Serba-serbi Suami Diplomat: Melepas Karier dan Jadi Bapak Rumah Tangga

Husni Fatahillah Siregar
Corporate Communication
Konten dari Pengguna
12 November 2021 16:45 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Husni Fatahillah Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustras ayah dan anak (Sumber: Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustras ayah dan anak (Sumber: Unsplash.com)
ADVERTISEMENT
Menjadi impian banyak orang dapat merasakan hidup di luar negara Indonesia, apakah itu untuk melanjutkan pendidikan, bekerja atau bahkan membangun rumah tangga dengan warga negara asing. Saya pun tidak pernah membayangkan bahwa impian saya untuk bisa menjelajah berbagai negara dan merasakan menetap di luar Indonesia akhirnya dapat terwujud. Bukan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja, apalagi berumah tangga dengan warga negara asing, tapi sebagai suami diplomat.
ADVERTISEMENT
Jodoh, rezeki, dan maut menjadi hak prerogatif Sang Maha Kuasa. Terkadang sebagai manusia, kita sering merasa kecewa ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk dapat memenuhi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi seorang diplomat. Bayangan menjadi seorang duta besar itu tertanam dalam pikiran saya sejak kecil. Berkali-kali saya mengikuti proses rekrutmen dan seleksi untuk menjadi diplomat, tapi tidak ada yang berhasil. Dan, Tuhan punya cara-Nya dalam mewujudkan impian saya. Siapa sangka, saya dipertemukan dengan jodoh saya yang ternyata berprofesi sebagai diplomat, dan saya pun akhirnya menyandang status sebagai suami diplomat.
Dalam bayangan setiap orang, tentu profesi diplomat sangat mengasyikkan, apalagi sebagai pendampingnya. Ibarat kata tidak perlu capek-capek bekerja, tapi bisa keliling dunia. Percayalah, kondisi itu tidak seindah yang dibayangkan banyak orang, apalagi ketika bicara dinamika mendampingi diplomat khususnya bagi suami yang harus mendampingi istri. Istri mendampingi suami bertugas tentu bukanlah hal yang aneh, karena “takdirnya” memang diciptakan seperti itu, istri manut dan ikut kemana pun suami melangkah.
ADVERTISEMENT
Tapi, di tengah kondisi budaya patrilineal yang masih kuat di Indonesia, ketika suami yang harus mengikuti dan mendampingi istri bertugas, tentunya masih berpotensi menjadi perdebatan tidak hanya di masyarakat tapi yang pasti dalam lingkungan keluarga si suami. Loh, kenapa harus menjadi perdebatan? Kan, bisa saja suami bekerja di negara tempat sang istri bertugas. Nah, di situ lah letak potensi perdebatannya. Karena sebagai pendamping diplomat, suami/istri tidak diperbolehkan untuk bekerja di negara akreditasi atau negara di mana pasangannya ditugaskan sebagaimana aturan yang dianut dan diberlakukan Indonesia dan banyak negara lainnya di dunia.
Kondisi tersebut menjadi tantangan dalam rumah tangga diplomat, khususnya bagi para suami yang pastinya menimbulkan rasa dilema luar biasa apakah melepaskan karier untuk mendampingi istri atau menjalani hubungan jarak jauh. Menjalani hubungan jarak jauh juga tidak akan mudah dilakukan terlebih ketika anak-anak telah hadir dalam kehidupan rumah tangga. Menjadi semakin sulit untuk mengambil keputusan bagi suami, ketika suami sedang membangun karier dan dalam perjalanan menuju puncak karier, tapi harus dilepaskan demi mendampingi penugasan sang istri.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, bagi suami tantangannya menjadi berlipat karena juga harus memberikan pengertian kepada keluarga besarnya bahwa ia akan mendampingi sang istri bertugas. Budaya patrilineal yang begitu kuat di Indonesia secara tidak langsung menimbulkan pemahaman bahwa ketika suami “ikut” istri bertugas merupakan sesuatu hal yang tabu dan tidak sesuai norma. Belum lagi komentar-komentar dari lingkungan sekitar sang suami yang akan membuat telinga “panas” mendengarnya. “Wah, enak ya suami di rumah saja, istri yang bekerja”. Atau “Kalau suami tidak bekerja, jadi bapak rumah tangga, dong?”.
Lantas, apakah memang “sesulit” itu kondisinya bagi rumah tangga diplomat? Pada akhirnya semua akan bisa dilalui dengan kompromi serta komunikasi yang efektif suami dan istri. Bicara masalah rumah tangga bukan lagi bicara ego masing-masing pihak dan bukan bicara tentang siapa yang menang siapa yang kalah. Masing-masing tentunya harus bisa berkompromi untuk mencari jalan tengah yang win-win solution bagi kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Nah, yang menjadi banyak pertanyaan, jika saya tidak diperbolehkan bekerja, apa yang saya lakukan selama mendampingi istri bertugas?
Pertama, pastinya saya menjadi bapak rumah tangga. Saya mengurus rumah tangga dan memastikan istri dan anak kebutuhannya tercukupi. Memang mengurus rumah tangga tetap harus menjadi kewajiban istri. Tapi, sekali lagi ini soal kompromi. Di penugasan istri yang pertama, kami membawa asisten rumah tangga, sehingga semua urusan rumah tangga tinggal terima beres. Di tahun terakhir penugasan saja barulah kami melepaskan diri dari asisten rumah tangga dan belajar untuk menjadi lebih mandiri. Nah, di penugasan istri yang kedua ini, saya dan istri berkompromi bahwa sebagian besar urusan rumah tangga biar menjadi urusan saya. Hal ini saya lakukan juga untuk memberi contoh pada anak laki-laki saya, bahwa kelak ia dewasa dan berumah tangga ia harus mau ringan tangan membantu istrinya mengurus rumah.
ADVERTISEMENT
Kedua, yang bisa saya lakukan adalah tetap beraktivitas dan berkarya melalui tulisan. Saya bersyukur diberikan kemampuan untuk mengolah rasa dan kata menjadi sebuah tulisan, sehingga kemampuan itu bisa saya pergunakan untuk tetap beraktivitas tanpa harus kehilangan waktu berharga bersama keluarga. Salah satu manfaat yang saya peroleh dari kemampuan menulis adalah saya bisa mendapatkan berbagai proyek paruh waktu dari Indonesia sebagai content writer dan yang membahagiakannya lagi bisa terlibat sebagai tim penulis sebuah buku. Tentunya saya berharap, suatu hari bisa menulis dan menerbitkan buku karya sendiri, aamiin.
Ketiga, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di penugasan istri yang pertama, hasil kompromi yang win-win bagi kami saat itu adalah saya melanjutkan pendidikan magister sembari mendampingi istri. Ketika itu istri ditugaskan di Singapura, tidak jauh dari Indonesia. Namun, anak kami baru berusia 3 bulan saat itu. Sehingga walaupun ada asisten rumah tangga, saya tidak ingin anak saya menjadi “anak asisten rumah tangga”. Saya bersyukur bisa diterima dan mengecap pendidikan di salah satu perguruan tinggi terbaik tidak hanya di Singapura, tapi juga di Asia bahkan dunia karena rezeki mendampingi istri yang bertugas.
ADVERTISEMENT
Keempat, terlibat aktif dalam kegiatan di perwakilan. Tidak semua Perwakilan Indonesia di luar negeri didukung oleh keberadaan staf yang banyak. Sehingga, para pendamping khususnya para suami bisa berperan serta dalam berbagai kegiatan promosi dan budaya yang diinisiasi Perwakilan. Bagi para istri bisa berperan aktif dalam wadah organisasi Dharma Wanita. Para suami tentunya bisa berperan aktif secara langsung. Banyak hal yang bisa menjadi bagian kontribusi sebagai pendamping di Perwakilan, apakah itu di bidang agama, pendidikan, atau budaya.
Kelima, berperan aktif dalam kegiatan diplomasi sesuai kapasitas sebagai pendamping. Misalnya bergabung dalam asosiasi pendamping diplomat, yang merupakan organisasi para pendamping diplomat dari seluruh dunia di negara akreditasi. Atau misalnya kerap menggunakan batik di setiap acara untuk ikut mempromosikan batik Indonesia dalam pergaulan internasional.
ADVERTISEMENT
Dan keenam, mengenal dan menggali lebih dalam budaya negara lain. Salah satu keuntungan menjadi pendamping diplomat tentunya mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi negara di mana suami/istri ditugaskan. Hal ini pastinya akan memberikan pengalaman berkesan seumur hidup yang tidak akan terulang. Dan inilah yang mungkin sering dibayangkan banyak orang, bisa jalan-jalan keliling dunia (tapi tidak gratis ya, hehehe).
Pengalaman menjalani peran sebagai suami diplomat tidak hanya memberikan tantangan tapi yang pasti menjadikan saya lebih dewasa dan bijak dalam setiap langkah kehidupan yang dilalui. Saya tidak pernah merasa menyesal menjalankan peran sebagai suami yang mendampingi istri bertugas dan menjalankan peran sebagai bapak rumah tangga. Karena kondisi itulah yang menjadikan dan membentuk pola pikir saya dengan sudut pandang yang jauh lebih luas.
ADVERTISEMENT
Pembalikan peran yang terjadi bisa saja sulit dilakukan oleh para suami, namun ketika sudah berhasil dilakukan akan memberikan cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu hal. Dukungan penuh istri ketika pembalikan peran terjadi sangatlah penting, karena untuk bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan peran barunya tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi seorang suami. Kesabaran disertai komunikasi yang efektif menjadi kunci bagi istri saat sang suami beradaptasi dan menyesuaikan diri.
Satu hal yang harus menjadi perhatian suami dan istri ketika pembalikan peran terjadi: "Suami berlapang dada, istri tidak jumawa".
Selamat Hari Ayah Nasional!
Salam dari Praha.
(Tulisan ini didedikasikan untuk semua suami/ayah hebat di mana pun berada, yang dengan segala pertimbangan dan kondisinya akibat pandemi saat ini harus kehilangan pekerjaan dan berada dirumah. Tetap semangat dan terus menjadi suami/ayah hebat untuk keluarga).
ADVERTISEMENT