Konten dari Pengguna

Bukan Badut Sandiwara dalam Novel "Bukan Pasar Malam" Karya Pramoedya

Husna Afifah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
6 Oktober 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Husna Afifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baground :  Canva
zoom-in-whitePerbesar
Baground : Canva
Judul : Bukan Pasar Malam
Karya : Pramoedya Ananta Toer
ADVERTISEMENT
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Terbit : 2003
ISBN : 978-979-3820-003
"Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam... Seorang-seorang mereka datang Seorang-seorang mereka pergi. Dan vang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana" -Pramoedya Ananta Toer
Judul buku ini adalah "Bukan, Pasar Malam" yang dimana memiliki hubungan bahwa hidup dan kematian tidak bisa bersama-sama seluruh manusia (maksudnya dari ribuan, mati semua, (tidak bisa) tetapi akan ada masanya mati di kuburan sendirian. Pasar malam = ramai. Antalogi tersebut membuat kita berfikir dan menyelusuri cerita tersebut, hal ini membuktikan bahwa novel Pramoedya sangatlah indah, mengandung makna yang tersirat, setiap paragraf mengandung makna. Sehingga dapat diketahui bahwa Pramoedya adalah penulis terbaik dan terhebat, ia tetap menulis walaupun pernah di penjara oleh orang-orang Belanda. Perlawanan tersebut ia buatkan dengan sebuah karya. Indah, sungguh benar-benar indah.
ADVERTISEMENT
Roman ini berlangsung dalam satu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang tak pernah dianggap dalam gebyar-gebyar revolusi. Roman, seorang anak yang memiliki ayah jiwa nasionalisme. Ayah roman adalah seorang pejuang, setelah kemerdekaan Indonesia ia memikirkan kekhawatiran negeri ini, hingga membuatnya sakit. Kemerdekaan ini memiliki sisi negatif, dikarenakan manusia yang semakin hari, semakin rakus akan kekuasaan, mereka bermain-main dengan kekuasaan, yang kaya kian kaya, yang miskin kian miskin.
Roman berasal dari keluarga serba kekurangan, ia tinggal di jakarta, namun karena penyakit ayahnya yang mengharuskan ia pulang ke Blora. Hidup roman sudah berat, di tambah lagi dengan istri roman yang semakin hari tidak menarik hatinya, dan ia memiliki 7 adik. Blora adalah tempat kelahiran Roman, dan tempat meninggalnya
ADVERTISEMENT
kakek, nenek, kakak, dan ibu Roman. "Kadang-kadang orang itu ingin mati di pangkuan gumpal tanah yang sekian lamanya di tumpanginya itu." - Hal 67.
Dunia ini, membuat orang-orang tamak akan kekayaan dan kedudukan. Kala itu, waktu ayah Roman sehat, ia di tawarkan menjadi perwakilan rakyat, namun katanya "tidak mau menjadi badut sandiwara". Ya terkadang ada sebagian orang yang ingin memilki kedudukan agar mendapatkan harta banyak tanpa memikirkan halal atau tidak. Menghalalkan segala yang haram, sehingga kerakusan terlekat pada hati. Ayah Roman tidak mau menjadi perwakilan rakyat, ia memilih sebagai seorang guru yang di gaji kecil. Beratnya menjadi seorang guru, di tuntut untuk ikhlas, gaji pas-pasan, mengajar harus semangat. Ah, dunia ini tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Orang-orang kaya yang berani menindas yang miskin, maka masyarakat dalam menaati HAM sangatlah susah, apalagi di masa sebelum merdeka, saat HAM belum terbit. Kala Indonesia merdeka di tahun 17 Agustus 1945, masyarakat berlomba-lomba memenangi kedudukan dan akan menjadi "badut sandiwara". Beratnya menjadi orang jujur dan amanah. Maka, Roman memiliki ayah jiwa nasionalisme, tidak tergoda dengan kedudukan dan harta, ayah Roman memilih menjadi guru dengan gaji kecil.
Saat Ayah Roman sakit terkena penyakit TBC dan batuk-batuk berdarah, Ayah Roman di rawat di rumah sakit, namun dengan fasilitas yang kurang. Karena, yang bisa memiliki fasilitas bagus hanya orang-orang tertentu dan memiliki kedudukan tinggi. Namun, ayah Roman tidak menyesali hal tersebut, ia sedih akan keadaan negeri ini, dikarenakan berlomba-lomba akan kedudukan dan harta. Keikhlasan hanyalah sebuah sandiwara. Bekerja bukan hanya untuk negeri tapi untuk ego dan kedudukan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa hari Roman pulang ke rumah untuk menengok ayahnya yang sakit, ternyata badan ayahnya sudah tidak sesehat dulu, badan yang kurus dan batuk-batuk yang mengeluarkan darah pekat hitam. Berminggu-minggu Roman di Blora, (rumah ia bersama keluarganya) ternyata saat permintaan terakhir ayahnya untuk tetap di rumah menetap selama seminggu, ayah Roman telah di panggil oleh Tuhan. Hal tersebut membuat Roman dan adik-adiknya sangat sedih, namun mereka juga bangga dikarenakan ayah roman dikenal sebagai jiwa yang memiliki semangat nasionalisme dan perjuangan yang tidak biasa, tidak tergoda akan kedudukan "badut sandiwara".