Konten dari Pengguna

Menulis Sebagai Meditasi

Deri Hudaya
Pengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya.
16 Desember 2024 15:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang bilang menulis itu jalan sunyi. Seperti bertapa di gua gelap, mendengarkan suara hati sendiri yang kadang sumbang, kadang terlalu keras, dan sering kali hanya mengulang-ulang mantra yang sama. Tapi di zaman ini, siapa yang punya waktu untuk sunyi? Siapa yang sudi mendengar hanya dirinya sendiri, tanpa musik latar, tanpa dering notifikasi, tanpa huru-hara dunia di ujung jari?
ADVERTISEMENT
Menulis sambil bermeditasi? Kedengarannya mulia. Praktik yang seperti menyeimbangkan tubuh dan jiwa, sesuatu yang barangkali cocok difoto dengan pencahayaan lembut, diunggah ke Instagram dengan caption, "Menulis adalah perjalananku menuju diriku." Tapi bukankah kebanyakan kita menulis di sela-sela kehidupan yang berantakan? Sambil mengintip notifikasi WhatsApp, sambil menyeruput kopi susu kekinian yang lebih banyak gula daripada kopi, sambil bertanya-tanya, "Kenapa aku melakukan ini?"
Guru-guru menulis sering berbicara tentang flow, keadaan mental di mana waktu menguap, realitas memudar, dan hanya kata-kata yang tersisa. Katanya, itu seperti samadhi, keadaan puncak meditasi. Sebuah transendensi. Tapi jujur saja, flow itu apa sih? Sebagian besar dari kita lebih akrab dengan kebuntuan. Kepala berat, tangan kaku, dan layar kosong yang seolah mengejek. Kalau akhirnya keluar juga beberapa kalimat, sering kali itu terdengar seperti curhatan SMA yang tak sempat disunting. Flow? Ah, mungkin itu hanya mitos para profesional.
ADVERTISEMENT
Meditasi itu juga, katanya, butuh pengorbanan. Maka kita duduk berjam-jam di depan laptop, berperang dengan pikiran sendiri. Kita membongkar emosi terdalam, membuka luka lama, menahan tangis yang hampir pecah. Lalu, setelah semua perjuangan itu, kita menatap hasilnya: sebuah paragraf lemah yang bahkan kita sendiri malas membacanya. Tapi tetap saja, kita bangga. "Lihat," kita berkata pada diri sendiri, "Aku telah menulis. Aku sedang bermeditasi." Seolah-olah menulis itu jaminan pencerahan.
Padahal, kalau jujur, kita sering punya niat lain. "Kenapa kau menulis?" Kalau ditanya begitu, kita biasanya menjawab dengan kalimat indah: "Untuk memahami diriku," atau "Untuk menyelami makna hidup." Tapi tidakkah kita juga berharap lebih? Barangkali tulisan ini akan viral. Barangkali akan di-retweet oleh selebtwit. Barangkali akan ada editor yang melihatnya, menghubungi kita, lalu berkata, "Kami ingin menerbitkan buku Anda." Semua itu barangkali lebih dekat dengan motivasi kita yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Ada yang bilang, menulis itu seperti bercermin. Melihat wajah sejati
Ilustrasi: Imagine Art
kita sendiri. Tapi apa gunanya? Bercermin juga hanya menunjukkan kerutan baru di sudut mata, jerawat kecil yang muncul tak diundang, atau kantung mata yang makin dalam. Dan menulis, seperti cermin, sering kali hanya membuat kita sadar akan hal-hal yang sebenarnya tak ingin kita lihat. "Oh, ternyata aku pemarah." "Oh, ternyata aku pencemburu." "Oh, ternyata aku kosong." Setelah menyadari itu semua, kita mengetik dengan gemetar, berharap ada sesuatu yang bisa memperbaiki bayangan itu. Tapi tidak ada. Cermin hanya memantulkan.
Kita mungkin berpikir menulis akan membawa pencerahan. Bukankah itu yang dilakukan para penyair besar? Mereka menulis, lalu kita membaca karya mereka, dan kita tercerahkan. Tapi menulis sendiri, bagi sebagian besar dari kita, hanya memperlihatkan betapa jauh kita dari tingkat keagungan itu. Bukannya tercerahkan, kita malah tenggelam lebih dalam dalam kegelisahan. "Kenapa kata-kataku tak seindah mereka? Kenapa pikiranku tak setajam itu?" Menulis yang seharusnya menjadi meditasi malah berubah menjadi kompetisi.
ADVERTISEMENT
Meditasi yang sejati, katanya, adalah menerima. Melepaskan. Tapi siapa di zaman ini yang bisa benar-benar menerima? Kita menulis bukan untuk menerima, tapi untuk mengubah. Mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang indah, mengubah kenangan buruk menjadi cerita yang berarti, mengubah diri kita yang biasa-biasa saja menjadi seseorang yang patut diperhatikan. Kita menulis untuk melawan kenyataan, bukan untuk berdamai dengannya. Dan itu tak apa-apa. Tapi apakah itu masih bisa disebut meditasi?
Lalu ada distraksi. Katanya, meditasi butuh fokus. Tapi siapa yang bisa fokus? Kita menulis sambil membuka YouTube, sambil membalas pesan singkat, sambil memikirkan tagihan listrik dan deadline kerjaan. Kita menulis di antara keharusan-keharusan hidup, berharap ada sesuatu yang transendental muncul di sela-sela itu. Tapi yang muncul biasanya hanya kelelahan.
ADVERTISEMENT
Jadi, menulis itu meditasi? Barangkali. Tapi meditasi yang penuh kegaduhan. Menulis sambil bertanya-tanya apakah ada yang peduli dengan apa yang kita tulis. Apakah tulisan ini akan dibaca? Apakah tulisan ini akan membuat perbedaan? Dan kalau tidak ada yang membaca, kalau tidak ada yang peduli, apakah itu membuat kita tercerahkan? Atau malah lebih gelap dari sebelumnya?
Barangkali meditasi sejati itu bukan menulis. Tapi berhenti menulis. Menutup laptop, keluar rumah, mendengarkan suara burung, atau sekadar duduk diam tanpa agenda. Tapi itu juga masalahnya: siapa yang mau berhenti menulis? Di zaman ini, menulis adalah cara kita berbicara. Dan bukankah dunia modern mengukur manusia dari siapa yang paling banyak berbicara?
Kalau begitu, meditasi macam apa ini? Ah, barangkali ini meditasi versi manusia modern. Penuh distraksi, penuh kegelisahan, penuh kesia-siaan. Tapi, hei, siapa tahu? Di tengah kegaduhan itu, kita menemukan sepotong sunyi yang tak disengaja. Sesuatu yang kecil, tapi cukup untuk membuat kita terus menulis.
ADVERTISEMENT