Konten dari Pengguna

Nama Besar, Karya Kecil

Deri Hudaya
Pengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya.
11 September 2024 6:20 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat dengn Firefly
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat dengn Firefly
ADVERTISEMENT
Rahasia yang kau simpan, biarlah terus tersimpan.
Hanya aku yang tahu.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya hanya aku saja.
Sama sepertimu.
Rahasia ini juga akan kubawa
sampai mati.
Sampai ajal menjemputku.
Itulah dua bait puisi yang barangkali bisa menjadi pengalaman membaca paling buruk setelah Anda selesai membacanya. Hubungan antarkata, antarlarik, antarbait, sangat klise dan biasa saja. Tidak ada simbol, metafor, imajinasi yang diharapkan, yang biasanya kita temukan dari puisi. Betapa klise dan biasa-biasa saja puisi "Rahasia yang Dibawa Mati"itu. Barangkali muncul pertanyaan kenapa bisa teks semacam itu disebut puisi. Ah, barangkali ini puisi dalam mimpi buruk, bukan puisi dalam kenyataan.
Pada kenyataannya orang yang menulis teks klise itu ternyata mendapat sejumlah penghargaan sastra baik di nasional maupun internasional, misalnya saja Lifetime Achievement Award pada 2021, Penghargaan Sastra Kemanusiaan dan Diplomasi ASEAN pada 2020, dan dinobatkan sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia oleh Tim 8 pada tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Ah, kenyataan dan mimpi buruk telah dikompromikan bersama politisi, pemilik modal besar, intelektual-intelektual prabayar, dan sosok narsis bernama Denny JA.
Asal-Usil Denny JA
Denny JA, nama yang sering melayang-layang di udara sastra Indonesia itu, bukanlah sosok yang lahir dari pangkuan sastra itu sendiri. Tidak, ia bukanlah penyair yang pernah termenung di antara bait-bait Chairil Anwar atau tepekur dalam labirin puisi Sutardji. Denny JA lahir dari dunia yang berbeda—sebuah dunia di mana strategi politik, statistik, dan pencitraan adalah bahasa sehari-hari. Ia memulai kariernya dengan angka dan kampanye, bukan dengan sajak dan kata. Latar belakangnya yang sarat dengan ilmu komunikasi dan politik membuatnya piawai, bukan dalam merangkai kata-kata puitis, tetapi dalam merangkai kalimat-kalimat persuasif yang bisa membuat sebuah produk—atau nama—menjadi merek yang diingat sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Sebelum lebih jauh membicarakan sastra, kita bisa melihat kiprahnya dalam politik praktis. Denny JA, bersama dengan lembaga surveinya, LSI (Lembaga Survei Indonesia), telah berhasil menciptakan reputasi sebagai salah satu kekuatan dominan dalam arena politik Indonesia sejak tahun 2005. LSI, yang sering kali berada di garis depan dalam analisis politik dan survei pemilihan umum, memiliki rekam jejak yang mengesankan dalam memprediksi hasil pilpres dengan akurasi tinggi. Dengan metodologi survei yang dianggap canggih dan analisis yang tajam, LSI tidak hanya dikenal karena kemampuannya meramalkan hasil pemilihan tetapi juga karena kemampuannya mempengaruhi arah politik nasional. Keberhasilan ini, dalam banyak hal, memperkuat posisi Denny JA sebagai pengaruh besar dalam politik Indonesia, terutama dalam konteks pemilihan presiden.
ADVERTISEMENT
Sukses berulang kali dalam memenangkan pilpres bukan hanya mencerminkan keterampilan survei LSI, tetapi juga menunjukkan kekuatan Denny JA dalam menavigasi dan mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Melalui analisis yang mendalam dan strategi kampanye yang terencana, Denny JA dan LSI telah menjadi kekuatan yang sulit diabaikan oleh calon presiden dan partai politik. Keberhasilan ini menegaskan peran penting mereka dalam membentuk hasil pemilihan umum dan mengukuhkan posisi mereka sebagai penggerak utama dalam politik Indonesia.
Maka sebagaiamana halnya dalam politik yang kapitalistik dan penuh intrik, ia mengerti pentingnya branding ketika memasuki arena sastra. Bagi Denny JA, setiap puisi, sebuah langkah dalam kampanye panjang menuju kejayaan pribadi. Mengapa harus berpuas diri dengan menjadi ahli survei politik, ketika Anda bisa juga menjadi penyair besar? Mengapa berhenti hanya di dunia realitas keras politik, jika Anda bisa juga masuk dunia lain—dunia di mana kata-kata adalah senjata, dan kekuasaan bisa dicapai lewat ritme dan rima?
ADVERTISEMENT
Motivasi Denny JA memasuki sastra, mungkin, adalah karena ia melihat celah yang belum sepenuhnya dijamah oleh strategi komunikasi modern: puisi yang bisa ditata ulang menjadi produk, yang bisa dikapitalisasi menjadi wacana besar. Barangkali, ia berpikir bahwa di antara deru kampanye politik yang bising, mungkin ada pasar lain yang bisa jadi alternatif, sebuah dunia yang rindu akan "genre baru". Dan siapa yang lebih layak menjadi pelopornya selain seorang yang sudah terbukti mampu mengemas realitas menjadi narasi yang meyakinkan?
Maka, jadilah Denny JA seorang "sastrawan." Latar pendidikannya tak banyak bicara tentang puisi, tetapi ia belajar dengan cepat bahwa puisi bisa menjadi panggung baru untuk tampil. Ia tahu bahwa di dunia yang haus akan figur-figur baru, seorang "penyair-politikus" adalah kombinasi yang menjanjikan; mempesona, penuh kejutan, dan tentu saja, sangat layak untuk diberitakan.
ADVERTISEMENT
Begitulah, ia melangkah ke dunia sastra dengan gaya seorang politisi yang memasuki arena kampanye baru—penuh percaya diri, dengan visi besar untuk dirinya sendiri. Karyanya tidak begitu jelas, sebab yang utama adalah memfigurkan diri sendiri.
Puisi-Esai Denny JA
Puisi-esai, sebuah genre yang konon begitu revolusioner itu, lahir dari sang Denny JA. Puisi itu berbentuk naratif yang mesti dilengkapi catatan kaki--sekalipun tidak begitu substansial metode itu. Ia pun tidak hanya menciptakan genre; ia juga menciptakan wacana, menciptakan kehebohan, menciptakan kompetisi—semuanya dalam satu gerakan yang, bagi sebagian besar orang, tampak seperti sebuah parade besar yang hanya dihadiri oleh satu peserta utama: dirinya sendiri.
Dalam narasi besar ini, puisi-esai dijanjikan sebagai bentuk sastra yang akan mengguncang dunia literatur Indonesia. Ketika publik tidak terguncang oleh puisi-esainya, ia rajin membuat seminar dan membayar tokoh-tokoh untuk membicarakan puisi-esainya. Ketika publik masih tidak terguncang, ia membuat lomba puisi-esai agar anak-anak muda membaca, mempelajari, menulis sesuai metode puisi-esai yang ditarawkannya meski tanpa substansi jelas. Ketika publik masih tidak terguncang, ia membuka rubrik puisi-esai di media sastra ternama; ia juga mempublikasikan tulisan-tulisannya di media abal-abal yang bisa ia bayar dan ia kendalikan.
ADVERTISEMENT
Semua itu, tidak sekadar melahirkan sebuah genre baru dan amat politis yang disebut puisi-esai itu. Ia seperti seorang pengusaha sekaligus politisi yang berkampanye dengan visi besar: menciptakan produk yang akan menggemparkan pasar sastra, lengkap dengan segala strategi pemasaran yang terarah. Dan, tentu saja, tidak ada kampanye pemasaran yang lebih baik daripada menciptakan buku yang konon menjadi tonggak sejarah baru sastra Indonesia. Maka, lahirlah buku kanon 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh"
Namun, yang menarik dari buku ini bukanlah tokoh-tokoh yang telah lama kita kenal dan kagumi, melainkan nama Denny JA yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Nama yang menonjol di antara para sastrawan yang sudah matang oleh karya-karya besar, sementara ia sendiri masih sibuk menggulirkan wacana puisi-esai di pasar pembaca. Bagaimana nama itu bisa masuk? Ah, di sinilah seni bermain mata dengan para "kurator".
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang dengan modal besar, Denny JA pun bukan hanya seorang penyair yang amat politis; ia adalah seorang kapitalis ulung yang melihat peluang di setiap celah. Ia memahami bahwa di balik layar, ada meja-meja diskusi di mana sejarah bisa dinegosiasikan, di mana kurator bisa diundang berdiskusi panjang. Tentu saja, diskusi yang melibatkan lebih dari sekadar puisi—diskusi yang mungkin juga menyentuh tentang visi, tentang peran penting seseorang dalam "menjaga" kelangsungan sastra Indonesia, atau barangkali, tentang hal-hal yang lebih konkret: anggaran, dana, dan peluang-peluang baru untuk proyek mendatang.
Dalam skenario ini, Denny JA memainkan peran sebagai kapitalis besar dalam dunia puisi. Bukan karena ia memiliki bait-bait yang memukau atau metafora yang mendalam, tetapi karena ia memiliki modal, baik finansial maupun sosial. Ia tahu bahwa untuk membesarkan nama, tidak cukup hanya menulis; perlu ada lembaga-lembaga, lomba-lomba, dan tentu saja, buku-buku kanon dengan judul besar. Dan siapa yang lebih besar dari seorang tokoh yang bisa memasukkan namanya sendiri ke dalam daftar 33 tokoh paling berpengaruh?
ADVERTISEMENT
Maka, di balik buku itu, di balik daftar kurator yang menyusun nama-nama itu, ada satu nama yang terus berbisik: "Denny JA." Seolah-olah seluruh dunia sastra ini adalah panggung yang dibuat untuk satu pemain tunggal. Seperti seorang maestro di balik tirai, ia menarik benang-benang kuasa, memastikan bahwa namanya terpatri abadi di dalam sejarah, meski maknanya sendiri mungkin lebih tipis daripada sebuah bait.
Sementara itu, dunia sastra bertanya-tanya: apa yang sebenarnya diberikan oleh semua ini? Sebuah genre yang lebih banyak dibicarakan daripada dibaca, sebuah kompetisi yang lebih banyak menghadirkan nama daripada karya, dan sebuah buku yang lebih banyak menimbulkan desas-desus daripada penghargaan tulus. Tetapi Denny JA, tahu, bahwa sejarah adalah tentang siapa yang menulisnya, bukan tentang siapa yang membacanya.
ADVERTISEMENT
NFT: Untuk Memonumenkan Nama
Setelah mengklaim tempat dalam buku sejarah sastra Indonesia dan mempopulerkan “puisi-esai” sebagai genre baru, Denny JA tampaknya menyadari bahwa panggung dunia nyata tidak lagi cukup untuk memonumentkan namanya. Kini, saatnya berpindah ke panggung yang lebih luas: dunia digital. Dan apa yang lebih modern, lebih kekinian, dan lebih “mengguncang” daripada meluncurkan NFT—non-fungible token, bentuk aset digital yang konon akan merevolusi dunia seni dan koleksi.
Di sinilah permainan dimulai lagi. Denny JA, dengan segala kepiawaiannya dalam pencitraan, segera menyadari bahwa dunia NFT adalah ladang baru yang bisa dieksplorasi. Sebagai seorang pelopor puisi-esai, ia merasa terilhami untuk memasuki dimensi yang lebih canggih: blockchain. NFT miliknya berjudul “A Portrait of Denny JA” dijual di Opensea pada 22 April 2021 dengan harga 1 Milyar.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Denny JA mengatakan bahwa blockchain technology yang mendasari chryptocurrency dan produk NFT adalah revolusi. Peradaban dunia secara mendasar akan berubah. Budaya keuangan dan seni di Indonesia juga akan ikut berubah.
Pada tanggal yang sama beberapa media nasional mengutip namanya dan membuat narasi, seperti yang dilakukan Berita Satu: “Selain dikenal sebagai pelopor konsultan politik dan pelopor puisi-esai, kini Denny JA mulai juga dikenal sebagai pelopor NFT di Indonesia.” Sungguh, betapa hebatnya sosok satu ini dalam membaca dan memainkan mekanisme pasar untuk mengabadikan namanya sendiri. Ia memang punya kecerdasan politik dalam melihat fenomena sosial dan pemasaran, ia punya kemampuan finansial yang menjadi modal untuk mewujudkan hasrat dan keinginan, tapi yang terbaik adalah ketika ia sama sekali tidak merasa malu untuk melakukan semua itu.
ADVERTISEMENT
Singajaya, 10 September 2024.