Konten dari Pengguna

Intelijen Air: Ketika Ancaman Bukan Lagi Senjata, Tapi Krisis Sumber Daya

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
14 Maret 2025 15:18 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi Badan Intelijen, Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi Badan Intelijen, Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata “intelijen”, pikiran kita mungkin langsung melayang ke dunia spionase, penyamaran, atau ancaman teroris. Tapi tahukah Anda bahwa ancaman terbesar bagi keamanan negara di masa depan mungkin bukan bom atau senjata, melainkan air? Ya, air — sumber kehidupan yang kini menjadi rebutan, bahkan alat tekanan geopolitik.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, saya membaca laporan internasional yang menyebutkan bahwa lebih dari 2 miliar manusia kini hidup tanpa akses air bersih yang memadai. Indonesia, negara maritim terbesar, ternyata tak lepas dari ancaman ini. Di beberapa wilayah, konflik kecil mulai bermunculan karena akses air yang terbatas, dan ironisnya, kita belum menempatkan krisis air sebagai isu keamanan nasional.
Di sinilah intelijen seharusnya hadir. Jika selama ini intelijen sibuk melacak ancaman teroris atau spionase asing, kini mereka harus mulai melacak pergerakan dan ancaman terkait sumber daya air. Seperti disampaikan oleh Erika Weinthal dan Jeannie Sowers (2019) dalam Environmental Security and Intelligence, krisis air adalah bagian dari ancaman non-tradisional yang memerlukan perhatian khusus dari komunitas intelijen.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika negara tetangga mulai “mengunci” hulu sungai yang mengalir ke wilayah kita, atau korporasi besar diam-diam menguasai sumber mata air strategis. Ini bukan skenario fiksi, melainkan kenyataan yang mulai terjadi di berbagai belahan dunia, seperti konflik air di Sungai Mekong, Nil, dan Yordan.
Intelijen air (water intelligence) menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Mereka harus mampu mendeteksi, memetakan, dan menganalisis konflik air yang berpotensi muncul, baik di dalam negeri maupun lintas batas negara. Menurut Lowenthal (2019) dalam Intelligence: From Secrets to Policy, intelijen modern harus mampu memprediksi ancaman sebelum terjadi, termasuk krisis sumber daya alam seperti air.
Sayangnya, isu ini jarang sekali dibahas dalam konteks keamanan nasional Indonesia. Padahal, negara ini memiliki daerah-daerah rawan krisis air — seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian wilayah Jawa, dan Sumatera bagian selatan. Intelijen semestinya memberi informasi akurat kepada pemimpin negara tentang siapa yang menguasai sumber air, bagaimana distribusinya, dan potensi konfliknya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, air bisa menjadi alat politik global. Negara-negara yang mengendalikan sumber air bisa menggunakannya untuk menekan negara lain secara ekonomi dan politik. Laporan World Bank (2017) bahkan menyebutkan bahwa krisis air bisa memicu migrasi besar-besaran, konflik antarkelompok, bahkan perang terbuka jika tidak dikelola.
Karena itu, kita perlu mendesak pemerintah untuk memperluas cakupan kerja intelijen — bukan hanya fokus pada isu terorisme atau narkoba, tetapi juga ancaman krisis air. Seperti dikatakan oleh Loch K. Johnson (2017) dalam Spy Watching, peran intelijen adalah menjaga keamanan dalam arti luas, termasuk keamanan sumber daya vital bangsa.
Sebagai masyarakat, kita juga harus sadar bahwa ancaman terhadap air adalah ancaman terhadap kelangsungan hidup kita sendiri. Sudah saatnya isu air menjadi bagian dari diskusi nasional, dan intelijen memiliki peran sentral dalam mengelola informasi strategis tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena, air adalah masa depan bangsa. Dan menjaga air berarti menjaga kedaulatan