Konten dari Pengguna

Mempertimbangkan Novel Sebelum Hancur Lebur karya Martin Suryajaya

Deri Hudaya
Pengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya.
3 September 2024 7:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilsutrasi dibuat dengan Firefly
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi dibuat dengan Firefly
ADVERTISEMENT
Sebelum Hancur Lebur adalah prekuel dari novel Martin Suryajaya yang terdahulu, Kiat Sukses Hancur Lebur. Berbeda dari Kiat Sukses Hancur Lebur yang ditulis dengan menggunakan gaya olok-olok terhadap buku motivasi dan bisnis, buku ini mengadopsi pendekatan bercerita sebagaimana novel umumnya. Novel ini juga sering dibicarakan sebagai satir terhadap keadaan sastra Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tokoh utama dalam novel ini bernama Risdianto. Dari kecintaan dan kekagumannya yang mendalam, ia pergi ke pertemuan sastra Indonesia di Ternate. Di sana, ia berharap menemukan ide untuk menulis puisi, tetapi selama pertapaannya, ia malah memperoleh visi tentang kehidupan sastra Indonesia di masa lampau dan masa depan. Dari pengalaman ini, Risdianto, yang lantas akan dikenal sebagai Anto Labil, menyadari bahwa cita-citanya sebagai sastrawan akan menghadapi jalan yang rumpil dan penuh tantangan.
Demikian, kira-kira deskripsi novel terbaru Martin yang dapat dibaca di beberapa platform buku. Keterangan tersebut tidak begitu menggambarkan unsur satir dari novel. Padahal, jika membaca novelnya, bagian-bagiannya dipenuhi dengan humor yang konyol, komedi yang radikal, kadang membuat marah, kadang membuat sedih. Garis besar kisahnya seperti sengaja memuntahkan unek-unek yang lazimnya hanya dibicarakan tipis-tipis, hati-hati, di antara para pelaku sastra saja.
Sampul novel Sebelum Hancur Lebur karya Martin Suryajaya
Kehadirannya yang penuh satir terasa lebih tajam karena relevean dengan konteks zaman. Dewasa ini banyak terjadi perubahan, tak terkecuali dalam khazanah sastra. “Disrupsi”, “gangguan”, adalah kosa kata yang lazim terdengar dalam diskusi atau seminar, baik dipengaruhi oleh isu krisis ekologi, perkembangan teknologi, maupun ekonomi global. Dua kosa kata itu kadang-kadang terasa sangat dekat dengan frasa yang digunakan Martin dalam judulnya “hancur-lebur”.
ADVERTISEMENT
Filsafat Kehancuran
Sebetulnya Martin lebih dikenal sebagai filsuf daripada sebagai sastrawan. Tulisan-tulisannya yang beredar sebagai buku atau yang disiarkan di media massa, lebih banyak esai kritis daripada fiksi. Di kanal Youtube-nya pun, ia lebih sering membahas tema-tema filsafat daripada sastra. Oleh sebab itu, memaknai novelnya, tak ada salahnya jika kita mengambil referensi dari beberapa filsuf yang pemikirannya beririsan dengan tema kehancuran.
Friedrich Nietzsche sering dianggap sebagai salah satu pemikir yang paling mendalami konsep kehancuran, terutama dalam karyanya yang terkenal, The Birth of Tragedy dan Thus Spoke Zarathustra. Nietzsche memperkenalkan gagasan tentang "nihilisme," yaitu keyakinan bahwa nilai-nilai moral dan makna tradisional telah kehilangan relevansinya. Bagi Nietzsche, hancur-leburnya konvensi tradisional diperlukan untuk menciptakan ruang bagi munculnya "Übermensch"--manusia unggul--yang dapat menciptakan konvensi baru.
ADVERTISEMENT
Martin Heidegger adalah pemikir berikutnya yang dapat dipertimbangkan. Heidegger berbicara tentang kehancuran atau "destruktion" dalam konteks kritiknya terhadap metafisika tradisional Barat. Dalam bukunya Being and Time, Heidegger menyarankan bahwa perlu ada destruksi terhadap cara berpikir metafisik yang ada untuk menggali pemahaman yang lebih otentik tentang keberadaan. Baginya, destruksi ini bukan berarti menghancurkan semata, tetapi lebih sebagai upaya untuk mengungkap kembali pemahaman asli yang telah tertutupi oleh segala macam interpretasi yang telah dan terus berkembang.
Referensi ketiga adalah Jacques Derrida. Derrida memperkenalkan konsep "dekonstruksi," yang sering disalahartikan sebagai "kehancuran" dalam arti populer dan sehari-hari. Sebenarnya, dekonstruksi baginya adalah pertanyaan kritis untuk menantang dan mengurai struktur-struktur dan makna-makna dalam teks, ideologi, dan filsafat yang telah mapan. Derrida percaya bahwa dengan mengurai dan meneliti struktur-struktur ini, kita dapat menemukan ambiguitas dan kontradiksi dalam teks atau pemikiran, yang kemudian dapat membuka cara-cara baru dalam pemahaman.
ADVERTISEMENT
Referensi berikutnya adalah Heraclitus. Filsuf Yunani kuno ini terkenal dengan pandangannya bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan perubahan dan kehancuran yang terus-menerus. Ia dikenal dengan ungkapannya "panta rhei" (semuanya mengalir) dan percaya bahwa konflik dan kehancuran adalah bagian alami dari kosmos yang dinamis.
Referensi terakhir adalah pada pemikiran Walter Benjamin. Dalam Theses on the Philosophy of History, Benjamin berbicara tentang sejarah sebagai proses kehancuran yang dialami terus-menerus. Baginya, masa lalu dan sejarah tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang telah selesai, tetapi sebagai ruang yang selalu terbuka untuk "diselamatkan" dari kehancuran melalui interpretasi baru.
Sebetulnya masih banyak pemikir yang berbicara tentang kehancuran, tapi tidak bisa ditulis semuanya di sini. Tulisan ini hanya memberi tawaran alternatif dengan mengambil pemikiran-pemikiran yang cukup populer di antara mereka yang mempelajari filsafat. Martin sendiri menempuh pendidikan selalu di bidang filsafat—dari sarjana sampai doktor—pasti pernah membaca, mendiskusikan, atau secara sadar dan tidak terpengaruh oleh corak pemikiran mereka.
ADVERTISEMENT
Membaca novelnya tanpa referensi filsafat pun boleh-boleh saja, tapi sebagai pembacaan alternatif, dengan mempertimbangan latar belakang penulisnya yang akademisi filsafat, saya kira membacanya sambil mempertimbangkan referensi-referensi filsafat tak ada salahnya. Sekalipun pembacaan dengan banyak referensi dianggap sebagai pembacaan tidak tulus, kotor, tapi setidaknya kita bisa menginterpretasikan gen filosofis dari gaya satir yang dipilihnya. Saya berada di antara mereka yang percaya bahwa Martin menulis dengan gaya satir bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi memang punya dasar yang ajeg. Selain alasan sosiologis, barangkali alasan filosofis pun patut dipertimbangkan.
Satir dan Kehancuran
Dalam salah satu konten Youtubenya berjudul Sastra Menjebol, Filsafat Membangun, Martin membuat semacam pengakuan bahwa baginya sastra dan filsafat adalah dua tulisan kreatif yang memiliki kedekatan. Filsafat adalah tulisan yang rigid, ketat, dan setia dengan rasionalitas. Sastra adalah tulisan yang lebih lues dan bisa ugal-ugalan menertawakan rasionalitas. Apabila filsafat dapat digunakan untuk mengkonstruksi sistem pemikiran, maka sastra bagi Martin adalah alat untuk menjebol atau menghancurkan sistem pemikiran.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangan pengakuannya, kita dapat gambaran lebih jelas kenapa gaya yang digunakan olehnya dalam novel adalah satir, tidak romantik, tidak juga progresif. Satir tiada lain adalah sebagai pengejawantahan dari pemikirannya bahwa sastra merupakan tulisan untuk menertawakan, menjebol, atau menghancurkan sesuatu yang telah menjadi sistem.
Mode penghancuran tersebut penting bagi Martin karena pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa adanya penghancuran. Motif penghancuran dalam pikiran Martin--sebagaimana pengakuannya--dibayang-bayangi oleh imajinasi bahwa mungkin setelah hancur, sistem dari sastra tersebut akan dibangun ulang dalam kontruksi yang lebih baik, lebih kokoh, lebih rasional dari sebelumnya.
Jadi, sebagai pembaca saya tidak merasa heran kenapa Martin yang konsisten di dunia filsafat, menempuh pendidikan selalu di bidang filsafat, kok hanya menghasilkan sastra yang nyinyir terhadap sastra. Jurstru karena konsisten belajar filsafatlah ia menghasilkan karya sastra yang demikian.
ADVERTISEMENT
Singajaya, 2 September 2024