Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Gen Z di Bali Terjepit: Mimpi Punya Rumah Terkubur Tingginya Harga Properti
13 Januari 2025 11:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari I Bagus Putu Swardanasuta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memiliki rumah di Bali bagi Gen Z kini terasa seperti dongeng sebelum tidur—indah, tetapi nyaris mustahil untuk diwujudkan. Tanah kelahiran yang seyogyanya menjadi tempat berlindung dan tempat kembali nyatanya sulit untuk diwujudkan saat ini. Gen Z yang baru merintis karirnya harus berpacu dengan harga properti yang melambung kian tinggi, sementara kenaikan upah berjalan lebih lambat dari kecepatan kura-kura. Alih-alih merancang masa depan, mereka malah terjebak di dalam drama ekonomi yang tidak berkesudahan hanya untuk mewujudkan impian tinggal di wilayahnya sendiri. Kesenjangan ekonomi terasa jelas di mana para investor dan turis asing berpenghasilan dolar dan euro berkompetisi dengan Gen Z Bali berpenghasilan rupiah untuk membeli properti, tentu saja, Gen Z kalah telak di sini.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana fenomena tersebut tidak menyisakan ruang bagi Gen Z untuk tinggal di tanah kelahirannya sendiri?
Gen Z tercekik kondisi ekonomi
Gen Z makin sulit memiliki hunian terhimpit rendahnya kenaikan upah dan meroketnya harga properti di Bali. Berdasarkan Flash Report Rumah123.com, kenaikan harga rumah di Kota Denpasar tertinggi selama 2024 terjadi pada Juli yang mencapai 19,8% (year-on-year).
Deputi Regional Manager (DRM) Business Kantor Wilayah III PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN), Carly Tambunan, menyebutkan bahwa pada awal tahun 2024, harga rata-rata rumah di Kota Denpasar telah mencapai Rp 863 juta, sementara di Kabupaten Badung angkanya mencapai Rp 900 juta. Lalu, bagaimana kondisi pendapatan untuk meraih cita-cita kepemilikan rumah di daerah ini?
ADVERTISEMENT
Kenaikan upah di Indonesia pada tahun 2024 sangat minim, hanya sebesar 2% menurut data SAKERNAS BPS . Upah minimum provinsi (UMP) Bali 2024 tercatat Rp 2.813.672 per bulan, sedangkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) Kota Denpasar sedikit lebih tinggi, yaitu Rp 3.096.823 per bulan. Namun, Gen Z masih jauh dari angka ini. Berdasarkan Indonesia Gen Z Report 2024 dari IDN Research Institute, rata-rata penghasilan Gen Z hanya Rp 2,5 juta per bulan, bahkan hanya 14% dari mereka yang mampu mendapatkan gaji di atas Rp 5 juta.
Gen Z di Bali menghadapi tekanan ganda dari pendapatan yang stagnan dan harga properti yang melambung tinggi. Gen Z terjebak dalam lingkaran sulit: pendapatan mereka tidak hanya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga membuat mereka hampir mustahil mengejar mimpi memiliki hunian. Sementara harga properti terus melesat, daya beli generasi muda justru tertinggal, memperbesar kesenjangan ekonomi dan sosial. Gen Z berisiko menjadi generasi yang makin terpinggirkan dari pasar properti di daerahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pasar properti didominasi sektor pariwisata
Bali merupakan salah satu destinasi wisata paling populer di Indonesia, baik bagi turis domestik maupun mancanegara. Namun, belakangan ini Bali kerap disebut mengalami overtourism. Lalu, apakah fenomena overtourism ini berdampak pada sektor properti di Bali?
Merujuk pada data BPS, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali pada bulan Juli 2024 tercatat sebanyak 625.665 kunjungan, naik 20,11% dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 520.898 kunjungan.
Selaras dengan peningkatan jumlah wisatawan di Bali, permintaan hotel, vila, dan restoran juga mengalami peningkatan. BPS menyebutkan jumlah hotel di Bali melonjak menjadi 541 unit pada 2023. Jumlah tersebut naik 7% dibandingkan pra-pandemi 2019 yang berjumlah 507 hotel. Pada tahun 2023, hotel terbanyak berada di Kabupaten Badung (413 hotel), Denpasar (48 hotel), dan Gianyar (35 hotel). Sementara itu, Bangli memiliki hotel paling sedikit, yaitu hanya dua hotel.
ADVERTISEMENT
Perubahan lahan menjadi properti di sektor pariwisata menyebabkan ketersediaan hunian bagi penduduk lokal mengalami penurunan. Hal tersebut mengakibatkan harga properti melambung tinggi. Dengan demikian, Gen Z di Bali dihadapkan dengan kompetisi dalam pasar properti yang makin didominasi oleh sektor pariwisata. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan investasi dan aksesibilitas hunian bagi penduduk lokal.
Ketersediaan lahan makin menyempit, apakah dampak dari penjualan tanah?
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Bali yang memiliki tanah luas menyewakan tanah mereka untuk jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan desakan ekonomi keluarga yang kian meningkat. Pilihan ini sangat berisiko karena ketersediaan lahan di Bali makin menyempit, sedangkan populasi masyarakat Bali terus meningkat. Generasi penerus Bali, khususnya Gen Z akan terdampak karena lahan untuk tempat tinggal makin terbatas dan harga tanah kian meningkat. Gen Z masih memiliki harapan pada tanah yang masih disewakan dalam jangka panjang oleh orang tuanya, tetapi Gen Z harus menunggu berpuluh-puluh tahun untuk mendapatkan tanah mereka kembali.
ADVERTISEMENT
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali menyatakan sebanyak 2.000 hektar sawah di Bali dialihfungsikan setiap tahunnya. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena ketersediaan lahan makin menyempit akibat pembangunan hotel dan vila yang masif. Alih fungsi lahan sebagian besar disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pendapatan di sektor pariwisata yang lebih menjanjikan sehingga banyak masyarakat Bali yang menjual lahan miliknya dengan harga yang tinggi. Namun, alih fungsi lahan di Bali tidak dapat dibiarkan secara terus-menerus karena akan berdampak pada generasi penerus Bali yang kesulitan mendapatkan lahan untuk menjadi tempat tinggal.
Penguasaan tanah oleh WNA akibat kebijakan tidak tegas pemerintah
Pariwisata merupakan sektor yang menjadi penopang perekonomian Bali. Aktivitas pariwisata Bali sangat melekat dengan wisatawan asing, bahkan beberapa dari mereka ada yang menetap di Bali. Fenomena ini seolah-olah menjadi dua mata pisau bagi keberlanjutan pariwisata Bali. Pada satu sisi, kunjungan wisatawan asing meningkatkan pendapatan daerah Bali, sedangkan sisi lainnya menjadi ancaman penguasaan lahan akibat kebijakan yang kurang tegas. Hal ini menjadi masalah baru bagi Gen Z karena ketersediaan tanah kian tergerus karena dikuasai oleh warga asing.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, masyarakat Bali dibuat heboh oleh berita tentang WNA yang mengaku telah membeli tanah di Canggu untuk tempat usaha. Selain itu, beberapa warga asing mengelabui aturan kepemilikan lahan bagi WNA dengan menikahi warga Bali sehingga WNA dapat membeli tanah di Bali. Kondisi ini sangat menyedihkan jika terjadi terus-menerus dengan mengizinkan Pulau Bali dikuasai oleh warga asing. Gen Z yang sebagian besar sedang menempuh pendidikan kini hanya bisa berpasrah untuk memiliki rumah karena ekspektasi untuk memiliki rumah makin terkikis. Masalah ini disebabkan karena tindakan pemerintah yang kurang tegas dalam mengatur hak warga asing dalam menggunakan lahan di Bali. Banyak cara yang dilakukan warga asing untuk dapat memiliki lahan atau properti di Bali yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam menyejahterakan warga lokal.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan penguasaan lahan oleh WNA adalah melakukan moratorium perizinan usaha hotel, villa, dan beach club di wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan selama dua tahun. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi. Hal ini menjadi angin segar bagi Gen Z Bali yang terancam karena alih fungsi lahan. Akan tetapi, pemerintah Provinsi Bali belum mengeluarkan kebijakan khusus terkait masalah alih fungsi lahan hingga saat ini. Pemerintah setempat harus tegas dalam membatasi hak WNA dalam menguasai lahan di Bali untuk kesejahteraan masyarakat Bali dan memberikan harapan bagi Den Z untuk dapat memiliki rumah.
Gen Z Bali menghadapi tantangan berat dalam mewujudkan mimpi kepemilikan rumahnya, mulai dari tingginya harga properti, stagnasi upah, alih fungsi lahan untuk dominasi wisata, serta penguasaan tanah oleh asing yang menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran ketidakmungkinan. Ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat lokal dengan kepentingan ekonomi pariwisata tanpa solusi konkret berisiko merampas hak Gen Z untuk memiliki tempat tinggal di wilayahnya sendiri. Pemerintah pusat maupun daerah perlu mengambil upaya untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada kesejahteraan masyarakat lokal. Tanpa hal itu, impian Gen Z untuk memiliki rumah di Bali hanya akan menjadi suatu kenangan akan hal yang pernah mungkin.
ADVERTISEMENT