Konten dari Pengguna

Mengalir seperti Jepang: Menata Ulang Tata Kelola Air

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
22 April 2025 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi Mencuci Tangan Menggunakan Air. (Sumber: Samad Deldar Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi Mencuci Tangan Menggunakan Air. (Sumber: Samad Deldar Pexels)
ADVERTISEMENT
Ketika Indonesia masih berkutat dengan krisis air bersih di banyak wilayah, Jepang menunjukkan bahwa pengelolaan air yang efektif bukan sekadar soal teknologi tinggi, tetapi tentang visi ekologis, tata kelola yang konsisten, dan partisipasi warga yang menyatu dalam kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara kepulauan yang sering dilanda bencana alam dan memiliki distribusi curah hujan yang tidak merata, Jepang seharusnya lebih rentan terhadap krisis air. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di Tokyo misalnya, kebocoran air hanya sekitar 3,6%—salah satu yang terendah di dunia (Tokyo Metropolitan Government, 2020). Padahal, Jepang menghadapi tekanan luar biasa: dari urbanisasi, industrialisasi, hingga frekuensi gempa yang tinggi yang merusak infrastruktur.
Bagaimana Jepang bisa menjaga kualitas dan distribusi airnya? Apa yang bisa Indonesia pelajari dari sana?

Air sebagai Hak Kolektif, Bukan Komoditas

Jepang menempatkan air sebagai hak publik yang tidak bisa dikomersialkan secara liar. Kerangka hukum seperti Waterworks Law (1957) dan River Law (1964) menegaskan bahwa air harus dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan akses setara. Pemerintah pusat menetapkan kebijakan umum, sementara pemerintah daerah mengelola operasionalnya. Yang menarik, sebagian besar sistem distribusi air di Jepang dikelola oleh otoritas lokal, bukan oleh korporasi besar.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Indonesia, di mana air sering kali dikelola oleh BUMN atau bahkan diswastakan. Studi Komnas HAM (2019) menunjukkan bahwa privatisasi air di beberapa kota besar justru mengurangi akses masyarakat miskin terhadap air bersih. Kasus privatisasi PAM Jaya oleh segelintir perusahaan swasta di Jakarta selama dua dekade terakhir, menjadi contoh nyata bagaimana logika profit merusak akses publik terhadap air.

Tata Kelola Terpadu: Ekosistem sebagai Sumbu

Kelebihan lain dari Jepang adalah bagaimana mereka memandang tata kelola air bukan hanya soal distribusi teknis, tetapi juga pelestarian ekosistem. Konsep basin management diterapkan secara serius—setiap daerah aliran sungai (DAS) dikelola secara terpadu, dengan keterlibatan pemerintah, warga, dan sektor swasta.
Mereka bahkan punya lembaga khusus untuk rehabilitasi sungai dan pengawasan kualitas air. Sungai-sungai di kota besar seperti Kyoto atau Osaka yang dulunya tercemar, kini menjadi tempat rekreasi warga. Ini dicapai melalui investasi bertahun-tahun dalam konservasi lahan, pengolahan limbah domestik, dan pemantauan kualitas air secara real-time.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri punya sekitar 450 DAS strategis, tapi 68% di antaranya dalam kondisi kritis (KLHK, 2022). Rehabilitasi berjalan lambat karena tidak adanya tata kelola terpadu—banyak pihak bekerja sendiri-sendiri. Bahkan, pendangkalan sungai dan pencemaran industri sering dibiarkan tanpa sanksi tegas.

Inovasi, tetapi Tidak Melupakan Masyarakat

Jepang memang unggul dalam teknologi: dari sistem pemantauan tekanan air, pemanfaatan AI untuk deteksi kebocoran, hingga infrastruktur tahan gempa. Tapi lebih dari itu, keberhasilan mereka datang dari keterlibatan masyarakat. Warga dilibatkan dalam pelestarian sungai melalui program edukasi, kampanye hemat air, dan kegiatan sukarela.
Sebuah laporan dari OECD (Yamamoto, 2008) menunjukkan bahwa warga Jepang memiliki kesadaran sangat tinggi terhadap konservasi air karena pendidikan lingkungan dimulai sejak usia dini. Mereka tidak hanya diajarkan tentang pentingnya air, tetapi juga tentang bagaimana keputusan mereka berdampak pada lingkungan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pendekatan serupa sebenarnya bisa dikembangkan melalui model lokal seperti Subak di Bali atau Hutan Kemasyarakatan (Hkm) yang ada di beberapa daerah. Sayangnya, banyak dari model tradisional ini justru terpinggirkan oleh proyek infrastruktur besar yang tidak melibatkan masyarakat sebagai bagian dari sistem.

Dari Pemerintahan yang Reaktif ke Pemerintahan yang Antisipatif

Bencana hidrometeorologis seperti banjir dan kekeringan kini menjadi hal yang berulang di Indonesia. Sayangnya, pendekatan kita masih reaktif: membangun tanggul setelah banjir, membagikan air setelah kekeringan. Di Jepang, pendekatan antisipatif dijalankan secara sistematis, seperti pembangunan saluran bawah tanah raksasa di Saitama atau pemanfaatan embung-embung kota.
Perencanaan jangka panjang menjadi kunci. Jepang punya National Land Use Plan yang menyelaraskan pengelolaan air, tata ruang, dan mitigasi bencana. Sementara itu, Indonesia masih sering menempatkan urusan air sebagai proyek sektoral yang berdiri sendiri, tidak terintegrasi dalam rencana tata ruang dan pembangunan daerah.
ADVERTISEMENT

Menata Ulang Narasi Air: Dari Komoditas ke Keberlanjutan

Belajar dari Jepang bukan berarti menyalin semua praktik mereka. Konteks sosial, geografis, dan politik kita berbeda. Tapi ada satu hal yang bisa dan harus kita tiru: narasi air sebagai milik bersama, yang pengelolaannya harus adil, ekologis, dan partisipatif.
Indonesia masih punya peluang besar. Kita punya ribuan sumber mata air, sungai-sungai besar, dan kearifan lokal yang belum sepenuhnya diberdayakan. Tapi semua itu akan percuma jika pendekatannya masih menempatkan air sebagai proyek, bukan ekosistem. Jika pengelolaannya masih dibebankan pada instansi sektoral, bukan kerangka kerja yang menyeluruh. Dan jika masyarakat hanya dianggap sebagai penerima manfaat, bukan subjek utama dalam menjaga sumber daya air.
Jika Jepang bisa memulihkan sungainya, menekan kebocoran air sampai mendekati nol, dan membangun solidaritas ekologis dalam masyarakat urban yang padat lalu mengapa Indonesia yang begitu kaya air justru terus menghadapi krisis?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini harusnya menjadi titik tolak kita untuk menata ulang sistem air nasional. Sebab, seperti kata pepatah Jepang: mizu no kokoro yakni hati seperti air,harus tenang, mengalir, tapi tak pernah lelah mencari jalan