Konten dari Pengguna

Kebebasan Pers di Era Jokowi: Mitos atau Realitas?

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
4 September 2024 7:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi saat memberikan konferensi pers. Photo: BPMI, Sekretarist Negara
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi saat memberikan konferensi pers. Photo: BPMI, Sekretarist Negara
Di tengah gemuruh politik dan dinamika sosial yang terus berkembang, makna kebebasan pers di Indonesia di era pemerintahan Joko Widodo menjadi isu yang semakin relevan untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Meski Jokowi sering mengklaim komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan pers, kenyataan di lapangan sering kali menceritakan cerita yang berbeda. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana kebebasan pers benar-benar dipraktikkan dan apa dampaknya bagi demokrasi di Indonesia.

Kebebasan Pers: Landasan Demokrasi yang Diuji

Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi. Media berfungsi sebagai penjaga kekuasaan (watchdog), memberikan informasi yang akurat kepada publik, dan menyediakan ruang untuk diskusi publik yang bebas. Di era Jokowi, fungsi ini terus diuji oleh berbagai tantangan, mulai dari tekanan politik hingga intimidasi terhadap jurnalis.
Di satu sisi, pemerintah Jokowi kerap menegaskan pentingnya pers yang bebas sebagai bagian dari demokrasi Indonesia. Namun, di sisi lain, masih banyak kasus yang menunjukkan inkonsistensi antara retorika dan tindakan nyata. Misalnya, beberapa media menghadapi tekanan saat meliput isu-isu yang dianggap sensitif atau kontroversial, seperti kasus korupsi, kebijakan kontroversial, atau gerakan protes sosial. Media yang berani mengungkapkan kritik sering kali berhadapan dengan risiko sanksi hukum, intimidasi, atau bahkan serangan fisik terhadap jurnalis mereka.
ADVERTISEMENT

Undang-Undang ITE: Alat Pembungkam Kritik?

Salah satu contoh nyata dari paradoks kebebasan pers di era Jokowi adalah penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini awalnya dirancang untuk mengatur lalu lintas informasi di dunia digital, namun dalam praktiknya sering kali disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis, termasuk jurnalis. Banyak wartawan dan aktivis yang menjadi korban kriminalisasi di bawah UU ini, hanya karena mengkritik kebijakan pemerintah atau mengungkapkan kebenaran yang tidak nyaman bagi kekuasaan.
Fenomena ini menimbulkan ketakutan di kalangan media dan jurnalis, yang akhirnya dapat mengarah pada swasensor. Ketakutan akan ancaman hukum dan tekanan politik membuat beberapa media enggan meliput isu-isu tertentu atau mengungkapkan kebenaran secara gamblang. Ini, pada gilirannya, dapat merusak fungsi media sebagai alat kontrol sosial dan merugikan publik yang bergantung pada informasi yang jujur dan obyektif.
ADVERTISEMENT

Dilema Kebebasan Pers dalam Kontrol Pemerintah

Di era Jokowi, kontrol pemerintah terhadap media semakin diperketat melalui berbagai cara. Selain menggunakan hukum yang represif, pemerintah juga berusaha mempengaruhi narasi publik melalui media milik negara dan media yang berafiliasi dengan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan. Ini menciptakan dilema bagi kebebasan pers: di satu sisi, ada tekanan untuk mematuhi narasi resmi pemerintah, sementara di sisi lain, ada kewajiban profesional untuk menjaga integritas jurnalisme dengan memberikan laporan yang obyektif dan berimbang.
Keberadaan media yang “ramah” terhadap pemerintah semakin memperkeruh situasi ini, karena mereka cenderung mengabaikan atau menutupi kritik terhadap pemerintah. Dalam banyak kasus, media semacam ini lebih berperan sebagai alat propaganda daripada sebagai penyedia informasi yang akurat dan obyektif. Akibatnya, masyarakat sering kali hanya mendapatkan informasi yang sudah disaring dan dibentuk sesuai dengan kepentingan pihak tertentu, bukan informasi yang murni berdasarkan fakta di lapangan.
ADVERTISEMENT

Mencari Solusi di Tengah Ketidakpastian

Untuk mengembalikan makna sejati kebebasan pers di Indonesia, perlu ada komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dalam melindungi kebebasan pers dengan merevisi atau menghapus undang-undang yang sering disalahgunakan untuk membungkam kritik, seperti UU ITE. Selain itu, perlu ada upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa jurnalis dan media dapat bekerja tanpa rasa takut akan ancaman hukum atau kekerasan.
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mendukung kebebasan pers. Dukungan publik terhadap media independen yang berani mengungkapkan kebenaran perlu ditingkatkan, dengan cara mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pers yang bebas dan peran kritisnya dalam menjaga demokrasi. Solidaritas terhadap jurnalis yang mengalami intimidasi dan kriminalisasi juga harus terus diperkuat, agar mereka tidak merasa sendiri dalam perjuangan mereka untuk menyampaikan informasi kepada publik.
ADVERTISEMENT

Membangun Kebebasan Pers yang Kuat

Kebebasan pers di era Jokowi berada di persimpangan antara retorika dan realitas. Meski pemerintah menyuarakan dukungan terhadap demokrasi dan kebebasan pers, banyak tindakan dan kebijakan yang justru berlawanan dengan prinsip-prinsip ini.
Jika Indonesia ingin menjaga dan memperkuat demokrasinya, maka perlu ada langkah-langkah konkret untuk melindungi kebebasan pers dari segala bentuk ancaman dan tekanan. Hanya dengan begitu, media dapat menjalankan perannya sebagai penjaga demokrasi yang sesungguhnya, tanpa rasa takut atau intervensi.