Menghitung Anggaran Gaji Relawan COVID-19 Jika Dihargai Secara Profesional

Humam Zarodi
Alumni S1 Fakultas Geografi UGM dan Alumnni S2 pada Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UGM. Saat ini bekerja sebagai konsultan dan training center pemetaan pada lembaga SinauGIS Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
18 September 2021 7:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Humam Zarodi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di Bogor, Jawa Barat.
 Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di Bogor, Jawa Barat. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
ADVERTISEMENT
Mari kita hitung berapa triliun yang sudah disumbangkan para relawan COVID-19. Baik itu relawan di kampung/dusun dan desa di seluruh Indonesia. Tulisan ini terinspirasi dari status Facebook (FB) seorang kawan penggiat sosial, kebencanaan, dan juga seorang penulis, Bang Saleh Abdullah.
ADVERTISEMENT
Dalam status FB itu disampaikan para relawan bencana (termasuk relawan COVID-19) bekerja dengan skill, kapasitas, pikiran, hati, semangat, serta solidaritas. Bahkan sering bekerja melebihi batas standar kerja normal.
Pertanyaannya, apakah negara mampu menghitung nilai-nilai pengorbanan mereka? Misalnya mereka dihargai sebagai pekerja profesional serta mendapatkan gaji profesional pula. Tentu negara tidak akan mampu menghitung dan menggaji mereka. Begitulah kira-kira yang saya tangkap dari status itu.
Coba kita hitung berapa donasi dari para relawan COVID-19 yang sudah diberikan kepada negara ini. Katakanlah yang akan kita hitung relawan di tingkat desa saja. Dan seperti saya sebutkan di atas, para relawan ini digaji secara profesional. Sebagai rujukan, gaji profesional adalah Upah Minimum Provinsi (UMP). Katakanlah UMP terendah di Indonesia adalah sebesar Rp 1.765.000.
ADVERTISEMENT
Kemudian coba kita hitung berapa jumlah desa di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik jumlah desa di Indonesia sebanyak 81.616 desa. Apabila dalam 1 desa ada 4 relawan saja, kemudian bekerja selama 1,5 tahun selama pandemi, berarti sudah bekerja selama 18 bulan. Jadi gampangannya bisa kita hitung: jumlah desa x jumlah relawan dalam 1 desa x jumlah bulan x UMP per bulan. Bisa kita simulasikan sebagai berikut: 81.616 x 4 x 18 x Rp 1.765.000. Total jenderal sebesar Rp 10.371.761.280.000 atau Rp 10,37 triliun.
Nilai rupiah yang cukup fantastis. Dan perlu dipahami yang kita hitung baru relawan di tingkat desa saja, belum relawan kampung/dusun. Juga dalam 1 desa hanya kita hitung 4 relawan saja. Padahal kenyataannya, dalam 1 desa mempunyai puluhan relawan. Tentu saja kalau dihitung nilainya akan lebih dari 10 (sepuluh) triliun.
ADVERTISEMENT
Terkait hasil hitungan di atas, apakah negara mau dan mampu menganggarkan apabila para relawan digaji secara profesional? Bahkan untuk membayar klaim rumah sakit saja pemerintah masih belum bisa melunasi. Dilansir dari detikcom, Jumat (2/7/2021), pemerintah masih ada tunggakan klaim pasien Corona pada tahun 2020 sebesar Rp 2,69 triliun, masih ditambah tunggakan di tahun 2021. Apalagi untuk membayar gaji secara profesional para relawan kita.
Itu baru donasi dari para relawan, belum lagi donasi dari warga masyarakat yang memberikan bantuan kepada mereka yang isolasi mandiri (isoman), misalnya. Banyak cerita dukungan dari berbagai unsur masyarakat yang saling bantu dan bahu-membahu. Mereka bergerak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dalam mendukung penanganan COVID-19 di level kampung/dusun dan desa.
ADVERTISEMENT
Salah satunya gerakan donasi sembako yang dilakukan di salah satu dusun di Kabupaten Sleman, tepatnya di dusun Purwodadi. Salah seorang penggeraknya adalah Hervina Anggraheni atau akrab disapa Vina, adik tingkat semasa kuliah dulu. Ia bersama ibu-ibu relawan dusun menginisiasi kegiatan donasi sembako dengan membuat papan donasi yang diberi nama Papan Guyub Sembako (PGS).
Papan guyup sembako di Dusun Purwodadi, Kabupaten Sleman (sumber foto: Dokumen Pribadi Hervina Anggraheni).
Relawan PGS yang terdiri dari ibu-ibu dusun ini menginisiasi kegiatan donasi sembako sejak awal pandemi dan sampai sekarang masih berjalan. Tagline dari gerakan ini adalah “Ambil secukupnya, taruh seiklhasnya. Sedekah tidak harus mewah”.
Gerakan PGS ini diharapkan dapat membantu warga yang membutuhkan kebutuhan sembako pada masa pandemi ini. Namun belakangan ini, gerakan donasi sembako diganti dengan model pengantaran langsung kepada warga yang membutuhkan. Pengantaran dilakukan oleh ibu-ibu relawan PGS.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau pemerintah saat ini meminta kita untuk saling bantu antar sesama dengan menggunakan jimpitan atau dari dana kampung/dusun, sebenarnya sudah dilakukan sejak awal pandemi. Misalnya saat awal pandemi dulu ada gerakan lockdown mandiri yang dilakukan oleh relawan dan warga.
Saling jaga dan bantu saat pandemi ini merupakan modal sosial yang bisa menguatkan satu sama lain dalam menghadapi situasi dengan segala keterbatasan. Salam sehat dan tetap jaga protokol kesehatan.