Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Juvenalis: Ketika Dunia adalah Panggung Sindiran Tanpa Akhir
20 Januari 2025 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Juvenalis, yang namanya berayun di udara seperti pedang tumpul seorang gladiator, adalah seorang penyair Romawi yang gemar menertawakan absurditas dunia dengan cara yang, jika dipikirkan lebih jauh, tidak begitu berbeda dari kita yang menatap layar ponsel, menghela napas panjang, lalu mengetik: “Fix negara ini lucu.” Ia, mungkin tanpa sadar, adalah bapak baptis dari segala “ini negara +62” yang kini berseliweran di lini masa media sosial kita. Juvenalis tidak memiliki Twitter, tentu saja, tetapi jika ia hidup sekarang, dapat kita bayangkan dia menulis satire-satire pedas yang langsung menjadi viral sebelum akun-akunnya diblokir karena dianggap "melanggar pedoman komunitas."
ADVERTISEMENT
Karya-karya Juvenalis, yang terkumpul dalam Satires, bukanlah sekadar serangkaian puisi. Mereka adalah ledakan kecil dari frustrasi yang matang—sebuah genre kesedihan yang dihias dengan humor kejam. Dia bukan satiris yang menepuk pundak Anda sambil berkata, "Sabar, ya." Dia lebih seperti orang tua yang, setelah melihat Anda jatuh dari sepeda, menambahkan, "Nah, kan, sudah dibilang jangan gaya-gayaan." Dalam dunia Juvenalis, tidak ada ruang untuk kebodohan yang dibiarkan hidup tanpa hukuman. Ia adalah hakim, juri, dan pelawak tunggal di panggung kehidupan Romawi yang dipenuhi korupsi, kebobrokan moral, dan kebiasaan makan yang... yah, terlalu banyak garum.
Tentu, Juvenalis adalah penulis satire keenam yang memunculkan pertanyaan abadi: “Quis custodiet ipsos custodes?” atau “Siapa yang mengawasi para penjaga?”—sebuah pertanyaan yang sering terdengar di ruang tamu aktivis muda hingga acara obrolan malam dengan teman dekat. Juvenalis menulis ini bukan dengan keinginan untuk mendapat jawaban. Sebaliknya, ia menulisnya seperti kita mengeluhkan harga cabai yang terus naik: sebuah sikap, sebuah pelarian, sebuah protes yang tahu dirinya akan menguap seperti kabut pagi. Juvenalis tahu bahwa para penjaga yang seharusnya menjaga keadilan malah sibuk menghitung suap. Ia menertawakan mereka, karena apa lagi yang bisa ia lakukan selain menulis?
Bayangkan dunia Romawi yang ia lukiskan: pesta pora tanpa akhir di rumah orang kaya, sementara para budak menyeka lantai dengan tangan gemetar karena cambukan yang masih terasa di punggung mereka. Atau para politisi yang berbicara tentang "kebaikan bersama" tetapi diam-diam membangun vila megah di Campania. Apakah ini terdengar asing? Tentu saja. Juvenalis, seperti seorang cenayang yang tidak dibayar cukup mahal, sepertinya sudah meramalkan dunia modern ini. Di mana mereka yang berkuasa sering kali lebih tertarik pada pesta makan malam daripada nasib rakyat yang mengantri beras murah.
ADVERTISEMENT
Gaya tulisan Juvenalis adalah perpaduan antara kemarahan dan humor gelap. Ia tidak mencoba menyembunyikan kebenciannya terhadap dunia di sekitarnya, tetapi ia juga tidak melupakan seni dari kata-kata. Dalam salah satu satire-nya, ia menyindir warga Romawi yang terlalu tergila-gila pada roti dan sirkus (panem et circenses), dua hal yang membuat mereka lupa bahwa kebebasan mereka sedang dijual dengan harga murah. Bukankah itu seperti hari ini, ketika kita terlalu sibuk dengan diskon e-commerce atau drama selebritas di TV hingga lupa bahwa udara yang kita hirup semakin penuh dengan polutan?
Namun, Juvenalis tidak hanya menyerang para elite. Ia juga mencela masyarakat umum yang menurutnya terlalu pasif, terlalu mudah puas dengan sedikit hiburan, dan terlalu cepat menyerah pada janji-janji kosong. Ia menulis dengan tajam tentang kebodohan kolektif, tetapi tidak dengan nada yang membuat pembaca merasa terhina. Ia menulis dengan nada yang mengajak kita tertawa—tertawa pahit, tentu saja, tetapi tetap tertawa.
ADVERTISEMENT
Jika kita harus menemukan Juvenalis dalam lanskap budaya Indonesia, barangkali ia adalah campuran antara kolumnis yang gemar menyindir di koran Minggu dan seorang seniman stand-up comedy yang tampil di acara tengah malam. Juvenalis akan menikmati debat panjang dengan para pengamat politik sambil menyeruput kopi pahit di warung kecil, menertawakan ironi-ironi yang terlalu besar untuk dicerna dengan tenang. Ia mungkin akan menulis satire tentang para birokrat yang menjanjikan perubahan tetapi hanya mengganti kursi di ruang rapat, atau tentang para pengusaha yang menanam pohon untuk kampanye PR sambil meratakan hutan di sisi lain pulau.
Di akhir hidupnya—jika memang ia tahu kapan akhirnya—mungkin Juvenalis akan tersenyum kecil dan berkata, “Yah, dunia memang seperti ini.” Tapi senyum itu, jika kita perhatikan baik-baik, bukanlah senyum seorang pria yang menyerah. Itu adalah senyum seseorang yang telah melihat kebobrokan manusia dengan segala kemegahannya dan memilih untuk menertawakannya. Karena, seperti yang mungkin Juvenalis katakan jika ia berbicara langsung kepada kita hari ini: “Apa lagi yang bisa kita lakukan? Menangis? Itu terlalu mudah.”
ADVERTISEMENT
Deri Hudaya, saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya berjudul Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.
Live Update