Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pertarungan Air: Ketika Sumber Daya Menjadi Arena Kepentingan Ekonomi
9 September 2024 8:34 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Air adalah kebutuhan mendasar yang sering kita anggap begitu saja. Namun, di balik keran yang mengalir atau air mineral yang mudah dibeli di toko, tersimpan persoalan besar: politik air. Dalam konteks global maupun nasional, air telah menjadi sumber daya yang diperebutkan, dipolitisasi, bahkan diperdagangkan secara besar-besaran. Maka, penting bagi kita untuk menggali lebih dalam, memahami bagaimana politik air mempengaruhi masyarakat, lingkungan, dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Air Sebagai Sumber Daya yang Dipolitisasi
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan air, ternyata masih menghadapi banyak tantangan dalam pengelolaannya. Air yang seharusnya menjadi milik bersama sering kali menjadi lahan permainan kekuasaan dan kepentingan. Swastanisasi air, misalnya, menjadi isu besar di banyak daerah perkotaan. Pemerintah daerah menyerahkan pengelolaan air kepada perusahaan swasta yang pada akhirnya menciptakan akses yang tidak merata. Hanya mereka yang mampu membayar harga tinggi yang dapat menikmati air bersih, sedangkan masyarakat kelas bawah sering kali terpaksa menggunakan air yang tidak layak.
Contoh nyata terjadi di Jakarta, di mana pengelolaan air sebagian besar dikendalikan oleh perusahaan swasta sejak era Orde Baru. Hasilnya? Banyak warga miskin yang kesulitan mengakses air bersih dengan harga terjangkau. Ini menunjukkan bahwa air telah berubah menjadi komoditas, bukan lagi hak dasar.
ADVERTISEMENT
Krisis Air dan Konflik Sosial
Di daerah pedesaan, politik air tak kalah pelik. Banyak daerah di Indonesia yang masih mengalami krisis air, terutama di musim kemarau. Persoalan ini sering memicu konflik antarwarga, bahkan antar daerah. Di Bali, misalnya, masalah distribusi air untuk sawah sering kali menimbulkan ketegangan antara desa-desa adat. Kebutuhan air untuk pertanian tradisional bertabrakan dengan kebutuhan pariwisata yang semakin meningkat. Hotel-hotel besar dan lapangan golf sering kali mendapatkan prioritas, sementara para petani kesulitan mengairi sawah mereka.
Konflik semacam ini menunjukkan bahwa air bukan hanya soal teknis infrastruktur, tetapi juga terkait dengan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah pusat maupun daerah. Siapa yang memegang kendali atas distribusi air, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan, adalah pertanyaan-pertanyaan politik yang harus kita hadapi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, permasalahan politik air tak hanya terjadi di tingkat lokal atau nasional, tetapi juga merupakan isu global. Perubahan iklim telah memperparah krisis air di seluruh dunia. Banjir dan kekeringan menjadi lebih sering terjadi, mempengaruhi ketersediaan air di banyak negara. Indonesia, yang kaya akan sumber daya air, juga tidak luput dari dampaknya. Banjir besar yang melanda Jakarta, Semarang, dan kota-kota besar lainnya sering kali terkait dengan perubahan iklim. Di sisi lain, daerah-daerah seperti NTT, yang sudah mengalami kekurangan air, semakin sulit mendapatkan pasokan air yang memadai.
Dalam konteks ini, kita tentu dapat melihat bahwa pengelolaan air tidak bisa hanya dilihat dari perspektif nasional semata. Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara lain untuk menghadapi tantangan global terkait perubahan iklim dan krisis air. Diplomasi air, baik dalam hal berbagi pengetahuan, teknologi, maupun kebijakan perlu diperkuat untuk memastikan bahwa krisis air global tidak semakin memperburuk ketimpangan sosial di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan Air yang Berkeadilan
Untuk mengatasi persoalan politik air, solusi yang ditawarkan tidak cukup hanya dengan memperbaiki infrastruktur fisik. Pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan memerlukan reformasi kebijakan yang lebih luas. Pemerintah perlu memastikan bahwa air dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan barang dagangan semata. Setiap warga negara harus memiliki akses yang sama terhadap air bersih, terlepas dari status ekonomi mereka.
Selain itu, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya air harus lebih diberdayakan. Di beberapa daerah di Indonesia, masih terdapat model pengelolaan air berbasis adat yang terbukti efektif dan berkelanjutan. Sistem subak di Bali, misalnya, adalah contoh bagaimana masyarakat dapat mengelola sumber daya air secara adil dan efisien. Kebijakan pemerintah harus mendukung sistem-sistem lokal semacam ini daripada menyerahkannya kepada perusahaan-perusahaan besar yang hanya mencari keuntungan.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, politik air adalah persoalan yang rumit, melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang berbeda-beda. Dari pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat, semua memiliki peran dalam menentukan bagaimana air dikelola dan didistribusikan. Namun, yang terpenting, air adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam menghadapi krisis air, baik yang disebabkan oleh kebijakan buruk, swastanisasi, maupun perubahan iklim, kita perlu pendekatan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Masa depan air di Indonesia dan di dunia bergantung pada bagaimana kita menangani isu-isu politik yang menyertainya. Adalah tugas kita bersama untuk memastikan bahwa air tetap menjadi milik semua, bukan hanya segelintir pihak yang berkepentingan. Sebab pada akhirnya, air adalah kehidupan, dan kehidupan tak boleh dijualbelikan.
ADVERTISEMENT