Konten dari Pengguna

Aku, Anak Perempuan Pertama, dan Segala Kekalutan Usia 20 Tahun

Humaira Zildani
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Komunikasi Penyiaran dan Dakwah Islam.
26 Maret 2023 19:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Humaira Zildani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan sedih susah move on. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan sedih susah move on. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menjadi mahasiswa bukan perkara yang mudah bagi siapa saja yang menekuninya. Ada anak yang memikul harapan besar keluarganya di rumah, supaya lulus jadi sarjana kemudian bisa membantu perekonomian keluarganya.
ADVERTISEMENT
Bukan karena orang tua menjadikan anak sebagai aset atau investasi. Lagipula, besar juga harapan anaknya itu supaya bisa cepat membantu keluarganya dengan usahanya sendiri.
Rasa kasih sayang di antara mereka tidak bisa disamakan dengan materi. Tapi terkadang, kebutuhan ekonomi seolah-olah mengaburkan makna kasih sayang yang sudah sepantasnya.
Yang jelas, tidak ada perasaan terbebani satu sama lain. Semuanya mengusahakan semampunya untuk mewujudkan harapan yang sama. Orang tua membiayai pendidikan, sang anak fokus belajar. Meskipun berbagai macam kasus tidak semua keluarga atau anak berada di posisi demikian.
“Halo, Assalamualaikum, Buk.”
“Waalaikumsalam, Nak.”
“Uang Ara habis, Bu. Minggu kemarin kepake buat beli sabun dan detergen. Besok Ara harus ke kampus.”
“Ya Allah, bapakmu belum gajian, Nak. Tidak ada sama sekali? Di sini juga adikmu mengalah tidak bawa ongkos ke sekolah.”
ADVERTISEMENT
Owhh gitu ya. Ya udah, Buk. Ada kok masih, jawabku seadanya meski sebetulnya kurang.
Meski bapak berprofesi tetap sebagai pegawai ASN di kelurahan, yang dipandang sebagian orang cukup mampu, tapi untuk pendidikan kuliah di ibukota nampaknya sangat memeras pengeluaran. Apalagi anaknya yang tidak cuma satu. Mengandalkan gaji ASN saja sebenernya sangat kewalahan.
Dulu saat masih menduduki bangku sekolah, aku tidak terlalu memikirkan kondisi keuangan. Bukannya tidak pernah kekurangan dan selalu berkecukupan, tapi memang belum terpikirkan saja. Kalau lagi ada ya alhamdulillah, kalau misal lagi tidak ada ya... tidak terlalu dipusingkan.
Tapi sekarang, menginjak usia yang ke-20, aku mulai memikirkan bagaimana nasib ke depan. Apakah aku bisa menyelesaikan kuliahku? Mungkin untuk aku masih bisa. Tapi bagaimana dengan ketiga adikku? Besar harapan, akulah yang akan melanjutkan perjuangan bapakku untuk membiayai pendidikan mereka.
ADVERTISEMENT
Meski orang tua tidak pernah menuntutku untuk menuruti kemauan mereka, tapi rasanya aku ingin segera bisa mencukupi kebutuhan diriku sendiri dan bisa cepat membantu perekonomian keluarga.
Aku sedikit merasa iri terhadap mereka yang bisa sambil bekerja saat kuliah, walaupun aku juga mendengar keluh kesah mereka yang kelelahan selepas pulang dari aktivitas padatnya, tapi ku rasa bisa mendapatkan hasil dari usaha sendiri itu menyenangkan. Dan tentunya, tidak akan terlalu merepotkan kedua orang tua.
Selain itu, aku juga sedikit merasa iri terhadap mereka yang bisa dapat beasiswa. Sedih kadang kala kalau ternyata teman-teman penerima beasiswa gayanya hedon daripada kami yang berjuang mati-matian untuk bisa bayar mandiri uang kuliah.
Mencoba bekerja cari info loker seperti teman-teman, daftar beasiswa, tidak cuma sesekali kulakukan. Tapi sampai semester 4 ini, belum juga kudapatkan hasil daripada apa yang aku perjuangkan.
ADVERTISEMENT
Semakin hari, semakin merasa menjadi beban. Kebutuhan kuliah yang tidak terduga, terus saja memaksaku meminta transferan uang dari rumah untuk mencukupi keperluanku.
Aku terpaksa menghilangkan rasa malu dan tak enak hati pada mereka, yang tentu saja aku paham betul bagaimana kondisi mereka di rumah. Orang rumah harus mengalah kepadaku untuk menahan keinginannya. Mereka semua berjuang demi aku lulus menjadi sarjana.
Di usiaku yang ke-20, pencapaian orang lain terasa sangat sensitif bagiku. Meskipun aku terus mendukung pencapaian kawan-kawanku, tapi sedikit demi sedikit aku juga terus membandingkan diriku dengan mereka.
“Kok aku masih gini-gini aja ya?” batinku.
Twinggg. Satu notif pesan masuk ke WhatsApp-ku: Undangan untuk Aranita Farasya, dimohon kesediaannya menjadi moderator di acara Milad Fakultas.
ADVERTISEMENT
Aku membaca pesanku dengan bersemangat. Ini kali kedua aku diundang menjadi moderator di acara. Meskipun yang pertama kali acara tidak terlalu besar, tapi acara satu ini cukup banyak peminatnya dan ramai peserta setiap tahunnya.
“Insyaallah akan ada fee bagi setiap perangkat acara,” bunyi pesan yang masuk selanjutnya.
Aku tersenyum kegirangan. Siapa yang tidak senang mendengar ada upah dari apa yang kita kerjakan.
Aku terdiam sejenak. Mengingat semua kegiatan yang aku kerjakan di tanah rantauan. Selain berkuliah, aku aktif mengikuti organisasi dan kepanitiaan yang cukup membuatku kelelahan.
Meskipun tidak mendapat pemasukan materi dari situ, tapi aku sangat menikmati peranku dalam organisasi. Berjuang mencapai tujuan bersama, menyelesaikan konflik, dan menjalin relasi bertemu dengan orang-orang baru.
ADVERTISEMENT
Apakah itu belum cukup disebut sebagai pencapaian? Mungkin memang belum. Tapi ini masuk dari proses.
Aku mulai sadar, bahwa tentu masing-masing dari kita beda prosesnya. Lagipula aku masih berusia 20 tahun. Belum ada setengah dari usia maksimal rata-rata manusia 70-80 tahun. Aku terlalu terburu-buru memikirkan segalanya, dan menginginkan hasil yang cepat dan instant untuk semuanya.
Aku teringat pesan Bapak.
Ahh bapak, seorang laki-laki cinta pertamaku. Meski di matanya terlihat menanggung banyak beban, tapi sudut matanya terus menerbitkan senyuman. Seolah meyakinkan keluarganya, bahwa kondisi aman. Kalian tenang saja.
Yah... mungkin memang belum saatnya. Dan pasti akan ada waktunya. Tugasku sekarang adalah mahasiswa. Belajar dan mengambil pengalaman sebanyak-banyaknya. Tidak perlu membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain.
ADVERTISEMENT
Semua pasti akan ada gilirannya. Nikmati saja prosesnya, karena tidak semua hal yang kita lakukan, hasilnya akan terlihat begitu saja.
“Semangat. Jangan berhenti bergerak!” tekadku.