Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Paradoks Pram: Yang Bisu, Yang Bernyanyi
5 Februari 2025 8:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Deri Hudaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer adalah nama besar dalam dunia sastra Indonesia. Ia bukan sekadar penulis, tetapi juga saksi sejarah yang hidup dalam ketidakadilan dan kontradiksi. Lahir di tengah pergolakan kolonialisme dan kemerdekaan, ia tumbuh menjadi suara lantang yang menantang kekuasaan. Dalam video dokumenter yang dibuat Yayasan Lontar, Pram menegaskan: "Kalau Anda penakut, jangan jadi penulis." Pernyataan ini mencerminkan sikapnya yang teguh, bahkan ketika kekuasaan berulang kali berusaha membungkamnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana gaya para penulis realisme sosial, gaya penulisan Pram lugas dan tajam. Ia menolak metafora yang berlebihan dan lebih memilih narasi yang mengalir, membumi, serta berakar kuat pada kenyataan sosial. Ia menulis tentang penderitaan manusia, ketidakadilan yang terstruktur, dan perlawanan yang sering kali berakhir dengan kekalahan. Realisme sosial sadar politik, sastra harus berpihak pada kaum tertindas, dan penulis seperti Pram tentu saja membuat jengah penguasa otoriter.
Orde Baru pun menganggapnya ancaman dan menghukum tanpa pengadilan dengan membuangnya ke Pulau Buru pada tahun 1969. Ironisnya, meskipun dituduh berafiliasi dengan komunisme, Pram tidak pernah mengakui dirinya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, dalam rezim yang menolak ambiguitas politik, seorang intelektual kiri dianggap cukup berbahaya dan perlu diasingkan.
ADVERTISEMENT
Bersama intelektual Lekra dan banyak tahanan politik lainnya, Pram dibisukan di Pulau Buru. Intensitasnya dalam membaca dan menulis dibatasi, bahkan dilarang. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis yang bersimpati pada nasibnya, pernah mengirimkan mesin tik untuknya, tetapi mesin tik itu tidak pernah sampai. Pram, yang dipaksa untuk bisu, akhirnya menulis memoar Nyanyi Sunyi Seorang Bisu sebagai bukti bahwa manusia tidak bisa dibungkam.
Tak hanya itu, Pram melahirkan Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel ini menggambarkan kelahiran kesadaran nasional Indonesia. Melalui tokoh Minke, Pram menunjukkan bagaimana kolonialisme bukan hanya soal senjata dan penjajahan fisik, tetapi juga penjajahan pikiran dan identitas. Ironisnya, kolonialisme dan feodalisme yang dikritiknya tidak berakhir ketika Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Paradoks semakin nyata ketika melihat bagaimana Tetralogi Buru diterima di dunia internasional. Di luar negeri, karyanya dipuji sebagai karya sastra besar yang menggambarkan perjuangan melawan kolonialisme. Namun, meskipun diakui luas, Pram tidak pernah mendapatkan Nobel Sastra. Seperti Leo Tolstoy dan para sastrawan kiri lainnya, ia diabaikan bukan karena karyanya kurang bermutu, tetapi karena realisme sosial yang diusungnya dianggap terlalu politis.
Nobel Sastra sering kali diberikan kepada penulis dengan posisi politik yang lebih "dapat diterima" dalam tatanan global. Sementara Aleksandr Solzhenitsyn yang menentang komunisme mendapat pengakuan, Pram yang menentang ketidakadilan dalam berbagai bentuknya justru dikesampingkan. Hadiah nobel sastra, nyatanya tidak murni untuk kepentingan kemanusiaan (humanisme), tapi lebih spesifik memilih liberalisme.
Di Indonesia, paradoks lain terjadi. Setelah Pram dibebaskan dan lebih leluasa menulis, buku-bukunya tetap dibatasi, dilarang, dan dibredel oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini membuat karyanya menjadi langka dan jadi buruan kolektor. Ironisnya, kelangkaan ini justru menjadikannya komoditas. Harga buku-bukunya melambung tinggi, dimainkan oleh pasar, dan tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Menjelang peringatan seabad Pram pada 6 Februari 2025, ironi semakin tajam. Korporasi besar seperti Gramedia menerbitkan ulang karyanya sehingga harganya lebih terjangkau. Akan tetapi, hal ini membawa pertanyaan besar: apakah kapitalisme akhirnya membantu menyebarkan gagasan realisme sosial Pram lebih luas, atau justru melunakkan daya kritiknya agar lebih mudah dijual?
Realisme sosial yang menjadi landasan pemikirannya tampak bertentangan dengan logika bisnis yang diterapkan oleh penerbit besar seperti Gramedia. Meskipun bukunya kini lebih mudah diakses, apakah makna perjuangannya masih tetap tajam, ataukah telah dimanfaatkan oleh industri yang justru bertentangan dengan semangatnya?
Ada banyak paradoks dalam kisah hidup Pram dan juga nasib karya-karyanya. Namun demikianlah jarak antara idealisme dan kenyataan. Idealisme adalah wilayah perjuangan habis-habisan, sementara kenyataan tak bisa sepenuhnya dimenangkan. Yang menarik dari kisah Pram adalah upayanya untuk terus bersuara, untuk tidak tunduk pada segala bentuk penindasan.
ADVERTISEMENT
Pram telah meninggal pada 30 April 2006, dan tak bisa meminta pendapatnya tentang paradoks-paradoks yang ada di sekitar diri dan karyanya. Namun, Pram seperti telah mempertimbangkan dan mempersiapkannya, seperti yang dikatakan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam Bumi Manusia: "Kita sudah melawan, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."