news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Intelijen: Mata dan Telinga Negara yang Kerap Terlupakan

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
14 Maret 2025 16:34 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah negara yang berjalan tanpa informasi yang akurat. Seperti kapal tanpa kompas, ia mudah terombang-ambing di lautan ketidakpastian, rentan diserang badai yang tak terlihat. Dalam dunia modern yang penuh kompleksitas, intelijen menjadi “mata dan telinga” negara, perannya pun sering kali tersembunyi dari sorotan publik, bahkan dianggap sepele oleh sebagian kalangan.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat ketika berita tentang bocornya data penting negara ramai diperbincangkan. Publik geram, pejabat panik, namun di balik semua itu, para aparat intelijen bekerja dalam diam. Mereka berlari melawan waktu, melacak jejak digital musuh yang tak kasat mata. Namun sayangnya, keberadaan intelijen sering hanya menjadi “pahlawan tanpa tanda jasa” yang baru disebut-sebut ketika krisis terjadi.
Padahal, intelijen merupakan garda depan dalam menjaga kedaulatan. Seperti yang dijelaskan oleh Michael Warner (2009) dalam The Rise and Fall of Intelligence, intelijen bukan sekadar “mencari tahu rahasia musuh”, tapi merupakan proses kompleks untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mendistribusikan informasi strategis yang relevan bagi pengambil keputusan negara. Tanpa informasi intelijen yang tajam, para pemimpin negara bagaikan berjalan dalam gelap, mudah membuat keputusan keliru.
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, ancaman tidak lagi datang hanya dari peperangan konvensional, tetapi juga dari dunia maya. Cyber intelligence menjadi ujung tombak untuk menangkal serangan siber yang bisa melumpuhkan infrastruktur penting negara. Menurut kajian Lowenthal (2019) dalam Intelligence: From Secrets to Policy, perkembangan teknologi membuat ancaman semakin tidak terlihat, dan di sinilah intelijen harus mampu membaca “bahasa” dunia digital: dari pola komunikasi musuh, rekam jejak transaksi ilegal, hingga sinyal-sinyal ancaman tersembunyi.
Namun, pekerjaan intelijen bukan tanpa dilema. Mereka harus menyeimbangkan antara menjaga rahasia negara dan menjunjung hak asasi manusia. Kontroversi kerap muncul, misalnya terkait penyadapan atau pengawasan publik atas nama keamanan nasional. Di titik ini, intelijen harus berjalan di atas garis tipis etika, sebab seperti dikatakan oleh Loch K. Johnson (2017) dalam Spy Watching: Intelligence Accountability in the United States, “Intelijen yang bekerja tanpa pengawasan hanya akan melahirkan kekuasaan yang rawan disalahgunakan.”
ADVERTISEMENT
Maka, penting bagi kita untuk mulai membuka mata bahwa intelijen adalah bagian penting dari sistem pertahanan negara, bukan sekadar “organisasi bayangan” seperti digambarkan film-film. Edukasi publik tentang peran intelijen perlu ditingkatkan, agar masyarakat tidak hanya mengingat mereka saat bencana datang, tetapi juga menghargai kerja keras mereka yang terus berlangsung setiap hari, meski tanpa tepuk tangan.
Akhirnya, intelijen adalah seni melihat yang tak terlihat, memahami yang tak terucapkan, dan menjaga yang tak diketahui. Tanpa intelijen, negara berjalan dengan mata tertutup. Sudah saatnya peran mereka ditempatkan pada porsi yang layak, tidak hanya dalam kebijakan negara, tetapi juga dalam kesadaran publik.
Illustrasi Intelijen Keamanan, Sumber: Pixabay/Werner Moser