Konten dari Pengguna

Alih Fungsi Lahan Hutan untuk Ketahanan Pangan dan Energi? Ini Kata Pakar UMS!

Universitas Muhammadiyah Surakarta
Akun ini dikelola oleh Humas Universitas Muhammadiyah Surakarta Unggul Mencerahkan Mendunia
31 Januari 2025 14:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dosen Fakultas Geografi UMS, Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D. saat diwawancarai. Dok Humas UMS
zoom-in-whitePerbesar
Dosen Fakultas Geografi UMS, Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D. saat diwawancarai. Dok Humas UMS
ADVERTISEMENT
SURAKARTA – Alih fungsi lahan hutan ke perkebunan menjadi keresahan tersendiri bagi Indonesia. Terlebih Indonesia menjadi salah satu pemilik hutan tropis terbesar setelah Brazil. Pakar kehutanan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D., mengatakan bahwa penambahan alih fungsi lahan telah melukai komitmen Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya penambahan lagi terkait alih fungsi hutan itu sendiri juga melukai komitmen dari Indonesia karena Indonesia sudah berkomitmen yang pertama dengan REDD dalam mengurangi emisi dari deforestasi itu sendiri maupun dari degradasi hutan itu sendiri,” ungkap Pakar Kehutanan UMS itu.
Selain itu, Indonesia juga mengkhianati Paris Agreement dan komitmennya untuk mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dalam menyeimbangkan antara ekologi dan ekonomi. Di dalam hutan terdapat abiotik dan biotik. Apabila hutan digunduli, fauna dan flora akan kehilangan habitatnya.
“Contohnya saja kera atau apapun yang bertempat tinggal di hutan tersebut pastinya akan lari ke tempat yang lain mencari habitat yang sesuai. Jika tidak ada habitat yang sesuai, maka akan bisa dikatakan akan menjamah ke ranah lingkungan manusia,” tutur Aziz, Jumat (31/1).
ADVERTISEMENT
Ironisnya jika hewan-hewan menjamah ke lingkungan manusia, kemudian yang dilabeli sebagai hama adalah para hewan yang kehilangan habitat mereka. Kemudian hewan-hewan tersebut akan diburu atau dimatikan dan terancam kepunahan. Selain itu, dampak dari alih fungsi lahan itu juga bisa berakibat pada degradasi lahan dan bencana alam. Dia menegaskan, sebagai sebuah ekosistem hutan itu memiliki banyak peran vitalnya.
Hutan yang didefinisikan sebagai kumpulan pohon memiliki banyak siklus atau daur di antaranya daur nitrogen, daur sulfur, daur oksigen, daur karbondioksida, dan lain sebagainya. Maka apabila hutan tidak ada, daur-daur yang ada itu sendiri pastinya juga akan lenyap begitu saja termasuk daur oksigen.
“Istilahnya kita kekurangan produksi oksigen, dan kita sebagai manusia harus bernapas dengan apa?” tanyanya.
ADVERTISEMENT
Dosen Geografi UMS itu menyebut kondisi hutan di Indonesia sudah sangat jauh berkurang terutama hutan di luar Jawa. Hutan di Jawa sudah tidak ada hutan alam meskipun terdapat hutan tanaman seperti jati yang dikelola Perhutani. Sedangkan beberapa area hutan alam telah beralih menjadi hutan tanaman. Dia menyebut meskipun sama-sama pohon, keperuntukkan dan jangka waktunya berbeda. Jika hutan alam akan lama. Berbeda dengan seperti yang di Sumatera, hutan eucalyptus diperuntukkan untuk bahan pembuatan kertas.
“Dari alih fungsi lahan itu sendiri pastinya akan banyak sekali menimbulkan permasalahan. Tidak hanya secara konflik sosial atau ekonomi saja tetapi juga terkait di lingkungan juga seperti pemanasan global,” jelasnya.
Menanggapi perkataan Presiden Prabowo yang mengaitkan antara sawit dengan ketahanan pangan dan energi, dia ingin mengkritik hal tersebut. Dari pandangannya, sawit dan ketahanan pangan itu tidak ada hubungannya sama sekali karena sawit itu lebih didominasi pada produk komersial seperti minyak goreng, mentega, atau kosmetik.
ADVERTISEMENT
“Nah ketahanan pangannya itu di mana? Saya kurang tau,” kata dia.
Jika ditujukan untuk sebuah energi, sawit bisa untuk bioenergi atau biofuel. Dia menekankan bahwa tidak hanya tanaman sawit saja yang bisa digunakan sebagai bioenergi atau energi alternatif.
Menurut pewartaan dari Reuters, Indonesia telah meningkatkan upaya ketersediaan pangan bagi penduduknya dengan andil Perum Bulog yang sudah menargetkan pengadaan 3 juta ton beras domestik pada tahun 2025. Angka tersebut meningkat signifikan 1,27 juta ton dari tahun 2024. Selain itu, pemerintah pada tahun 2024 juga telah mengimpor lebih dari 3,7 ton beras.
“Kalau ini yang dikatakan dengan ketahanan pangan, kan pastinya sudah cukup. Tidak perlu membuka lahan untuk dijadikan (kebun) sawit lagi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lanjut Aziz, Indeks Ketahanan Pangan (IKP) di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dengan banyaknya wilayah yang mencapai kategori tahan atau sangat tahan. Aziz juga menyebut di era Jokowi telah dilakukan pembangunan Food Estate yang telah mengalihfungsikan lahan hutan menjadi pertanian.
“Apakah masih kurang? Mbok lebih baik itu diteliti terlebih dahulu,” koreksinya.
Pakar kehutanan UMS itu juga merasa lucu saat mendengar bahwa sawit juga merupakan pohon yang sama-sama dapat menghasilkan oksigen sehingga dapat menghalalkan untuk alih fungsi lahan hutan. Namun dia merasa wajar saja karena Presiden RI tidak berlatar pendidikan kehutanan. Akan tetapi dia sangat menyayangkan akan Menteri Kehutanan yang tidak dapat memberikan masukan kepada Prabowo.
ADVERTISEMENT
“Secara biologis sawit itu bukan pohon,” kata dia.
Tanaman sawit tidak memiliki batang kambium atau jaringan kayu. Secara taksonomi pun sawit masuk ke dalam palem-paleman. Selain itu, sawit memiliki akar serabut.
“Jika struktur tanah itu pada daerah tertentu itu tidak stabil, maka akan rawan jatuh sawit-sawit itu sendiri. Sawit itu sendiri umurnya hanya mencapai 20-30 tahun saja, lebih dari itu produktivitasnya sudah sangat menurun jauh,”
Tanaman sawit ditanam secara monokultur yaitu ditanam satu jenis tanaman. Aziz menggarisbawahi bahwa pada SDGs terdapat indikator untuk memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Salah satu dampak perubahan iklim adalah berupa serangan hama. Apabila dalam suatu wilayah hanya memiliki satu jenis tanaman, kemungkinan tidak akan bisa bertahan terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Selain itu, plasma nutfah dari sawit yang mulanya berjumlah sedikit namun kemudian ditanam di seluruh Indonesia menyebabkan kekhawatiran tersendiri. Apabila ada hama menyerang sawit tersebut maka seluruh sawit yang ada di Indonesia nanti ke depannya akan hancur, rusak, atau terkena hama.
Aziz menyarankan kepada pemerintah untuk memetakan terlebih dahulu lahan pertanian yang ada, dan bisa melakukan intensifikasi pertanian jika ingin menguatkan ketahanan pangan dan energi Indonesia.
“Memaksimalkan produktivitas lahan pertanian yang ada, bukan membuka lahan lagi,” sarannya. (Maysali/Humas)