Ketika Generasi Z Belajar Kepemimpinan di Jalanan

Husnul Fitri
Peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia
Konten dari Pengguna
27 September 2019 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Husnul Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa STM ikut demo di depan DPR Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Siswa STM ikut demo di depan DPR Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelumnya mahasiswa, kemudian rombongan siswa STM. Di kerumunan mahasiswa pada aksi besar Selasa, 24 September 2019, dijumpai segelintir anak-anak berseragam putih abu-abu.
ADVERTISEMENT
Orang mengira mereka kelompok Milenial. Bukan, generasi milenial sekarang sudah memasuki masa-masa akhir keemasannya. Mahasiswa dan adik-adik berseragam sekolah ini adalah generasi baru, post millenials. Konsultan strategik menyebutnya "True Gen". Mereka adalah Generasi Z.
Siapa mereka?
Belum banyak yang membicarakan keberadaan mereka. Gaungnya tak sekeras ketika orang-orang membicarakan kelompok milenial.
Lusinan riset, diskusi, seminar, dan beragam informasi dapat dengan mudah kita temukan ketika kita mencari kata "milenial" di mesin pencarian internet, tetapi tidak halnya dengan Generasi Z. Masih sedikit yang membincangkannya.
'Kepedulian' justru datang dari para ahli strategi marketing yang mulai membidik kelompok ini. Sekali lagi, marketer dan para konsultan mulai bergerak lebih cepat untuk bersiap melihat dinamika demografis yang akan segera berubah.
ADVERTISEMENT
Siapa generasi Z ini?
COM-Ilustrasi generasi Z Foto: Shutterstuck
Dari perspektif rentang waktu, Generasi Z meliputi anak-anak maupun adik-adik yang lahir di pertengahan tahun 90-an (1995/1996/1997) hingga tahun 2010/2012/2015 (pembatasan tahun ini belum menjadi suatu kesepakatan di antara para ahli dan akademisi).
Mereka sebagian besar adalah anak-anak dari Generasi X dan mungkin sedikit dari generasi baby boomers. Walaupun sering kali dianggap memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan sang kakak--Generasi Milenial--Generasi Z sebenarnya menunjukkan perbedaan karakter yang khas.
Milenial mungkin mengira mereka adalah true digital native karena menjadi generasi awal yang bersentuhan dengan teknologi. No! Generasi Z-lah the real digital native.
Generasi ini lahir ketika teknologi digital telah berkembang, bahkan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi. Mereka sejak dini mengonsumsi berita dan informasi dari media sosial yang menjadi referensi utama untuk memahami dunia, sehingga dunia yang luas adalah ruang belajar tanpa batas yang berada dalam genggaman mereka.
ADVERTISEMENT
Itulah mungkin salah satu faktor yang menyebabkan generasi Z dianggap sebagai kelompok dengan pandangan yang sangat terbuka dan beragam serta memahami perbedaan dan bertoleransi dengannya melebihi kelompok milenial. Hal ini ditegaskan dalam report studi yang disponsori oleh McKinsey Company tahun 2017 di Brazil.
Generasi Z disebut sebagai generasi yang di satu sisi menjunjung tinggi ekspresi individu dan pragmatis, tetapi di sisi lain terbuka pada dialog, prinsip-prinsip etik, dan kebersamaan. Berbeda dengan Milenial yang disebut sebagai generasi "Me generation" karena cenderung idealis, konfrontatif, dan mengutamakan pandangan pribadinya.
Dalam laporannya, McKinsey juga menyimpulkan bahwa Generasi Z cenderung mencari personalisasi dan ekspresi diri yang luas, sehingga mendorongnya untuk lebih terbuka pada banyak pilihan dan pandangan, serta mencoba memahami diversitas tersebut. Dengan dasar ini, mereka tidak mendefinisikan dirinya secara mutlak pada satu jenis identitas tapi mencoba memahami koneksi antar identitas yang ada, sehingga membentuk 'kebenaran' tersendiri sebagai bentuk personalisasi diri.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya, mereka disebut sebagai "The True Gen" karena adanya proses pencarian the truth yang membentuk keunikan dalam diri masing-masing, sedangkan di sisi lain memberikan pemahaman pada mereka tentang adanya perbedaan tentang suatu kebenaran serta pentingnya dialog untuk menjembataninya.
Hal inilah yang membentuk komunalitas antar-truth, sehingga menghindarkan perseteruan dan konflik. Karakter tersebut mendorong berkembangnya karakteristik Generasi Z yang berupaya menghormati prinsip-prinsip etik, moral, dan toleransi.
Dengan prinsip dan karakter ini, Generasi Z tetap merasa nyaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dengan pandangan yang beragam sambil tetap memegang nilainya sendiri. Sejumlah karakteristik generasi Z ini juga diamini oleh Schwieger & Ladwig (2018) yang melakukan rekapitulasi tentang karaktersitik Generasi Z dari berbagai riset marketing tentang perilaku Generasi Z.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat pula, sebagian besar Generasi Z dilahirkan dari para orang tua yang menjadi bagian dari Generasi X. Implikasinya, pola pengasuhan generasi X pun sangat berpeluang memberikan pengaruh pada pembentukan karakter generasi Z.
Sebagian generasi X hidup di era modernisasi dan peralihan pada posmodernisme, gelombang kedua feminisme, dan masa-masa resesi ekonomi yang pelik; besar bersama televisi dan media massa (media savvy); menyaksikan pergulatan dalam kehidupan keluarga (tingkat perceraian dalam keluarga yang meningkat dibandingkan ibu-bapak dan kakek-nenek mereka) dan tumbuhnya latchkey syndrome; melihat perkembangan terorisme internasional di fase-fase awalnya, dan mengalami ketidakpastian kondisi sosial-politik yang ditandai dengan perubahan-perubahan besar geopolitik dunia maupun aksi-aksi dalam negeri yang bersifat represif dan radikal (Perang Afganistan-Uni Soviet, Perang Iran-Irak, Perang teluk, runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin, Tianamen square massacre, dll).
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menyebabkan generasi X memandang kehidupan dengan skeptis, cenderung pesimis dan sinis, insecure, dan di sisi lain menumbuhkan independensi untuk mempertahankan diri (Lyons et al., 2007; Schewe et al., 2000). Karakteristik tersebut terbawa pada pola pengasuhan yang dilakukan oleh Generasi X pada anak-anaknya--yang umumnya adalah Generasi Z--dan menumbuhkan karakter Generasi Z yang lainnya, seperti otonomi dan independen, dan di sisi lain juga berkontribusi pada adanya kecemasan terhadap masa depan (Boyle & Townsend, 2019).
Bagaimana dengan Generasi Z di Indonesia?
Di Indonesia, Generasi Z tumbuh di alam reformasi dan tak dibesarkan dengan program P4 dan program penyeragaman sejenisnya. Generasi yang dibesarkan dalam alam keterbukaan, perbaikan/revisi, dan perubahan pandangan dalam berbagai aspek mulai dari pendidikan, politik, hingga lifestyle.
ADVERTISEMENT
Interseksi antargenerasi di Indonesia mungkin terjadi pada masalah korupsi yang tak kunjung punah. Walaupun teori generational cohort yang berkembang di Barat mungkin tidak selalu sejalan dengan perkembangan generasi di Indonesia, karena faktor sosio-kultural dan nilai yang berbeda, perkembangan teknologi telah menjadi jendela pergerakan budaya yang semakin luas dan menekan sekat-sekat perbedaan nilai dan kultural tersebut.
Jadi, bagaimana kita memahami gerakan protes kemarin dari sudut pandang Generasi Z?
Siswa STM ikut demo di depan DPR Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Mereka sedang belajar menjadi pemimpin di 'jalanan'. Generasi ini tidak sama dengan generasi terdahulu. Generasi Z sejak lahir sudah duduk di lingkaran kebebasan berpendapat. Mereka tumbuh dengan seliweran informasi dan mungkin sekali bersikap menjauh dari pusaran tarikan kepentingan untuk menghindari konflik, salah satu hal yang menjadi karakter khas mereka.
ADVERTISEMENT
Generasi Z melihat dunia dalam genggaman tangannya, mengamati dan belajar dari perbedaan. Jadi jangan heran, dalam aksi massa kemarin, walau ada agenda berbeda, mereka tetap bergabung bersama. Hal yang kemudian menimbulkan cibiran dan cemooh oleh pihak-pihak tertentu karena adanya perbedaan agenda dan kepentingan dengan sebagian kelompok masyarakat lain.
Tapi hei, mereka sedang berperan apik, memberikan ruang pada semua ekspresi pendapat karena ada yang sedang dalam pencarian truth, ada yang mencoba menjembatani perbedaan truth agar tak pecah dengan konflik, dan ada yang sedang menikmati perbedaan ini sambil tetap memegang truth yang dimilikinya dan mempersilakan kebenaran lain mengambil peran masing-masing. Itulah toleransi.
Mereka sedang belajar bertoleransi dalam lautan perbedaan truth, pandangan, nilai, dan kepentingan. Idealisme mereka berhadapan dengan pragmatisme, sehingga mendorong mereka menjadi realis.
ADVERTISEMENT
Ada tema-tema besar yang disepakati bersama tapi banyak pula perbedaan-perbedaan spesifik yang tidak harus menjadikan mereka berpecah. Karakteristik komunalitas pada Generasi Z mendorong mereka untuk turut serta aktif mengambil peran, apalagi didorong oleh orang tua (dari kalangan Generasi X) yang dulu turut terlibat dan menjadi saksi sejarah pergerakan reformasi.
Sayang sekali, jika kemudian ada kelompok dan individu yang menguliahinya dengan menunjukkan sikap-sikap intoleran hanya karena tidak memiliki kesamaan pendapat dan kepentingan yang menyebabkan timbulnya bibit perpecahan dan ketidakpercayaan antarmereka.
Demo STM, SMA di flyover Slipi, Jakarta. Rabu (25/9/2019). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Bagi masyarakat, harapan pada pergerakan generasi muda selalu sama: Menjadi penyambung lidah suara rakyat pada penguasa yang tak lagi empatik.
Jika para pemuda sudah tumpah ruah di jalanan, mungkin sekali karena saluran-saluran pendapat telah mampet. Sebab, suara-suara rakyat telah lama diabaikan dan nurani sudah bergejolak menyaksikan ketidakberdayaan. Kini, tugas pemuda meneruskan gaungnya ke penguasa dan tongkat estafet itu berada pada Generasi Z.
ADVERTISEMENT
Selamat belajar menjadi pemimpin di jalanan, belajar membersamai masyarakat heterogen yang real yang tidak dibaca dan dipelajari secara online. Selamat mengatur barisan, mengakomodasi perbedaan, dan belajar memahami secara langsung.
Jalanan ini mungkin saja pendek secara literal tapi suatu saat nanti langkah di jalan ini yang akan kalian kenang sebagai awal perjalanan panjang menjadi pemimpin di gedung-gedung dan istana yang mengatasnamakan rakyat itu.