Konten dari Pengguna

Menulis: Mendamaikan Intuisi dan Logika

Deri Hudaya
Pengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya.
22 Desember 2024 14:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menulis sering dikatakan sebagai aktivitas berpikir yang dituangkan ke dalam kata-kata. Pernyataan ini, meskipun terdengar megah, sama sekali tidak menjelaskan kekacauan yang sebenarnya terjadi di balik proses tersebut. Bayangkan ini: kepala Anda adalah ruang rapat dengan peserta tak diundang. Di satu sisi meja, Logika berdiri dengan setelan rapi, membawa bagan dan catatan kaki. Di sisi lain, Intuisi, mengenakan piyama dengan kopi tumpah di bajunya, menggumamkan ide-ide yang tak beraturan. Menulis adalah seni mengakomodasi dua kepribadian yang, dalam kondisi normal, mungkin akan saling menjatuhkan kursi.
ADVERTISEMENT
Logika, si perencana sempurna, percaya pada aturan. Dia menyusun struktur, memastikan setiap kalimat memiliki subjek dan predikat yang benar, serta menuntut paragraf berjalan dengan ritme yang tak terbantahkan. Bagi Logika, menulis adalah upaya membangun sesuatu yang kokoh dan tahan uji. Namun, Intuisi punya pandangan lain. Ia menganggap aturan adalah tembok yang menghalangi eksplorasi. Baginya, menulis adalah proses menemukan ide-ide di balik kabut pikiran, sering kali tanpa peta, apalagi rambu lalu lintas. Ironisnya, keindahan dalam menulis sering kali muncul dari tabrakan antara dua pendekatan ini—sebuah kekacauan kreatif yang tak terhindarkan.
Tentu, Logika sering kali merasa lebih unggul. Ia adalah suara yang membisikkan hal-hal seperti, “Kalimat ini terlalu panjang, potonglah.” atau “Anda harus mencantumkan sumber yang sahih.” Ia adalah penjaga yang memastikan tulisan Anda tidak menjadi absurditas yang membingungkan pembaca. Namun, dalam dominasi Logika, ada bahaya tersendiri. Tulisan yang terlalu terkendali kehilangan jiwa, seperti sebuah rumah tanpa jendela. Semua rapi, tetapi tidak ada udara segar yang masuk. Di sinilah Intuisi masuk sebagai penyelamat yang kacau: mengacaukan tata letak, menambahkan metafor yang tidak masuk akal, dan menyelinapkan emosi di tempat yang tak terduga.
ADVERTISEMENT
Namun, jangan salah. Intuisi juga tidak sepenuhnya suci. Dalam dosis yang salah, ia bisa menghancurkan segalanya. Ia bisa membuat Anda percaya bahwa menulis tanpa kerangka adalah ide yang brilian—hingga Anda sadar bahwa Anda telah menghabiskan tiga halaman untuk menggambarkan warna biru langit yang, jujur saja, tidak sepenting itu. Intuisi adalah pelukis liar yang, jika dibiarkan tanpa pengawasan, akan mencoret-coret kanvas dengan cara yang membuat Logika pingsan. Tetapi dalam kolaborasi yang penuh kompromi antara Logika dan Intuisi, keajaiban terjadi: tulisan Anda mulai hidup, tidak hanya berbicara, tetapi juga bernyanyi.
Ilustrasi dibuat dengan Canva
Di tengah perdebatan antara Logika dan Intuisi, pertanyaannya menjadi lebih rumit: siapa yang seharusnya memimpin? Dalam seni menulis, jawabannya tidak pernah sederhana. Logika mungkin akan berkata, “Saya punya data,” sementara Intuisi membalas dengan, “Saya punya perasaan.” Keduanya benar, tetapi kebenaran itu sendiri bukanlah satu-satunya tujuan dalam menulis. Ada sesuatu yang lebih besar: kemanusiaan, kompleksitas, dan mungkin sedikit kegilaan. Tanpa ini, tulisan hanyalah catatan kaki panjang dari sesuatu yang sudah diketahui semua orang.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Logika adalah benteng perlindungan. Ia memastikan bahwa tulisan tidak terperangkap dalam absurditas tanpa arah. Ketika Intuisi melompat-lompat di atas ide, Logika yang datang membawa tali, menahannya agar tidak terbang terlalu jauh. Inilah yang membuat tulisan tetap bisa dibaca. Struktur kalimat, alur yang jelas, dan tata bahasa adalah warisan Logika. Sayangnya, Logika juga bisa menjadi tiran. Dalam kediktatorannya, tulisan berubah menjadi laporan keuangan: padat, penuh angka, tetapi kehilangan keindahan yang membuat pembaca terpesona.
Sementara itu, Intuisi adalah jiwa pemberontak. Ia tidak peduli pada aturan; ia hidup untuk momen, ledakan ide, dan lompatan ke hal-hal yang tidak terduga. Intuisi adalah seniman yang berani menghapus satu halaman penuh hanya karena merasa “tidak ada magisnya.” Ia adalah alasan mengapa metafora seperti “langit adalah cermin yang retak” muncul di tengah paragraf tanpa alasan yang jelas. Namun, dalam kebebasannya, Intuisi sering kali tersesat. Ia menulis untuk dirinya sendiri, lupa bahwa pembaca juga perlu diberi ruang untuk mengerti.
ADVERTISEMENT
Ketika menulis, konflik antara keduanya tak bisa dihindari. Logika akan menginterupsi Intuisi dengan pertanyaan dingin, “Apa maksudnya ini?” Sementara Intuisi akan membalas dengan sindiran, “Kamu terlalu kaku.” Ketegangan ini menciptakan medan perang dalam pikiran. Namun, perang ini bukanlah sesuatu yang buruk. Sebaliknya, dari pertentangan inilah harmoni yang unik tercipta. Tulisan yang hebat tidak hanya jelas tetapi juga penuh kejutan; tidak hanya terstruktur tetapi juga memiliki jiwa.
Ironisnya, dunia modern sering kali memihak Logika. Kita hidup di era di mana efisiensi adalah raja dan output menjadi ukuran utama. Dalam tekanan untuk "menulis lebih cepat" dan "menghasilkan lebih banyak," Intuisi sering kali menjadi korban pertama. Waktu untuk merenung, bermimpi, atau sekadar membiarkan pikiran mengembara dianggap tidak produktif. Tapi tulisan yang benar-benar bermakna tidak lahir dari algoritma atau jadwal ketat. Ia muncul dari celah-celah waktu, dari momen-momen ketika Intuisi diberi kebebasan untuk bermain.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, banyak penulis besar yang mengandalkan Intuisi sebagai penggerak utama mereka. Haruki Murakami pernah berkata bahwa ia tidak tahu ke mana ceritanya akan pergi saat ia mulai menulis. Ia hanya mengikuti arus, membiarkan Intuisi membimbingnya. Di sisi lain, penulis seperti George Orwell adalah simbol dari Logika yang disiplin. Orwell merancang tulisannya dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap kata memiliki tempat yang jelas dan tujuan yang tegas. Keduanya menghasilkan karya-karya besar, tetapi dengan pendekatan yang sangat berbeda.
Namun, di tengah pujian untuk keduanya, ada sesuatu yang sering terlewat: keseimbangan. Menulis bukanlah tentang memilih salah satu, melainkan tentang menemukan cara untuk membuat keduanya bekerja sama. Dalam dunia yang memuja efisiensi, mungkin kita perlu belajar kembali untuk memberi ruang bagi Intuisi. Sebaliknya, dalam kegilaan kreativitas, kita juga perlu mendengarkan suara Logika yang memperingatkan agar tidak terlalu jauh melenceng.
ADVERTISEMENT
Keseimbangan ini tidak hanya relevan untuk menulis tetapi juga untuk berpikir. Hidup itu sendiri adalah kombinasi antara perencanaan dan spontanitas, antara struktur dan kekacauan. Menulis hanyalah refleksi dari cara kita memandang dunia. Jika kita terlalu bergantung pada Logika, kita kehilangan rasa ingin tahu dan keajaiban. Jika kita terlalu mengandalkan Intuisi, kita berisiko kehilangan arah dan tujuan.
Dalam banyak kasus, kegagalan menulis sebenarnya adalah kegagalan menemukan keseimbangan ini. Ketika tulisan terasa “kering,” mungkin itu karena terlalu banyak Logika dan tidak cukup Intuisi. Sebaliknya, ketika tulisan terasa seperti mimpi yang tidak jelas, mungkin itu karena Intuisi dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan. Tantangan bagi setiap penulis adalah belajar menjadi diplomat: seorang negosiator antara dua kekuatan besar yang, meskipun berbeda, sebenarnya saling melengkapi.
ADVERTISEMENT
Menulis, bagaimanapun, bukan hanya soal seni atau teknik. Ia adalah proses manusiawi yang melibatkan semua aspek keberadaan kita: pikiran, perasaan, dan intuisi. Dalam setiap kata yang kita tulis, kita tidak hanya berbicara kepada orang lain tetapi juga kepada diri kita sendiri. Dan di sinilah letak keajaibannya. Dengan Logika yang menjaga arah dan Intuisi yang memberi warna, tulisan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ia menjadi cermin, tidak hanya untuk dunia, tetapi juga untuk jiwa kita.
Hubungan antara Logika dan Intuisi dalam menulis adalah cerminan dari kompleksitas hidup itu sendiri. Keduanya bukanlah musuh, melainkan pasangan yang tidak selalu akur tetapi saling membutuhkan. Logika memberi kita peta, tetapi Intuisi memberi kita keberanian untuk mengambil jalan yang belum pernah dilalui. Menulis yang baik adalah hasil dari tarian keduanya—tarian yang terkadang canggung, terkadang indah, tetapi selalu penuh dengan kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada ironi gelap dalam hubungan ini: semakin kita mencoba menguasai keduanya, semakin sering kita gagal. Logika yang terlalu dominan membuat tulisan terasa seperti manual instruksi; Intuisi yang tak terkendali menghasilkan labirin kata yang sulit dimengerti. Keduanya, pada dasarnya, adalah pengingat bahwa menulis adalah seni yang bukan untuk dikuasai, sebab perlu terus-menerus dipelajari. Setiap upaya untuk menulis adalah eksperimen baru, dengan hasil yang tidak pernah sepenuhnya bisa diprediksi.
Mungkin, inilah pelajaran terbesar dari menulis: bahwa kita harus belajar berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semua paragraf akan sempurna, tidak semua ide akan bersinar, tetapi itu tidak masalah. Dalam setiap kata yang kita tulis, kita tidak hanya membangun cerita, tetapi juga membangun diri kita sendiri—satu kesalahan, satu lompatan intuisi, dan satu perhitungan logis pada satu waktu. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk membuat kita terus menulis, terus berpikir, dan terus mencari.
ADVERTISEMENT