Konten dari Pengguna

Mata Hati Aini

Humaira Zildani
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Komunikasi Penyiaran dan Dakwah Islam.
29 Maret 2023 9:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Humaira Zildani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : Pixabay
ADVERTISEMENT
Matahari lebih terik akhir-akhir ini. Semenjak pohon mangga milik tetangga ditebang, halaman gubuk kami yang gersang semakin panas rasanya. Tapi ini bukan suatu hal yang patut disesali.
ADVERTISEMENT
Lagipula pohon mangga itu bukan milik sendiri. Harusnya kami berterimakasih pada si pemilik rumah yang sudah membiarkan pohon itu tumbuh menjulang tinggi sampai daunnya menaungi halaman rumah kami.
“Ibu sudah merasa lapar?” Tanyaku pada wanita paruh baya yang selalu cantik di mataku.
“Sudah? Aini suapi ya”
Hanya anggukan perlahan, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
Sudah satu tahun lamanya ibu menderita kelumpuhan. Semenjak kepergian ayah, penyakit darah tinggi ibu semakin parah. Dan kejadian terpeleset karena lumpur di ladang, menjadi awal mula ibu mengalami kelumpuhan.
Sedangkan aku,
Aku adalah gadis yang lebih beruntung daripada teman-teman sebayaku disini. Yahh meskipun kata beruntung itu aku yang menyematkannya sendiri. Sebab kata mereka, aku adalah gadis yang merugi.
ADVERTISEMENT
Menurut mereka, di usiaku ini harusnya sudah berstatus menjadi seorang istri. Tapi kurasa aku lebih beruntung daripada mereka karena lebih memilih untuk menamatkan pendidikan SMA.
Merupakan suatu hal yang wajar seusiaku atau malah dibawahku 18 tahun sudah menikah dan memiliki anak. Minimnya pengetahuan dan informasi di kampungku, membuat kebiasaan turun temurun menjadi hal yang wajib untuk ditaati kalau tidak ingin mendapat celaan sangsi sosial.
Tapi itu tak masalah bagiku. Aku sudah melihat sendiri bagaimana seorang pria yang tidak selalu baik dalam memperlakukan wanitanya. Masih lebih baik aku tidak membenci pria, sebab masih ada bayang-bayang kakekku yang sangat sayang pada keluarganya. Yahh.. tiimbang lelaki yang ku sebut ayah yang tega pergi entah kemana.
ADVERTISEMENT
Rumah Gubuk// Sumber Gambar : Pixabay
“Ahhmmm... Alhamdu” Ucapku saat menyuapi ibu saat suapan terakhir.
“Lillah” balas ibuku meski tidak jelas menyebutnya.
Aku sangat menyayangi perempuan di hadapanku ini. Dulu sewaktu masih sehat, ibu selalu memanggilku dengan sebutan mata kecilku yang cantik. Dibelainya rambut panjangku sambil terus berbisik,
“Semangat ya nak, ikuti kata hatimu”
Itu adalah kalimat dukungan ibu untuku yang memilih fokus belajar di tengah perjodohan yang terus dipojokkan untukku. Terlebih kami yang orang susah, maka akan dianggap sombong karena menolak pinangan seseorang.
Bagaimana aku akan menerimanya. Selain karena umurku yang masih sangat muda, pria yang dijodohkan untukku adalah duda beranak tiga. Meski tergolong mapan, tetap saja aku yang berhak mengatur hidupku sendiri. Bukan orang lain.
ADVERTISEMENT
“Assalamualaikum” Seru seseorang dari luar mengetuk pintu rumah kami.
“Waalaikumsalam” Jawabku bergegas keluar.
Saat kubuka pintu, terlihat seorang perempuan muda berbaju lusuh bersama bayi di pelukannya. Peluh keringat mengalir deras di dahinya. Nampaknya ia sehabis dari perjalanan jauh entah darimana. Sebab baru kali ini aku melihat keberadaannya.
“Bolehkah aku meminta sepiring nasi?” Katanya malu-malu. Tatapan matanya melihat kebawah.
“Kulihat dari luar jendela, kau tadi sedang makan bersama ibumu. Barangkali ada sedikit nasi untukku, asiku tidak keluar sama sekali sedang anakku terus saja menangis” Sambungnya yang kini berani menatap bola mataku.
Aku sedikit terkejut mendengar permintaannya. Dari rumah-rumah gedongan yang ada, apa yang bisa diharapkan dari tampilan gubuk kami yang berdinding papan? Apakah ia mengira ada sesuatu disini? Berbagai macam pertanyaan berputar di kepalaku.
ADVERTISEMENT
“Ia siapa? Darimana? Dimana rumahnya? Mengapa itu bisa terjadi pada dirinya?”
Perempuan muda dan bayi// Sumber Gambar Pixabay
Tentu aku izin terlebih dahulu pada ibuku. Dan sesuai tebakanku, ibu pasti mengangguk menyetujuinya.
“Terimakasih ya...”
“Iya sama-sama Kak” Aku menyebutnya “kak”. Aku rasa umur kita tidak terpaut jauh.
“Kau beruntung Aini” Ucapnya setelah meneguk habis segelas air putih di hadapannya.
“Bagaimana kau tau namaku?” Jawabku terkejut. Bagaimana tidak, bahkan aku baru saja melihatnya.
“Bagaimana kabar daftar perguruan tinggimu?” sambungnya tanpa memberi kesempatan untuk aku membalas penjelasannya terlebih dahulu.
Sumber Gambar : Pixabay
Aku makin terkejut mendengar pertanyaannya. Bagaimana bisa dia tau kalau aku mendaftar perguruan tinggi? Bahkan aku belum memberitahu ibu.
Sebenarnya ini kulakukan juga coba-coba saja. Dengan kondisi ibu yang lumpuh seperti itu, tak tega juga kalau aku harus meninggalkannya. Tapi kalau ternyata aku diterima di salah satu kampus yang aku pilih, aku berniat membawa ibu ikut denganku. Haha... Ini benar-benar pikiran yang sangat gila.
ADVERTISEMENT
“Ah tidak. Mana mungkin aku diterima. Sudah satu tahun dari kelulusan, aku tak pernah belajar lagi. Lagipula aku harus menjaga ibuku” Jawabku gugup. Sedikit malu juga menceritakan kenekatanku untuk daftar di perguruan tinggi.
“Owh ya, bagaimana kau bisa tau?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“Dua hari yang lalu aku melihatmu mencetak berkas keperluanmu di tukang fotokopi ujung sana”
“Kau terdengar seperti sangat memperhatikanku” Tanyaku takut-takut. Kenapa dia bisa tau sedetail itu tentang berkas pendaftaran kuliahku.
“Yahh... Aku pengagum tulisanmu” katanya sambil menepuk-nepuk bayinya yang sudah mulai tenang sambil menyusu.
Sumber Gambar : Pixabay
Semenjak ibu mengalami kelumpuhan, aku yang menggantikan ibu untuk bekerja di ladang milik tetangga. Tapi karena tak becus mengurus ladang, alhasil aku diberhentikan paksa oleh si pemilik ladang.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya aku sedikit merutuki perbuatanku yang selalu sibuk dengan belajar tanpa pernah membantu ibu di ladang. Dulu di pikiranku, aku hanya harus memperjuangkan nilaiku untuk mempertahankan beasiswaku mati-matian.
Tapi ternyata belajar saja tidak cukup. Hidup ini keras dan memaksa aku untuk harus bisa pada hal-hal yang aku tidak terampil mengerjakanya. Tapi melakukan hal yang gagal berulangkali juga bukan ide yang selalu baik
Oleh karena karena itu, akhirnya aku berusaha mempergunakan bakat menulisku untuk menjadi penulis lepas dan mengirimkannya ke surat kabar daerah.
Meskipun pendapatannya tak menentu, tapi setidaknya honor yang diberikan cukup untuk membeli beras buat beberapa hari kedepan. Yahh meskipun kami seringkali menahan lapar karena honornya dikirim terlambat.
ADVERTISEMENT
“Tulisanmu bagus dan terasa sangat nyata, membuatku percaya bahwa masih ada harapan dan perjuangan untuk menjalani hari esok” Ucapnya terlihat begitu tulus.
“Sungguh? Terimakasih kalau begitu. Kau membuatku bersemangat untuk menulis” Jawabku terlampau senang mendengar pujiannya.
“Jangan berhenti menuliskannya Aini. Masih banyak perempuan-perempuan di luar sana yang harus diperjuangkan hak nya.” Kata perempuan itu dengan tatapan sembabnya.
“Seperti aku dan bayiku” Sambungnya sembari tersenyum nanar.