Keamanan Kota di Masa Pandemi: Bagaimana Kita Berperan?

Husnul Fitri
Peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia
Konten dari Pengguna
6 April 2020 9:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Husnul Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 55% dari total penduduk dunia atau sekitar 4,2 milyar jiwa (UNDESA, 2018). Jumlah tersebut diproyeksikan akan terus meningkat sehingga hampir sebagian besar populasi penduduk akan mendiami wilayah urban daripada pedesaan. Hal ini menyebabkan kota memiliki tingkat kepadatan yang tinggi selain permasalahan sosial-ekonomi yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari densitas perkotaan tersebut menjadikan kota rawan dalam menghadapi tiga ancaman yang sulit diprediksi kehadirannya, yaitu bencana alam, terorisme, dan wabah penyakit atau emerging infectious disease (EID). Dalam menghadapi ancaman bencana alam, banyak kota telah memiliki guidance dan strategi untuk bersiap menghadapinya melalui aspek-aspek seperti kesiapsiagaan dan mitigasi bencana yang matang. Untuk konteks terorisme yang terbilang sebagai bentuk ancaman "baru", perhatian yang cukup besar telah diberikan untuk mencegah dan menangkal kejadian teror serta meminimalisasi korban melalui modifikasi ruang-ruang kota dan built environment.
Lalu bagaimana dengan kemampuan kota menghadapi wabah penyakit?
Secara historis kematian manusia di masa lampau secara massal, selain akibat dari bencana alam dapat juga disebabkan oleh perang yang berkepanjangan. Tapi tahukah kita bahwa kemenangan yang diraih di zaman perang terdahulu hingga Perang Dunia II bukan hanya disebabkan oleh pasukan dengan senjata dan pemimpin terbaik tapi karena kemampuan pasukan bertahan terhadap penyakit dan patogen yang mematikan (Zinsser, 1943; Diamond, 1998). Karen Arnold, pengarang buku sains populer Plague's Progress (1995), menyatakan bahwa korban yang jatuh pada masa perang lebih banyak disebabkan oleh mikroba daripada luka akibat peperangan.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat kota-kota dunia menjadi lumpuh akibat sejumlah wabah penyakit yang bersifat baru. Black Death yang terjadi di Eropa dari tahun 1347 - 1353, misalnya, adalah salah satu pandemi terbesar dalam sejarah yang menyebabkan kematian hampir 60% populasi masyarakat Eropa. Butuh waktu bertahun-tahun bagi kota-kota di Eropa untuk bangkit dari keterpurukan akibat wabah tersebut. Di era yang lebih modern, wabah flu menyebabkan sejumlah pandemi seperti di tahun 1918 yang menewaskan sekitar 40 juta orang (Oxford, 2004), pandemi tahun 1957 dengan kematian lebih dari 70 ribu jiwa di Amerika Serikat (Palese, 2004) serta pandemi tahun 1968 dengan kematian mencapai 1 hingga 4 juta jiwa (WHO, 2009). Memasuki abad ke-21, banyak negara dikejutkan dengan kehadiran wabah baru seperti SARS, MERS, dan virus zika.
ADVERTISEMENT
Penularan penyakit di wilayah perkotaan menjadi semakin cepat selain karena tingkat kepadatan kota juga didukung oleh mobilitas penduduk yang tinggi. Di sisi lain, perilaku hidup bersih dan sehat tidak selalu menjadi habit yang dipraktikkan di masyarakat urban sehingga memberi peluang bagi menyebarnya penyakit dengan cepat.
Tiap kota juga memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi wabah baru. Tentunya kota-kota di negara maju ataupun yang berpengalaman menghadapi wabah telah dimiliki kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi hal tersebut. Bagi negara-negara dengan dukungan fasilitas kesehatan yang minim, wabah baru dapat menjadi petaka bagi masyarakatnya.
Namun demikian, setidaknya dalam menghadapi wabah dan EID masyarakat dunia memiliki persamaan dalam tiga hal: belum tersedianya vaksin dan pengobatan yang efektif untuk menghadapi wabah, keterlambatan sistem surveilance dalam mengidentifikasi wabah baru, dan pergerakan manusia yang semakin cepat. Oleh karena itu, pada wilayah urban, pandemi menjadi ancaman keamanan yang semakin nyata apalagi jika tidak dibarengi dengan pengetahuan dan informasi yang memadai. Lalu di mana peran masyarakat untuk menciptakan keamanan kota di masa pandemi?
ADVERTISEMENT

Pembatasan mobilitas

Tatem dkk (2006, hal. 294) menyatakan "new infectious diseases could spread only as fast and far as people could walk". Maknanya, penyakit baru sesungguhnya menyebar sejalan dengan pergerakan manusia. Saat ini mobilitas menjadi semakin efisien dengan adanya pilihan moda transportasi serta aksesabilitas pergerakan. Apalagi perencana dan perancang kota saat ini cenderung mendukung rancangan kota yang terbuka sebagai ciri khas urban fabric yang menjadikan kota sebagai simbol kebebasan, demokrasi, dan heterogenitas. Manifestasinya terlihat dari penguatan infrastruktur jaringan transportasi yang mendukung akses bagi masyarakat untuk leluasa melakukan pergerakan di dalam maupun ke luar kota. Kondisi ini menyebabkan sulit sekali melakukan penutupan skala besar terhadap akses-akses jalan perkotaan. Oleh karena itu strategi yang paling tepat adalah mengawasi, mengontrol, dan membatasi pergerakan manusia termasuk moda transportasi dalam, dari dan menuju kota untuk mencegah penularan virus dan penyakit menular di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Agar pembatasan mobilitas manusia dapat dilakukan secara efektif maka sosialisasi tentang kebijakan ini harus benar-benar sampai ke seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya cukup melalui media massa ataupun media sosial. Di Jakarta misalnya, perangkat pemerintah hingga tingkat terendah (RT/RW) termasuk organisasi-organisasi pendukung komunitas (karang taruna, mesjid, dll) perlu dilibatkan untuk mengkampanyekan kebijakan ini. Penegak hukum (dan militer jika diperlukan) juga perlu dilibatkan untuk mengawasi pergerakan individu dan masyarakat serta mengambil tindakan yang diperlukan agar masyarakat dapat mematuhinya. Di sisi lain, pemerintah perlu memberikan jaminan kebutuhan pokok termasuk penghidupan bagi kelompok masyarakat yang bergantung pada mobilitas untuk memperoleh pendapatan hariannya.
Namun demikian, tentunya aktor utama dalam pembatasan mobilitas ini adalah masing-masing individu. Hal ini membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi untuk menjalankannya. Melimitasi pergerakan bukan berarti menghalangi kita untuk berperan dalam menjalankan tanggung jawab sosial lainnya. Jika kita peka maka kita akan berupaya untuk ikut terlibat dalam aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggal seperti mengkampanyekan kebijakan pembatasan mobilitas pada warga sekitar ataupun melalui media sosial; ikut terlibat menginisiasi ataupun berkontribusi dalam penggalangan dana/pemenuhan kebutuhan bagi kelompok masyarakat yang berkurang atau bahkan hilang pendapatannya akibat pembatasan mobilitas sehingga mereka tetap dapat mengurangi pergerakan tanpa khawatir akan kelangsungan hidupnya; berinisiatif dan mendukung para tenaga kesehatan dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dalam masa pandemik dalam bentuk dana maupun barang; dan menjadi eye on the street terhadap kerumunan orang yang ditemui di jalan atau lingkungan serta melaporkannya pada pihak-pihak yang berwenang agar dapat ditertibkan. Tanggung jawab pribadi dan sosial dalam masa-masa pembatasan mobilitas ini diperlukan untuk menciptakan rasa aman di tengah gejolak pandemi sehingga pemerintah daerah dan tenaga kesehatan dapat fokus menjalankan tugas di lini lainnya yang krusial untuk mengatasi pandemi.
ADVERTISEMENT

Kepanikan dan kerusuhan

Berbagai penelitian umumnya menyatakan bahwa pada masa pandemi dan krisis, masyarakat cenderung menunjukkan perilaku prososial dan mutual yang tinggi (Dezecache, 2015; Pettigrew, 1983; Schoch-Spana, 2004). Namun perilaku yang kontra seperti kerusuhan dan kepanikan massa dapat pula terjadi saat pandemi (Schutz dkk, 2008; Cohn, 2010). Hal ini semakin menambah kompleks ancaman keamanan kota pada masa pandemi.
Secara umum, kerusuhan selama pandemi dapat terjadi antara lain oleh dua hal. Pertama, penolakan terhadap kebijakan otoritas atau pemerintah dalam penanganan wabah yang dapat dipicu oleh minimnya pengetahuan dan rendahnya kepercayaan terhadap otoritas dan tersebarnya rumor/hoax yang meningkatkan ketakutan dan kepanikan. Hal-hal tersebut menyebabkan berkurangnya rasa aman masyarakat terhadap keselamatan dirinya. Secara historis, kerusuhan massa yang bersumber dari kondisi tersebut pernah timbul di sejumlah negara saat masa pandemi kolera (cholera riots) di Rusia (1830, 1831, 1892, dan 1909), Inggris (1832), dan Jerman (1893) sebagai reaksi terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah di masa tersebut untuk mencegah penularan kolera. Sementara itu, kerusuhan selama pandemi covid-19 juga dilaporkan terjadi di penjara di wilayah Utara Iran serta penjara Buriram di Thailand akibat rumor dan kekhawatiran akan penuralan virus di lingkungan penjara.
ADVERTISEMENT
Kedua, keterbatasan kebutuhan pokok dan sumber daya di masa pandemi. Sejak pertengahan Maret 2020, beberapa media di Amerika Serikat seperti The Washington Post dan CNN melaporkan kenaikan penjualan senjata yang cukup tinggi. Salah satu alasan utama dari maraknya pembelian senjata tersebut bersumber dari kebutuhan akan proteksi diri karena adanya kekhawatiran terjadinya kriminalitas dan kerusuhan jika kebutuhan pokok seperti pangan menjadi langka. Selain itu kerawanan juga dialamatkan pada kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya dan dikhawatirkan akan mengambil jalan pintas dengan melakukan penjarahan dan kerusuhan.
Pada konteks Indonesia, wacana pembebasan napi di lapas dapat menimbulkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat. Dalam kondisi krisis saat ini, para napi yang dikembalikan ke masyarakat akan sangat mungkin mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan mencukupi penghidupannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan seleksi terhadap napi yang akan dibebaskan dengan memperhatikan jenis dan tingkat kejahatan tertentu, masa tahanan, laporan perkembangan perilaku napi, dan kesehatan fisik maupun mental napi agar benar-benar siap kembali di masyarakat dan hidup dalam situasi pandemi. Jika diperlukan proses pemantauan secara berkala dapat dilakukan untuk kurun waktu tertentu untuk menjamin keamanan. Kondisi ini diperlukan untuk menghindari ketakutan, keresahan, dan stigma negatif masyarakat terhadap napi yang akan dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Selain kerusuhan, pandemi juga dapat menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat. Reaksi panik tersebut dapat termanifestasi pada berbagai perilaku antara lain seperti panic buying, emotional distress, depresi, dan fatalisme, serta intense avoidance behavior yang membuat masyarakat "melarikan diri" dari daerah wabah. Kondisi ini sempat terjadi di sejumlah wilayah di Itali pada saat awal wabah covid-19 di negara tersebut.
Masyarakat berperan sangat besar agar situasi-situasi tersebut tidak terjadi yang dapat berdampak pada kerawanan keamanan di kota. Pertama, kepanikan dapat dihindari dengan cara memperoleh informasi dan pengetahuan yang valid tentang wabah yang terjadi sehingga memahami tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindar dari penularan penyakit. Rumor dan berita-berita hoaks seringkali tersebar luas di masyarakat yang memperkeruh suasana sehingga setiap berita perlu selalu dikonfirmasi pada pihak yang berwenang ataupun expert. Masa pandemi ini adalah kesempatan dalam meningkatkan tidak hanya media literacy tapi juga health literacy. Kedua, dalam menjaga keamanan selama masa pandemi, masyarakat dapat berinisiatif menjaga keamanan lingkungan bersama seperti menghidupkan ronda, membangun sistem keamanan lingkungan, dan mengembangkan kemitraan dengan polisi misalnya melalui community policing. Ketiga, supplier/retailer -dengan dorongan dari masyarakat jika diperlukan- berinisiatif melakukan pengaturan dan pembatasan kuantitas pembelian barang/produk esensial di masa pandemi untuk menghindari pembelian yang berlebih (hording/stockpiling) sehingga berbagai anggota masyarakat dapat memperoleh kebutuhan pokok yang diperlukan. Keempat, masyarakat dapat secara sukarela melakukan resources sharing/sharing of goods dalam bentuk pemberian barang esensial kepada masyarakat yang kurang mampu atau membeli barang pada kelompok-kelompok pedagang kecil tertentu.
ADVERTISEMENT

Diskriminasi

Salah satu dampak sosial dari pandemi adalah munculnya diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu. Diskriminasi tersebut dapat berwujud pengucilan terhadap pasien yang tertular/mengidap penyakit dan keluarganya, pengucilan terhadap tenaga medis, penolakan penguburan jenazah pasien yang meninggal karena wabah di lingkungan masyarakat, hingga prasangka rasial terhadap kelompok tertentu sebagai sumber pembawa wabah.
Beberapa kondisi tersebut di atas telah terjadi di Indonesia selama pandemi covid-19 berlangsung. Di sejumlah negara, diskriminasi terjadi dalam tingkatan prejudice yang lebih intens sehingga menimbulkan rasisme dan xenophobia. Warga keturunan Asia seringkali menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan selama masa pandemi. Trump bahkan lebih suka menyebut Wuhan virus dibandingkan versi nama yang secara resmi ditetapkan WHO. Walaupun ia berdalih bahwa hal tersebut tidak bersifat rasis dan hanya untuk menegaskan bahwa virus tersebut dari Wuhan, pelekatan nama tersebut mungkin sekali memberikan stereotipe negatif pada penduduk Wuhan secara menyeluruh juga berimbas pada persepsi terhadap masyarakat Cina bahkan warga dari negara-negara Asia lainnya.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah virus memang disinyalir muncul pertama kali pada negara-negara tertentu, seperti Cina yang menjadi tempat munculnya sejumlah pandemi dalam kurun waktu 150 tahun terakhir (McNeill, 1976; Tatem dkk, 2006). Namun ketika virus tersebut telah menyebar dan menjadi pandemi, stereotipe dan prasangka tidak tepat dialamatkan kepada kelompok masyarakat tersebut karena setiap orang kini bisa menjadi carrier dari virus. Sikap kewaspadaan perlu dikembangkan tanpa perlu melakukan diskriminasi dan kebencian yang hanya akan memperkeruh suasana.
Jika rasisme dan xenophobia terjadi di Indonesia maka potensi perpecahan dalam kelompok masyarakat akan menciptakan ancaman keamanan yang serius mengingat adanya pengalaman kerusuhan rasial di tahun 1998. Walaupun saat ini tingkat ancaman tersebut kemungkinan kecil menciptakan kerusuhan fisik -kecuali jika disulut oleh pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan isu untuk menciptakan ketidakstabilan- terkadang harassment berlanjut dalam dunia maya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat berperan penting menciptakan situasi kondusif dalam masa pandemi untuk mencegah diskriminasi berlanjut. Berbagai hal dapat dilakukan antara lain seperti monitoring terhadap informasi negatif yang mengandung perilaku diskriminatif dapat ditindaklanjuti dengan melakukan pengaduan terhadap pihak-pihak yang berwenang serta mengembangkan empati dan mengedukasi diri dan orang lain untuk menghindari pandangan negatif terhadap kelompok masyarakat yang rentan terhadap perlakuan diskriminatif.

Dukungan terhadap peran masyarakat

Pada akhirnya semua peran masyarakat di masa pandemi hanya dapat berjalan baik jika terdapat pemimpin yang cepat bertindak, aturan yang tegas, komunikasi risiko yang tepat, jelas, dan transparan, serta otoritas, sistem, dan layanan kesehatan yang siap dan tangguh. Jika ditambah dengan masyarakat yang patuh maka kota akan menjadi tempat yang lebih aman di tengah ketidakamanan terhadap pandemi.
ADVERTISEMENT