Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Dosen UMS Bahas Bahaya Oligarki dan Keserakahan Melalui Surah Al-Balad
1 Februari 2025 8:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SURAKARTA – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tafsir Al-Qur’an dengan mengungkap Bahaya Oligarki dan Keserakahan Melalui Surah Al-Balad yang berlangsung secara daring melalui Zoom Meeting. Kajian ini telah memasuki edisi ke-31 dan diselenggarakan oleh Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) UMS. Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) bagi dosen serta tenaga kependidikan (tendik).
ADVERTISEMENT
Dalam kajian ini, Ustadz Dr. Ainur Rha’in, S.Th.I., M.Th.I., hadir sebagai narasumber dan membahas secara mendalam makna Surah Al-Balad. Kajian diawali dengan pembacaan ayat-ayat surah tersebut, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai tafsirnya.
Ainur menjelaskan bahwa dalam surah ini, Allah bersumpah dengan nama Nabi Muhammad, “Wahai Nabi Muhammad, demi negeri Makkah.” Allah memuliakan kota Makkah karena di dalamnya terdapat Ka’bah, yang menjadi kiblat bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Muslim nomor 1353, Makkah memiliki kehormatan khusus sehingga disebut sebagai “kota haram.”
Lebih lanjut, Ainur menjelaskan bahwa dalam surah ini, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk menghadapi berbagai ujian. Sejak dalam kandungan, masa kecil, hingga dewasa, manusia akan menghadapi kesulitan dan perjuangan dalam hidupnya, termasuk dalam mencari nafkah. Setelah kematian, manusia akan melewati fase alam barzakh dan dihadapkan kepada Allah pada hari kiamat untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya.
ADVERTISEMENT
“Manusia sering mengira bahwa hartanya tidak akan dipertanyakan. Dari mana dia mendapatkannya? Untuk apa dia menggunakannya? Banyak orang merasa berkuasa mutlak dengan harta, berpikir bahwa hukum, kekuasaan, dan bahkan kebenaran bisa dibeli,” kata Ainur, Jumat, (31/1).
Menurutnya, kondisi ini masih relevan dengan zaman sekarang, di mana banyak orang yang mengukur segala sesuatu hanya berdasarkan uang, itulah gambaran oligarki, yang sudah ada sejak zaman dahulu hingga sekarang. Ketika seseorang memiliki kekayaan dan kedudukan tinggi, ia sering merasa tidak ada kekuatan yang dapat menggoyahkannya. Namun, sejatinya kekuasaan mutlak hanya ada di tangan Allah SWT.
“Orang yang sombong dengan hartanya akan selalu merasa telah banyak berbuat baik dan bersedekah. Padahal, jumlah yang dikeluarkan sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang dimilikinya. Orang miskin yang bersedekah lima puluh ribu tentu berbeda nilainya dibandingkan dengan orang kaya yang bersedekah dalam jumlah yang sama,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ainur menegaskan bahwa manusia kerap mengira bahwa Allah tidak melihat segala perbuatannya, terutama dalam mengelola harta. Banyak orang yang menjadi pelit ketika memiliki kekayaan dan merasa segalanya bisa diselesaikan dengan uang.
“Allah melihat segala bentuk kesombongan dan kezaliman akibat oligarki seperti ini,” katanya.
Dalam tafsirnya, Ainur menjelaskan bahwa Allah mendorong manusia untuk menempuh “aqobah” atau jalan menuju kesuksesan dan kebaikan. Allah mengajak manusia untuk berpikir, apakah mereka telah menempuh jalan yang sulit demi meraih kebaikan.
Jalan yang dimaksud dalam ayat ini adalah tindakan nyata seperti membebaskan budak, memberi makan orang miskin, dan membantu anak yatim. Islam sejak awal telah berperang melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada hukuman kafarat bagi dosa-dosa tertentu yang dapat ditebus dengan cara memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin.
ADVERTISEMENT
“Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk memerangi perbudakan dan menegakkan keadilan sosial,” jelasnya.
Sejak abad ke-7, tepatnya tahun 610 M, Ainur menerangkan Islam sudah mengajarkan kesetaraan (equality). Dalam Islam, semua manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan. Namun, hingga kini, praktik eksploitasi manusia masih terjadi, seperti pekerja yang diperlakukan tidak adil dan diberi gaji yang tidak sesuai dengan beban kerja.
“Dengan bersatu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, kezaliman akan tumbang,” tegasnya.
Dalam tafsirnya, ia juga menyebut bahwa Allah memberikan pujian kepada orang-orang yang beriman, yang berjuang membebaskan budak, membantu fakir miskin, dan menyantuni anak yatim.
“Ayat ini mengajarkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan harus dilakukan secara kolektif. Kita harus terus mengkampanyekan pentingnya membantu fakir miskin, memperjuangkan hak pekerja, dan menyantuni anak yatim,” pungkas Ainur.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, diperlukan kesabaran dan kebersamaan dalam memberantas kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Demikian pula, dalam memerangi kezaliman akibat oligarki, dibutuhkan perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan bersama-sama.
Dengan adanya kajian tafsir yang berlangsung pada Kamis, (30/1) itu, diharapkan dosen dan tenaga kependidikan UMS semakin memahami makna Al-Qur’an secara lebih mendalam serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan dan pekerjaan mereka. Kajian ini akan terus berlanjut dalam edisi-edisi berikutnya sebagai bagian dari penguatan pemahaman AIK di lingkungan UMS. (Yusuf/Humas)