Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lame Duck: Ketika Seorang Presiden Kehilangan Daya Cengkeram
25 Agustus 2024 13:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sistem politik demokrasi, istilah "lame duck" merujuk pada situasi di mana seorang pemimpin, biasanya seorang presiden, berada dalam periode akhir masa jabatannya dan dipandang tidak lagi memiliki kekuatan atau pengaruh yang signifikan. Fenomena ini kerap terjadi ketika seorang presiden sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi, baik karena aturan konstitusi yang mem
ADVERTISEMENT
batasi masa jabatan atau karena kekalahan dalam pemilihan kembali. Dalam konteks ini, istilah "lame duck" mencerminkan sebuah kenyataan pahit bahwa kekuasaan seorang presiden mulai luntur jauh sebelum ia secara resmi meninggalkan jabatannya.
Istilah "lame duck" pertama kali digunakan di Inggris pada abad ke-18, terutama di kalangan bisnis dan pasar saham. Saat itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan investor yang tidak dapat memenuhi kewajiban finansial mereka. Namun, seiring waktu, istilah ini mengalami pergeseran makna dan mulai digunakan dalam dunia politik untuk menggambarkan seorang pejabat yang sedang menunggu akhir masa jabatannya.
Seorang presiden yang menjadi "lame duck" sering kali dianggap tidak efektif, karena para politisi dan pemimpin lainnya mulai mengalihkan perhatian mereka kepada calon pengganti atau agenda politik yang lebih relevan. Dukungan dari parlemen, partai politik, dan bahkan dari rakyat cenderung berkurang, karena mereka memfokuskan energi mereka pada masa depan yang tidak lagi melibatkan presiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang Dihadapi Seorang Lame Duck
Ketika seorang presiden memasuki fase "lame duck," ia dihadapkan pada sejumlah tantangan yang bisa menghambat upaya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan penting. Salah satu tantangan terbesar adalah kehilangan dukungan politik. Anggota parlemen dari partainya sendiri mungkin enggan mendukung inisiatifnya, karena mereka lebih tertarik pada agenda politik yang akan datang dan kemungkinan perubahan kekuasaan.
Di sisi lain, presiden juga harus berhadapan dengan oposisi yang lebih berani dan kurang respek. Lawan politik yang sebelumnya mungkin menahan diri untuk tidak mengkritik terlalu keras kini melihat celah untuk menyerang kebijakan-kebijakan presiden, dengan asumsi bahwa sang presiden tidak lagi memiliki daya cengkeram yang kuat.
Selain itu, presiden yang sudah memasuki masa "lame duck" juga cenderung menghadapi kesulitan dalam menjaga stabilitas pemerintahannya. Para pejabat tinggi di kabinet atau birokrasi mungkin mulai mencari peluang baru atau mengalihkan loyalitas mereka, yang bisa mengakibatkan kurangnya koordinasi dan penurunan kinerja pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Lame Duck dalam Konteks Politik Indonesia
Dalam konteks Indonesia, fenomena "lame duck" juga dapat ditemukan, terutama ketika seorang presiden sudah mendekati akhir masa jabatannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, mengalami masa "lame duck" di akhir periode keduanya pada 2014. Pada saat itu, meski SBY masih memegang jabatan sebagai presiden, fokus politik sudah beralih kepada pemilu dan para calon presiden baru, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Kebijakan-kebijakan besar di tahun terakhir masa jabatan SBY banyak yang terhambat karena keterbatasan dukungan politik dan fokus yang terpecah.
Kini, situasi yang serupa juga bisa terjadi pada Presiden Jokowi. Memasuki tahun-tahun terakhir masa jabatannya, terutama setelah pemilu 2024, Jokowi mungkin akan merasakan gejala "lame duck" jika tidak mampu menjaga dukungan politik yang solid. Meski saat ini ia masih memiliki pengaruh yang kuat, terutama dengan posisi strategis anak-anaknya dan loyalis di berbagai lini pemerintahan, tidak menutup kemungkinan bahwa kekuasaan dan pengaruhnya akan mulai meredup seiring mendekatnya akhir masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Dampak Positif dari Fase Lame Duck
Meskipun sering dianggap sebagai fase yang lemah, ada beberapa dampak positif yang bisa muncul dari kondisi "lame duck." Salah satunya adalah kebebasan bagi presiden untuk mengambil keputusan yang tidak populer namun penting, tanpa khawatir akan dampak elektoral. Presiden yang sudah tidak lagi terikat oleh kepentingan pemilihan kembali mungkin lebih berani dalam mengambil kebijakan yang bersifat jangka panjang dan tidak populis.
Selain itu, fase "lame duck" juga memberikan kesempatan bagi transisi yang lebih mulus. Presiden yang mengetahui bahwa masa jabatannya akan segera berakhir dapat memfokuskan upayanya untuk memastikan bahwa penggantinya akan mewarisi pemerintahan yang stabil dan terorganisir dengan baik. Dalam beberapa kasus, presiden yang berada dalam fase "lame duck" dapat memainkan peran penting dalam mempersiapkan suksesi yang damai dan tertib.
ADVERTISEMENT
Mengelola Lame Duck
Bagi seorang presiden, kunci untuk mengelola masa "lame duck" dengan bijak adalah dengan tetap fokus pada warisan politik yang ingin ia tinggalkan. Dengan memanfaatkan sisa waktu di jabatannya untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang berkelanjutan dan bermanfaat jangka panjang, seorang presiden dapat mengatasi tantangan-tantangan yang muncul selama periode ini.
Selain itu, menjaga komunikasi yang baik dengan publik dan memastikan bahwa pemerintahannya tetap transparan dan akuntabel bisa membantu mempertahankan kepercayaan publik hingga akhir masa jabatan. Seorang presiden yang mampu menjaga stabilitas politik dan sosial di akhir masa jabatannya akan meninggalkan warisan yang lebih dihargai dan dikenang, meski ia sudah tidak lagi berada di puncak kekuasaan.
Fenomena "lame duck" adalah bagian tak terelakkan dari siklus politik dalam sistem demokrasi. Meskipun bisa menjadi periode yang penuh tantangan, dengan pendekatan yang tepat, seorang presiden bisa tetap relevan dan efektif meski kekuasaannya mulai pudar. Mengelola masa "lame duck" dengan bijak tidak hanya penting bagi warisan presiden itu sendiri, tetapi juga bagi stabilitas dan kesinambungan pemerintahan di masa transisi menuju era kepemimpinan yang baru.
ADVERTISEMENT