Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mengenali Logika dalam Terorisme (Bagian 1)
15 Mei 2018 9:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Husnul Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perilaku teroris sering kali dilihat secara sempit dari sudut pandang motif pribadi yang didasarkan atas latar belakang keagamaan. Kalau kita bertumpu pada hal tersebut saja, maka persepsi tentang perilaku teroris akan mandek pada penjelasan-penjelasan yang dangkal. Bahwa mereka adalah orang-orang yang nekad, tidak berpikir panjang, tidak punya empati, dan perasaan.
ADVERTISEMENT
Jadi apakah pelaku teror adalah orang yang irasional? Jika terburu-buru menjawab pertanyaan ini maka kita akan terjebak pada kesimpulan yang diambil dari hal-hal yang terlihat. Padahal menjelaskan perilaku teror tidak dapat semata mengamati fenomena yang mengemuka dari suatu aksi teror yang terjadi.
Kenapa logis? Karena pada kenyataannya perilaku teroris dapat diterangkan secara rasional dengan memerhatikan proses pemilihan dan pengambilan keputusan mereka terutama dalam kelompoknya.
Pertama, pertimbangan logis terkait pilihan-pilihan yang terbatas dalam cara berjuang. Teror nyatanya hanya merupakan salah satu cara saja untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Pape (2006), terorisme pada dasarnya digunakan untuk tujuan demonstratif (seperti memperoleh publisitas dan menarik perhatian massa dalam rangka rekrutmen aktivis) maupun tujuan destruktif (menyerang dan membahayakan kelompok musuhnya secara langsung).
ADVERTISEMENT
Di masa lampau, organisasi-organisasi ektremis, seperti Red Army (Jerman) dan ETA (Spanyol) pada awal kemunculannya tidak secara langsung menggunakan cara-cara teror dalam menyalurkan pandangan-pandangannya.
Namun, mereka sampai pada satu titik “pencerahan” ketika menemukan bahwa teror menjadi cara yang efektif untuk membuat pandangan mereka “didengar” luas karena menjadi kampanye tidak langsung untuk organisasi tersebut (melalui pemberitaan yang masif di media) maupun melemahkan lawan secara langsung (melalui pembunuhan sejumlah tokoh yang menjadi target dan penyanderaan serta pembajakan yang memaksa pemerintah untuk mengikuti kemauan kelompok).
Sejak itulah embel-embel teroris melekat pada organisasi-organisasi tersebut. Pemilihan strategi dan metode teror sebagai cara utama bagi suatu organisasi untuk bertindak adalah keputusan yang didasari atas pertimbangan rasional terhadap pilihan-pilihan yang paling memberikan keuntungan bagi kelompok dengan risiko yang masih dapat ditanggung.
ADVERTISEMENT
Bagi kelompok-kelompok zaman now yang identik dengan terorisme dan mengusung tujuan politik tertentu seperti keinginan mendirikan negara (Islam) sendiri atau menghancurkan pemerintahan demokrasi taghut, cara-cara teror menjadi semakin disukai karena ketidakmampuan sumber daya organisasi untuk melakukan penyerangan secara terbuka, head to head.
Artinya, mereka pun melakukan kalkulasi dan menimbang benefit terbesar dalam menentukan pendekatan terbaik untuk dapat tetap eksis memperjuangkan tujuan kelompoknya. Bisa jadi pendekatan ini hanya bersifat sementara hingga organisasi memiliki kekuatan penuh untuk tampil menyerang secara langsung sebagaimana yang terjadi pada pendudukan daerah di Suriah dan Filipina oleh ISIS.
Hal ini menunjukkan aksi teror menjadi penunda untuk konfrontasi yang bersifat terbuka sebelum kelompok memiliki kekuatan militer yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Kedua, pertimbangan logis dalam mengenali teknik-teknik teror efektif. Jika mengamati fase perkembangan teror di berbagai tempat, dari masa awalnya teror mulai dikenal hingga mencapai kecenderungannya saat ini, pemilihan teknik-teknik teror pun menjadi semakin rasional.
Penggunaan bom sebagai pilihan utama sangat mungkin didasarkan atas adaptasi terhadap kemajuan teknologi keamanan dan pertimbangan kemudahan dalam memperoleh bahan baku serta keahlian “meracik” yang dapat dipelajari dengan singkat. Bandingkan dengan cara terdahulu melalui pembajakan pesawat ataupun pembunuhan tokoh-tokoh yang menjadi musuh organisasi teror, penggunaan bom menjadi lebih sederhana dibandingkan dua cara tersebut.
Walaupun teknik bom ini telah mulai banyak digunakan sejak awal 1970-an oleh pelaku teror, namun nyatanya mereka berhasil mencari cara-cara baru dalam memaksimalkan efek dari penggunaan bom hingga saat ini dikenalah taktik bom bunuh diri. Oportunitas serangan teror dengan menggunakan bom ternyata akan lebih berhasil jika digabungkan dengan pendekatan suicide terrorism ini.
Suicide bombing dapat meminimalisasi kegagalan teror karena operator lapangan (pelaku suicide bombing) memiliki kendali langsung atas aksinya. Jika tertangkap sebelum mencapai lokasi target, ia dapat langsung meledakkan dirinya sehingga meminimalisasi barang bukti maupun saksi hidup.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati, di Indonesia khususnya, saat ini teror bom bunuh diri bukanlah merupakan aksi tunggal tapi seringkali disertai dengan serangkaian aksi-aksi bom bunuh diri lainnya. Selain itu, daya ledak yang ditimbulkan tidaklah terlalu besar dibandingkan dengan periode awal tahun 2000-an ketika teror bom mulai marak.
Hal ini antara lain menunjukkan adanya perubahan taktik teroris dalam penggunaan teknik ini. Jika pada awalnya bom bunuh diri diharapkan dapat memberikan kerusakan dan korban yang masif untuk menimbulkan kepanikan yang meluas dan membangun ketakutan psikologis di masyarakat, pada kenyataannya ledakan skala kecil saja pada lokasi yang tepat secara beruntun sudah dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketiga, pertimbangan logis dalam menjaga kesinambungan organisasi. Berbeda dengan pola kelompok teror terdahulu, sejak awal telah tahun 1980 struktur organisasi teroris dalam cenderung berbentuk jaringan/horizontal/sel dan kurang mengutamakan hirarki sebagaimana pada periode-periode sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini nyatanya merupakan pilihan yang memberikan keuntungan dalam menjaga kesinambungan dan fleksibilitas organisasi. Melalui dukungan kemajuan teknologi komunikasi, internet, dan multimedia jaringan kelompok dapat tersebar luas melewati batas-batas negara tanpa harus berinteraksi secara langsung sehingga meminimalisasi biaya organisasi.
Biaya rendah ini sangat penting, karena jika ditelaah dengan saksama, hampir tidak ada kelompok teror yang memiliki sumber dana berlimpah untuk membiayai kelangsungan kelompoknya termasuk membiayai aksi terorisme.
Al-Qaidah dulu menyandang nama besar Bin Laden yang berkaitan dengan klan pemimpinnya sebagai keluarga pebisnis sukses. Sejumlah organized crime juga disinyalir memiliki hubungan dengan para teroris untuk bersatu dalam menjaga kepentingan masing-masing.
Namun akan sangat sulit bagi teroris untuk memiliki akses finansial secara langsung karena risiko penangkapan akan lebih besar. Hal ini menimbulkan tanda tanya terkait bagaimana kelompok teror seperti ISIS dapat tumbuh kuat (bahkan secara militer) karena tentunya memiliki pendanaan yang tidak sedikit. Siapa yang mendanai?
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, walau dinilai efektif, model jaringan dalam organisasi teror memiliki kelemahan karena memberi peluang penyusupan dari pihak-pihak lain dalam jaringan. Dalam organisasi bentuk sel dan jaringan seperti ini modal trust menjadi penting.
Namun, dengan interaksi tidak langsung dan mungkin tidak intens dari para organisatoris, aktivis, dan operator lapangan sangat memungkinkan celah infiltrasi dari berbagai pihak dengan kepentingan lainnya.
Apalagi jika pola komunikasi tidak dijalankan dengan rapi, maka para free rider bisa mengeklaim bagian dari suatu kelompok teroris ataupun mengeklaim aksi teror tertentu sebagai bagian dari kelompoknya walaupun mungkin tidak terkait langsung.
Di sisi lain, struktur sel ini juga tidak berarti meniadakan kepemimpinan karena selalu ada tokoh utama dan aktor intelektual yang menggerakkan para pengikut terutama operator lapangan.
ADVERTISEMENT
Tokoh-tokoh ini mungkin terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang terbatas seperti rekrutmen, pelatihan, dan perencanaan aksi untuk operator lapangan. Dengan semakin mudahnya media perekrutan, tokoh teroris tidak perlu secara langsung bertindak menjadi operator untuk menjaga kesinambungan organisasi.
Operator lapangan ini adalah simpul terkecil yang menjalankan aksi teror secara langsung. Operator dapat direkrut dari banyak kelompok masyarakat baik karena indoktrinasi nilai maupun oleh alasan ekonomi.
Hal inilah yang menjadi salah satu sebab profil operator teror saat ini menjadi semakin beragam. Keberhasilan merekrut, mendoktrin, dan menanamkan nilai hingga operator mau bertindak sangat tergantung pada arahan tokoh utama. Jadi, walaupun operator lapangan memiliki profil yang luas, profil tokoh utamanya mungkin sekali tidak banyak berubah.
ADVERTISEMENT
Jadi pertanyaan awal tadi mungkin lebih tepat berbunyi seperti ini, apakah para pelaku teror bunuh diri (operator lapangan) itu rasional? Mereka mungkin sekali tidak rasional! Tapi dalang, pemimpin, atau aktor intelektual yang mengarahkan para operator lapangan itulah yang jelas menggunakan logikanya untuk membuat aksi teror berhasil dan terus berjalan hingga mencapai tujuan yang diinginkan.