktivis pendidikan, pendidik dan tenaga pendidik. Mereka menjelaskan bahwa ‎perubahan ini seakan mengisyaratkan bahwa guru itu seperti buruh. ‎
ADVERTISEMENT
Seharusnya guru menjadi profesi pertama yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Tugas ‎guru itu amat sangat berat harus mendidik dan menyiapkan generasi bangsa. Jika tidak ada prioritas dan perhatian khusus, maka siapa yang akan menjadi guru? Siapa yang akan mendidik ‎generasi bangsa?‎
Selain itu, munculnya Surat Keputusan (SK) tiga menteri mengenai aturan seragam ‎sekolah. Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag menyepakti bahwa peserta didik, pendidik, ‎dan tenaga kependidikan berkah untuk memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan ‎agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.‎
Surat keputusan ini mengundang banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat. ‎Misalnya Majelis Ulama Indonesaia (MUI) meminta pemerintah untuk merevisi dan menyarankan ‎kebijakan yang dibuat memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah ‎daerah untuk membuat pengaturan yang positif. Mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan ‎agama.‎
ADVERTISEMENT
Setelah polemik di atas meredup muncul kembali polemik terkait draf peta perjalanan pendidikan 2020-2035 yang menghapuskan frasa agama. Polemik ini memberikan kegaduhan di masyarakat. Ormas-ormas keagamaan banyak yang melakukan kritik terhadap kebijakan ini.‎
Konsep yang diusung Kemendikbud hanya menyebutkan permasalahan yang berkenaan dengan akhlak dan budaya di Indonesia. Frasa 'agama' tidak cukup diwakilkan dengan frasa ‎‎'akhlak' dan 'budaya'. Setiap agama mengajarkan bagaimana seseorang memiliki kepribadian ‎yang baik dan berakhlak mulia, serta beriman kepada Yang Maha Kuasa. Karena itu, ‎mengatakan, muatan agama tidak hanya berfokus pada akhlak dan budaya, melainkan juga ‎tentang bagaimana umat bisa melaksanakan ajarannya pada segala lini kehidupan sehingga ‎menjadi umat yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa. ‎
Evaluasi-evaluasi terkait pendidikan di tengah pandemi harus disadari. Seyogyanya ‎pemerintah memberikan solusi-solusi yang inovatif dan kreatif. Tidak memberikan kecemasan-‎kecemasan dengan membuat kebijakan yang dapat menimbulkan kegaduhan. Pemerintah ‎memberikan upaya yang fenomenal yang mampu membangun visi dan tujuan pendidikan di ‎tengah pandemi. Menghantarkan pendidikan yang berprestasi walaupun di tengah pandemi.‎
ADVERTISEMENT