Konten dari Pengguna

Urban Shrinkage dan Politik Xenophobia

Husnul Fitri
Peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia
9 Juni 2017 12:06 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Husnul Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tom Nazi (Foto: Daily Stromer)
zoom-in-whitePerbesar
Tom Nazi (Foto: Daily Stromer)
ADVERTISEMENT
Dalam percaturan politik dunia, tahun 2017 ini seringkali dianggap sebagai tahun kebangkitan bagi para tokoh-tokoh yang berhaluan right-wing politics. Berbagai tokoh dari aliran ini pun turut menjadi kandidat pada pesta demokrasi tersebut, seperti Norbert Hofer (Austria), Geert Wilders (Belanda), dan Marine Le Pen (Prancis).
ADVERTISEMENT
Kekuatan mereka seolah mendapat dukungan dengan adanya kemenangan Trump pada pemilu di AS tahun sebelumnya. Hal ini menjadi angin segar yang meningkatkan harapan para pendukung right-wing untuk memperoleh kemenangan yang sama.
Walaupun pada kenyataannya, ketiga tokoh right-wing Eropa tersebut justru memperoleh kekalahan yang pahit di negaranya masing-masing, namun tren dari aliran politik ini dan para pengikutnya tetap lebih tinggi dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu kekuatan para politikus right-wing adalah kejeliaannya memanfaatkan kondisi sosio-spasial suatu daerah untuk membangkitkan sentimen tertentu atas nama kekuatan ingroup.
Nasionalisme sempit ini seolah menjadi arah baru bagi para penanti perubahan yang diliputi oleh kecemasan dan ketakutan atas rasa aman baik secara ekonomi dan sosial. Hal inilah yang setidaknya terbaca pada penduduk di wilayah yang mengalami urban shrinkage.
ADVERTISEMENT
Fenomena Urban Shrinkage
Saat ini sejumlah kota di kawasan Amerika Serikat dan Eropa khususnya mengalami shrinkage yang ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah penduduk secara signifikan akibat migrasi ke luar kota serta menurunnya kesempatan kerja yang masif.
Walaupun bukan merupakan suatu kondisi yang baru, namun gejala ini terus mengalami perluasan di berbagai kota yang dapat menimbulkan sejumlah problem ekonomi dan sosial.
Detroit merupakan salah satu contoh populer dari urban shrinkage yang mengalami penurunan populasi maupun ekonomi secara drastis.
Para ahli memiliki berbagai penamaan maupun definisi yang berbeda tentang fenomena shrinkage namun secara umum kondisi ini meliputi karakteristik wilayah yang ditandai dengan berkurangnya populasi penduduk serta deklinasi ekonomi dan sosial secara tajam dalam kurun waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Kondisi penurunan yang terjadi pada suatu kota dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti:
Di kawasan Eropa, fenomena urban shrinkage umumnya terjadi wilayah Eropa Tengah dan Timur. Kondisi ini misalnya bisa dilihat di kota Kaunas dan Vilnius (Lituania) dan Riga (Latvia) yang mengalami deklinasi populasi sangat signifikan selama 10 tahun terakhir.
Pada kota-kota ini, urban shrinkage umumnya terjadi karena krisis ekonomi global memberikan dampak lebih buruk pada negara Baltik dibandingkan wilayah Eropa lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, urban shrinkage juga ditemui di sejumlah kota di Eropa Barat seperti Berlin dan Leipzig di Jerman, Lieksa di Finlandia, dan Greater Glasgow dan Western Isles di Inggris.
Dalam perspektif kewilayahan, urban shrinkage akan menimbulkan disparitas ekonomi dan sosial dalam suatu negara.
Deindustrialisasi serta minimnya keahlian dan kemampuan penduduk untuk menciptakan inovasi terhadap sumber-sumber pekerjaan baru menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran yang pada akhirnya akan memaksa penduduk usia produktif untuk pindah ke kota lainnya yang lebih dapat menawarkan kesempatan kerja.
Di satu sisi, kondisi ini juga memicu tingkat kemiskinan karena berkurangnya sumber pendapatan. Peningkatan pengangguran dan kemiskinan dapat menjadi trigger bagi berbagai masalah keamanan seperti tingkat kejahatan.
ADVERTISEMENT
Urban Shrinkage dan Politik Xenophobia
Urban shrinkage dalam jangka panjang tentunya dapat memberikan pengaruh pada suatu kota. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi hal ini termasuk mengatasi dampak negatif yang mungkin dapat terjadi bagi penduduk di kota.
Namun, sayangnya bagi para pemain politik kondisi ini seringkali menjadi salah satu isu yang dapat “dijual” untuk mengkambinghitamkan kelompok-kelompok tertentu sebagai penyebab fenomena urban shrinkage.
Trump merupakan contoh yang sukses memanfaatkan fenomena ini.
Donald Trump. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
Jika memcermati peta wilayah kemenangan Trump pada pemilihan umum tahun 2016 silam dapat dilihat secara jelas bahwa ia mampu menyisir keunggulan pada area kota-kota (kecil) yang mengalami karakteristik urban shrinkage.
Kota-kota ini umumnya merupakan wilayah rust belt (seperti di negara bagian Ohio dan Pennsylvania) yang pernah berjaya pada sektor pertambangan namun kemudian mengalami deindustrialisasi dan pada akhirnya ditinggal pergi oleh penduduknya.
ADVERTISEMENT
Kondisi shrinkage di kota-kota tersebut justru dimanfaatkan oleh Trump dengan menggiring pandangan penduduk yang telah banyak kehilangan harapan dengan memainkan isu xenophobia.
Hal ini memberikan persepsi yang salah karena menempatkan kelompok outgroup sebagai penyebab dari terampasnya sumber-sumber pandapatan penduduk. Sayangnya, isu ini berhasil diterima dan diyakini oleh masyarakat yang selama ini sudah berada dalam kecemasan akan kehidupan ekonominya.
Xenophobia sepertinya menjadi suatu pilihan strategi yang efektif untuk memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat. Hal ini menjadi lebih mudah dilakukan pada masyarakat di wilayah shrinkage karena mereka telah memiliki “modal” berupa rasa takut dan ketidakpastian terhadap masa depan.
Namun, modal ini diarahkan pada ketakutan terhadap outsiders yang merupakan salah satu kecenderungan psikologis tertua pada manusia. Ketakutan ini menyebabkan individu merasa terancam atas kehadiran kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Pada penduduk yang berada di wilayah shrinkage, sentimen ini mungkin dapat sekaligus menjadi kompensasi terhadap kondisi kehidupan dengan merujuknya sebagai akibat dari faktor luar bukan dari dalam dirinya maupun dari pemerintah setempat.
Dengan demikian, para politikus pun dapat cuci tangan dari kondisi yang ada dengan mengalamatkan kesalahan pada kelompok outgroup sebagai penyebab masalah dan bukan membenahi secara struktural kondisi sosial-ekonomi yang terjadi.
Dalam hal ini, kelompok imigran yang dianggap memiliki karakteristik ras, kultur, dan agama yang berbeda dengan ingroup pada akhirnya diposisikan sebagai outsider.
Pada pemilihan umum Prancis yang telah berlangsung, walaupun Le Pen mengalami kekalahan yang telak, ia sebenarnya berhasil mengantongi kemenangan pada wilayah yang menunjukkan gejala shrinkage, yaitu di perbatasan utara Prancis seperti Calais.
Menara Eiffel di Prancis (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Menara Eiffel di Prancis (Foto: Thinkstock)
Walaupun demikian, berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya (seperti Jerman dan Inggris), patut dipahami bahwa urban shrinkage di Prancis belum menjadi suatu fenomena.
ADVERTISEMENT
Kondisi existing dari urban shrinkage memang eksis pada sejumlah wilayah di Prancis, khususnya di kota-kota kecil yang mengalami deindustrialisasi serta tidak terjangkau infrastruktur namun perkembangannya tidak seekstrim pada kota di negara-negara lain.
Namun, dengan adanya kenyataan bahwa Le Pen berhasil menang pada wilayah tersebut, menunjukkan isu xenophobia yang diusungnya dapat dengan mudah diterima pada masyarakat yang berdomisili di wilayah dengan karakteristik shrinkage.
Dengan demikian, interseksi isu sosial dan spasial yang dibungkus dengan strategi politik xenophobia dapat selalu menjadi strategi ampuh untuk menggiring pilihan politik individu.
Apakah strategi yang sama akan dilakukan oleh pengusung aliran far-right lainnya? Kita tunggu saja permainannya nanti pada pemilu Jerman yang akan digelar beberapa bulan mendatang.
ADVERTISEMENT