Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Politik di Balik Tetesan Air: Siapa yang Menguasai, Siapa yang Kehilangan?
1 Mei 2025 12:49 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di Indonesia, air bukan hanya persoalan alam, melainkan juga politik. Kita sering berpikir bahwa kekeringan, banjir, atau krisis air bersih terjadi karena faktor cuaca, perubahan iklim, atau perilaku masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, jika ditelisik lebih dalam, ada dimensi kekuasaan yang turut mengatur siapa yang mendapat akses terhadap air, dan siapa yang tidak. Inilah yang disebut sebagai political ecology of water tentang bagaimana sumber daya air menjadi arena perebutan kekuasaan, kepentingan, dan legitimasi.
Dalam praktiknya, pengelolaan air di Indonesia tidak pernah netral. Ia melibatkan aktor-aktor negara, swasta, hingga kelompok masyarakat adat yang sering kali bersinggungan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Karen Bakker (2010) dalam bukunya Privatizing Water, air telah lama menjadi objek komodifikasi, yang dikendalikan melalui regulasi, teknologi, dan kebijakan. Hal yang sama terjadi di Indonesia, terutama pasca reformasi, ketika banyak sektor publik termasuk air, dibuka untuk investasi swasta.
Salah satu contoh paling nyata adalah privatisasi air di Jakarta sejak era Orde Baru. Pada tahun 1997, pemerintah menggandeng dua perusahaan asing—Thames Water dari Inggris dan Suez dari Prancis—untuk mengelola distribusi air di ibu kota melalui dua anak perusahaan, PAM Lyonnaise Jaya dan Thames PAM Jaya. Meskipun tujuannya adalah meningkatkan efisiensi dan layanan, kenyataannya akses air tetap timpang, kualitas layanan tidak merata, dan tarif terus naik (Bakker, 2003).
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap skema ini semakin menguat saat Mahkamah Konstitusi pada 2015 membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. MK menyatakan bahwa air tidak boleh dikomersialkan secara berlebihan karena merupakan hak dasar warga negara.
Putusan ini membuka jalan bagi negara untuk kembali mengambil alih kontrol atas air, namun kenyataannya, transisi ini tidak berjalan mulus. Banyak kontrak swasta masih berlangsung, dan sebagian wilayah masih bergantung pada operator non-pemerintah.
Persoalan semakin kompleks ketika kita menengok ke daerah. Di Bali misalnya, sumber daya air tradisional seperti subak kini berhadapan dengan pariwisata masif yang membutuhkan pasokan air besar.
Menurut penelitian Cole & Browne (2015), satu vila mewah di Ubud bisa menghabiskan air setara 1.000 liter per hari, jauh melebihi konsumsi rumah tangga biasa. Sementara petani lokal harus bersaing dengan hotel dan restoran untuk mendapatkan air irigasi. Di sinilah tampak bagaimana kekuasaan dan ekonomi berperan dalam menentukan siapa yang memiliki akses terhadap air, dan siapa yang tersisih.
ADVERTISEMENT
Politik sumber daya air juga sangat terlihat dalam bagaimana negara mengalokasikan proyek-proyek infrastruktur. Pembangunan bendungan besar, seperti Bendungan Jatigede di Jawa Barat, seringkali dibalut dengan narasi “kesejahteraan” dan “ketahanan pangan”.
Namun, pembangunan ini sering menimbulkan konflik agraria, penggusuran warga, dan kerusakan lingkungan. Menurut studi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM, 2020), proyek bendungan tersebut telah menggusur ribuan warga tanpa kompensasi memadai.
Ironisnya, dalam banyak kasus, masyarakat adat yang justru paling bijak dalam mengelola air, seperti masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan atau masyarakat adat di Toraja yang malah terpinggirkan dari kebijakan negara.
Padahal, pendekatan mereka yang berbasis kearifan lokal dan spiritualitas terhadap air justru menjaga keberlanjutan sumber daya. Dalam konteks inilah, Jesse Ribot dan Nancy Peluso (2003) memperkenalkan konsep “akses”, yakni bukan sekadar soal kepemilikan legal, tetapi soal kekuasaan untuk menggunakan, mengatur, dan mengakses sumber daya.
ADVERTISEMENT
Lantas, ke mana arah kebijakan kita hari ini? Di satu sisi, Indonesia telah meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menargetkan akses universal terhadap air bersih. Namun di sisi lain, realitas di lapangan memperlihatkan kesenjangan. Data Bappenas (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 12 juta penduduk Indonesia masih kesulitan mendapatkan air bersih, terutama di wilayah timur dan daerah terpencil.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, negara harus menempatkan air sebagai hak, bukan barang dagangan. Ini berarti memperkuat peran publik dalam pengelolaan air dan memastikan kebijakan tidak dikendalikan oleh kepentingan swasta semata. Kedua, perlunya desentralisasi yang lebih demokratis dalam pengambilan keputusan soal air, di mana suara masyarakat lokal, petani, dan kelompok adat diikutsertakan. Terakhir, penting untuk melihat air tidak hanya sebagai infrastruktur teknis, tapi juga sebagai entitas sosial, kultural, bahkan spiritual, yang tak bisa direduksi menjadi sekadar volume dan debit.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, politik sumber daya air adalah soal keberpihakan. Ia menguji komitmen negara terhadap keadilan ekologis dan hak dasar warga negara. Jika pengelolaan air masih dikuasai oleh logika pasar dan elite politik, maka krisis air akan terus menghantui kita, bukan karena kekeringan semata, tapi karena kesenjangan akses dan kekuasaan yang dibiarkan tumbuh dalam diam.