Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Keamanan Ruang dan Teror Menjelang Tahun Politik
12 Februari 2018 8:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Husnul Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak lama lagi berbagai perhelatan politik daerah maupun nasional (pemilu dan pilkada) akan segera berlangsung. Kondisi ini bisa jadi pertanda dimulainya tahun politik yang akan penuh dengan berbagai intrik. Meningkatnya suhu politik seringkali ditandai dengan kekhawatiran akan kondisi keamanan yang dianggap juga terpangaruh oleh situasi politik yang semakin memanas. Sejumlah kejadian yang mengancam keamanan sering pula dikaitkan dengan pertarungan politik elit yang berimbas di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa peristiwa pendahuluan seperti serangan terhadap ulama di Jawa Barat misalnya diduga sebagai kejadian yang berkaitan dengan tahun politik ini. Jika menilik pada kejadian beberapa tahun silam, seperti kasus Banyuwangi tahun 1998, peristiwa ini bisa jadi memiliki motif yang tidak jauh berbeda karena situasi politik yang menjadi latar kejadiannya juga seolah memiliki persamaan. Sementara itu, penyerangan gereja Bedog yang baru saja terjadi menyiratkan adanya indikasi pola dan gejala lama yang dikaitkan dengan permasaahan kritikal seperti toleransi dan kebhinekaan sebagai isu politis yang semakin penting di tahun politik. Secara umum, kondisi tersebut sebenarnya telah menciptakan teror dalam masyarakat karena peristiwa yang terjadi tidak hanya mengandung unsur kekerasan yang menimbulkan korban jiwa serta menciptakan rasa takut namun juga sangat mungkin memiliki tujuan politik tersendiri.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari dugaan-dugaan tersebut, hal penting yang perlu menjadi perhatian bagi masyarakat adalah upaya untuk bersama-sama meningkatkan kewaspadaan dan meningkatkan keamanan ruang dari tindak kejahatan ataupun teror. Kejadian-kejadian lanjutan mungkin sekali masih memanfaatkan kelemahan ruang yang menjadikan suatu aksi dan tindakan teror berhasil dilakukan. Setidaknya ada tiga komponen penting dalam konteks keamanan ruang terkait ancaman kejahatan dan teror, yaitu aspek fisikal, operasional, teknologi, dan regulasi.
Aspek fisikal merupakan pengaturan ruang fisik dan elemen di dalamnya untuk menciptakan pertahanan terhadap berbagai ancaman. Dalam hal ini, manipulasi dan modifikasi terhadap kondisi fisik ruang merupakan concern utama untuk mencapai tujuan keamanan. Konsep ini antara lain bersumber dari pandangan bahwa ruang fisik memiliki kelemahan yang justru menjadi oportunitas bagi pelaku kejahatan maupun teroris untuk melakukan aksinya. Oleh karena itu, ruang fisik perlu diatur sehingga mampu menciptakan ruang yang defensif (defensible space). Dalam konteks pencegahan kejahatan, pendekatan ini tentunya bukan merupakan hal yang asing karena menjadi salah satu strategi primer dalam prevensi kriminalitas.
ADVERTISEMENT
Pengaturan keamanan ruang fisik ini dapat menggunakan berbagai strategi. Dalam hal ini tentunya diperlukan analisis sebelum menetapkan strategi keamanan yang paling tepat. Sejumlah strategi yang digunakan dapat meliputi pengaturan akses ruang misalnya melalui pengunaan pembatas fisik (baik secara terlihat maupun tersamar seperti pagar, tempat duduk/bangku taman, tanaman), pengaturan orientasi akses ruang (seperti penggunaan levelisasi dalam landscape ruang), dan pengaturan pencahayaan lingkungan.
Sementara itu, aspek organisasional merupakan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya manusia sebagai basis dalam menciptakan keamanan dan ketahanan ruang. Jika selama ini tugas pengamanan lebih banyak dibebankan pada petugas keamanan formal (polisi, satpam) maka masyarakat dapat pula berinisiatif untuk secara aktif membantu pengamanan secara mandiri dalam batas-batas tertentu. Partisipasi ini tentunya akan sangat membantu pihak kepolisian untuk menciptakan keamanan di masyarakat mengingat personil kepolisian maupun petugas keamanan lainnya tentunya masih belum cukup memadai untuk menangani berbagai permasalahan keamanan di masyarakat. Namun demikian, aktivitas ini tentunya bukan berarti meniadakan kewenangan polisi ataupun lembaga penegak hukum sehingga masyarakat pun harus memahami batasan-batasan dari aktivitas pengamanannya tersebut. Adanya kegiatan ronda siskamling merupakan hal yang positif dan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan keamanan di masyarakat. Di sisi lain dalam rangka mempererat hubungan antara komunitas dan pihak keamanan formal terutama polisi, pendekatan community policing dapat menjadi media dalam peningkatan keamanan ruang. Hal ini memberikan kesempatan bagi masyarakat dan pihak kepolisian untuk membentuk supporting system bagi keamanan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, aspek teknologi meliputi pemanfaatan teknologi untuk menciptakan keamanan ruang. Sebagai contohnya, pemanfaatan technological surveillance merupakan hal yang sudah semakin umum digunakan untuk meningkatkan keamanan seperti penggunaan CCTV. Dengan semakin terhubungnya masyarakat dengan jaringan teknologi dan informasi sebenarnya dapat memberikan manfaat yang besar dalam konteks keamanan ruang. Misalnya, laporan terhadap kejadian dapat dengan cepat tersebar melalui jaringan internet/media sosial sehingga menciptakan surveillance society dalam arti yang harfiah secara positif. Selain itu penggunaan technological devices lainnya seperti sistem alarm dan public emergency broadcast system juga dapat menjadi alternatif dalam peningkatan keamanan ruang.
Aspek terkahir, yaitu regulasi terkait dengan aturan terhadap manajemen penggunaan ruang. Hal ini antara lain dilakukan melalui penetapan waktu tertentu untuk mengakses ruang dan aturan terkait restriksi terhadap zona-zona tertentu dalam ruang dan gedung. Regulasi yang dimaksud dalam aspek ini merupakan regulasi yang bersifat mengikat masyarakat jika berada dalam lingkungan ataupun ruang tertentu. Dengan demikian, penanggung jawab ruang (misalnya pihak manajemen pengelola lingkungan/gedung) merupakan pihak yang berwenang mengeluarkan aturan sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Di sisi lain, dalam ruang publik, aturan-aturan bersama perlu pula disepakati sehingga kesadaran akan pentingnya keamanan dimiliki secara umum oleh pengguna ruang dan di sisi lain tetap memperhatikan hak pengguna ruang tersebut.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, suatu ruang dan site dengan bangunan/properti di dalamnya seringkali belum mempertimbangkan penggunaan keempat aspek ini secara komprehensif. Sebagai contoh, beberapa kejadian teror yang mengambil seting tempat ibadah di Indonesia merupakan target yang populer dilakukan untuk menciptakan efek teror. Hal ini terjadi karena adanya kelemahan-kelemahan fisikal, operasional, tekonologi maupun regulasi yang menjadikannya sebagai sasaran utama ataupun mudah bagi pelaku kejahatan dan teror.
Pertama, tempat ibadah secara fisik merupakan tempat yang bersifat publik karena memberikan kesempatan pada semua golongan masyarakat untuk secara bebas mengakses tempat tersebut . Hal ini tentunya memberikan keuntungan yang memudahkan para penyusup untuk masuk dan melakukan aksinya. Kedua, tempat ibadah seringkali tidak dibangun dengan pandangan keamanan ruang sebagai salah satu konsep penyusunannya. Kondisi demikian menyebabkan tidak terdapat layer pertahanan ruang untuk mengantisipasi kondisi-kondisi keamanan yang tidak diinginkan. Lapisan pertahanan ini pada dasarnya diperlukan sebagai perimeter untuk memberikan perlindungan pada bangunan/properti utama dalam suatu ruang. Dengan demikian, sebelum sampai pada properti inti, lingkungan tempat ibadah telah memiliki pertahanan fisik yang dapat meningkatkan keamanannya seperti penghalang fisik sebagai pembatas utama dari jalan umum dan modifikasi furnitur dan ornamen fisik ruang (misalnya penempatan taman/hiasan di halaman tempat ibadah yang tidak hanya berfungsi estetis namun juga bisa menjadi pengatur flow massa ataupun penggunaan/penempatan tanaman dan pot yang pendek untuk menghindari terhalangnya pandangan dan menfasilitasi persembunyian benda-benda yang membahayakan seperti bom). Ketiga, minimnya kehadiran personil keamanan sebagai pengawas utama di lingkungan tempat ibadah. Hal ini antara lain dapat dilihat dengan penjagaan tempat ibadah yang hanya dilakukan oleh petugas parkir ataupun marbot (untuk mesjid). Keempat, penggunaan teknologi pengamanan yang belum masif di lingkungan tempat ibadah seperti CCTV, alarm keamanan, dan sistem informasi publik terhadap kejadian/ancaman tertentu. Hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan biaya ataupun dapat pula terjadi karena masih minimnya kesadaran akan pentingnya penggunaan alat teknologi untuk keamanan tempat ibadah selain pengamanan yang bersifat konvensional. Kelima, masih minimnya aturan-aturan terhadap jamaah ataupun masyarakat dalam penggunan tempat ibadah seperti waktu buka tempat ibadah yang seringkali tidak terbatas dan pengaturan zona publik, semi-publik, dan privat dalam lingkungan tempat ibadah yang melemahkan kontrol terhadap penggunaan ruang dan memudahkan askes bagi pelaku kejahatan. Kelemahan-kelamahan ini secara nyata memberikan keuntungan bagi para pelaku teror khususnya yang berniat mengeksploitasi isu-isu agama, toleransi, dan kebhinekaan untuk menjadikan tempat ibadah sebagai target utamanya.
ADVERTISEMENT
Dengan memperhatikan situasi dan kondisi saat ini yang sepertinya masih menggunakan pola lama terkait ancaman keamanan ruang maka penggunaan keempat aspek keamanan ruang dapat menjadi pertimbangan untuk diaplikasikan dalam ruang-ruang yang rentan menjadi sasaran teror dan kejahatan. Aplikasi dari berbagai aspek ini tentunya harus didahului dengan asesmen terhadap tingkat risiko, ancaman, dan kerentanan dari ruang termasuk situasi sosial-kultural/kebiasaan dari lingkungan sekitar.