Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Negeri Kaya Air, Tapi Rawan Krisis: Saatnya Belajar dari Jepang
5 April 2025 0:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Air adalah kehidupan. Kalimat ini sering kali terdengar klise. Namun di banyak tempat di Indonesia hari ini, air justru menjadi sumber keresahan, bukan ketenangan. Dari kota besar seperti Jakarta yang terus terancam krisis air bersih, hingga daerah pertanian yang bergantung pada musim hujan, kita semakin sadar: air tidak lagi bisa dianggap remeh.
ADVERTISEMENT
Yang menggelitik adalah kenyataan bahwa Indonesia, negeri dengan lebih dari 17.000 pulau dan curah hujan yang tergolong tinggi, justru menghadapi ancaman kelangkaan air. Data dari Kementerian PPN/Bappenas (2023) menunjukkan bahwa 9 dari 34 provinsi di Indonesia telah masuk dalam kategori rawan air. Sementara itu, Jepang adalah negara yang jauh lebih kecil, rentan bencana, dan tidak semelimpah kita dalam hal sumber daya alam justru memiliki sistem pengelolaan air yang tangguh, rapi, dan berkelanjutan.
Apa yang membedakan kita?
Manajemen Terpadu: Kunci Pengelolaan Air Jepang
Salah satu pilar utama kekuatan Jepang dalam ketahanan air terletak pada penerapan Integrated Water Resources Management (IWRM) secara menyeluruh. Konsep ini bukan sekadar teori, tapi diwujudkan melalui kebijakan lintas sektor yang konkret.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism (MLIT) Jepang (2020), pengelolaan air melibatkan koordinasi aktif antara lembaga yang menangani pertanian, lingkungan, air limbah, dan pembangunan kota. Mereka berjalan dalam satu sistem yang saling menopang.
Sebaliknya, tata kelola air di Indonesia masih sangat terfragmentasi. Pemerintah pusat dan daerah sering memiliki kebijakan yang bertabrakan. Banyak sungai dikelola oleh pusat, namun pemanfaatannya menjadi tanggung jawab daerah. Belum lagi BUMD air minum yang kadang tersandera masalah keuangan dan regulasi. Akibatnya, banyak potensi air yang mubazir, sementara daerah lain kekeringan.
Teknologi dan Edukasi Publik: Kombinasi Jepang yang Efektif
Selain manajemen yang rapi, Jepang juga mengandalkan teknologi canggih dalam pengelolaan air. Di Tokyo, air limbah rumah tangga didaur ulang melalui instalasi advanced membrane bioreactor, lalu digunakan kembali untuk toilet umum dan sistem pendingin gedung (Japan Water Works Association, 2021). Bahkan, sebagian besar air hujan yang jatuh di kota besar dikumpulkan, disaring, dan dimanfaatkan kembali.
ADVERTISEMENT
Namun lebih dari teknologi, Jepang juga sukses menanamkan budaya hemat air dalam kehidupan sehari-hari. Kampanye publik dilakukan tidak hanya melalui iklan, tetapi juga kurikulum sekolah dan komunitas lokal. Penelitian oleh Suzuki & Hashimoto (2019) menunjukkan bahwa anak-anak Jepang diajarkan sejak dini bahwa membiarkan keran air menyala tanpa guna adalah tindakan tidak etis, bukan sekadar boros.
Di Indonesia, kampanye hemat air masih lemah. Sosialisasi hanya dilakukan menjelang musim kemarau, dan bahkan itu pun seringkali bersifat instruktif, bukan edukatif. Padahal, perubahan perilaku masyarakat adalah salah satu fondasi penting dalam menciptakan ketahanan air.
Sungai dan Hutan: Fondasi yang Terabaikan
Jepang menempatkan sungai dan hutan sebagai dua elemen yang tak terpisahkan dari sistem ketahanan air. Mereka menjaga kawasan hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) secara serius. Program Satoyama, yang mengintegrasikan manusia dan alam dalam lanskap pertanian dan hutan menjadi contoh bagaimana konservasi bisa sejalan dengan kehidupan masyarakat lokal (Takeuchi, 2010).
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan Indonesia, di mana hutan justru mengalami degradasi parah. Data Global Forest Watch (2022) menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektare tutupan hutan primer sejak 2001, sebagian besar berada di wilayah tangkapan air. Tanpa hutan, air hujan tak lagi terserap, melainkan langsung mengalir membawa erosi, banjir, dan longsor.
Di sisi lain, sungai-sungai kita pun tercemar berat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa 68% sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat, dengan limbah domestik sebagai penyumbang utama (KLHK, 2023). Ini menandakan lemahnya pengawasan, penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran publik.
Membangun Ketahanan Air: Saatnya Berpikir Ulang
Belajar dari Jepang tidak berarti meniru seluruhnya. Kita punya konteks dan tantangan yang berbeda. Tapi prinsip-prinsip yang mereka pegang bisa menjadi cermin: bahwa air harus dikelola secara lintas sektor, dilindungi secara ekologis, dan digunakan secara hemat oleh masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia perlu mulai dengan memperbaiki tata kelola air di tingkat pusat dan daerah, memperkuat investasi pada infrastruktur daur ulang dan konservasi air, serta yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai etika air sejak usia dini.
Krisis air bukan sesuatu yang jauh di masa depan. Ia sudah mulai mengetuk pintu hari ini, di kota-kota besar yang terpaksa menyedot air tanah berlebihan, di petani kecil yang bergantung pada irigasi yang tak menentu, hingga di masyarakat pesisir yang airnya asin dan kotor.
Kalau Jepang yang kekurangan bisa membangun ketahanan, mengapa kita yang kaya masih sering kekeringan?