Populisme dan Momen Politik pada Isu Reklamasi

I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
Konten dari Pengguna
9 Februari 2023 18:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gusti Ngurah Krisna Dana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Delft Apartement yang dibangun di proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Ciputra Development
zoom-in-whitePerbesar
Delft Apartement yang dibangun di proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Ciputra Development
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Reklamasi sejatinya menjadi topik hangat yang disuarakan oleh para kandidat gubernur dan wakil gubernur di Bali dan Jakarta. Hal ini dilihat ketika menjelang pemilihan kepala daerah di kedua daerah ini pada rentang tahun 2016-2018, isu reklamasi menjadi menarik untuk para calon gubernur di kedua yang bertarung dalam pilkada. Mereka menjadikan gerakan anti reklamasi sebagai janji politik saat kampanye dengan menginginkan hadir langsung dalam masyarakat untuk ikut dalam gerakan menolak reklamasi.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar penolakan reklamasi ini sejatinya dilakukan oleh calon gubernur Bali & DKI Jakarta. Di DKI Jakarta, Anies Baswedan selaku Calon Gubernur DKI pada Pilkada DKI 2017 menyatakan di salah satu point kampanye akan tegas menolak reklamasi teluk Jakarta, janji untuk menolak reklamasi merupakan salah satu daya tarik kampanye yang dijual Anies Baswedan bersama pasangannya saat itu, Sandiaga Uno. Penolakan reklamasi yang tertuang dalam point kampanye Anies saat itu, reklamasi di teluk Jakarta hanya akan memberikan dampak buruk khususnya para nelayan di pesisir utara Jakarta (CNN, 2020).
Hal ini disambut baik oleh masyarakat DKI Jakarta, khususya masyarakat pesisir utara Jakarta. Saat Pilkada DKI Jakarta 2017, Jaringan Warga Jakarta Utara (JAWARA) mendukung Anies Baswedan – Sandiaga Uno dalam menolak reklamasi di teluk Jakarta. Hal ini disampaikan dalam point kampanye dan mendapat antusiasme dari warga pesisir terkait rencana anti reklamasi yang tertuang pada point kampanye calon gubernur (Kompas TV, 2020)
ADVERTISEMENT
Pernyataan untuk menolak reklamasi juga menjadi janji kampanye saat Pilkada Bali 2018. Kandidat Calon Gubernur Bali yakni I Wayan Koster dan Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra menjadikan isu tolak reklamasi sebagai janji pada saat kampanye di Pilkada Bali 2018. Rai Mantra menyatakan sikap tegas untuk menolak reklamasi bersama DPRD Kota Denpasar tahun 2013 saat dirinya menjabat sebagai Wali kota Denpasar (Hantoro, 2018). Sedangkan Wayan Koster juga menyatakan menolak reklamasi saat maju dalam pemilihan gubernur bali dengan mengatakan bahwa segala hal yang tidak selaras dengan kondisi alam dalam hal ini reklamasi akan tidak dilanjutkan atau dilaksanakan (Aminah, 2017).
Sejatinya menarik jika dilihat dari kedua peristiwa reklamasi dan sikap dari pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di kedua daerah ini, terdapat point of interest mengapa menjadikan isu reklamasi sebagai janji politik pada saat pilkada berlangsung. Praktik populisme dengan membawa nama rakyat untuk melakukan perubahan atas sistem representasi yang tidak terwakilkan dengan baik pada gerakan tolak reklamasi bisa menjadi salah satu factor mengapa isu ini menjadi point of interest.
ADVERTISEMENT

Populisme dan Momen Politik: Style of Leadership & Representasi Politik

Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Tolak Reklamasi (Gentar) Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Balai Kota, Jakarta, Rabu (8/7). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Berkaca pada keterkaitan populisme dan fenomena di atas, terdapat beberapa pengertian populisme dari sudut pandang Style of Leadership. Menurut Schneiker, Populisme juga melekat pada Style of Leadership dari seorang pemimpin, memiliki pengertian bahwa populisme merupakan strategi politik untuk meraih simpati massa. Pemimpin populis muncul sebagai respons atas absennya partai politik dan gerakan alternatif yang menjadi representasi kekecewaan popular (Schneiker, 2020).
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, cara pasangan calon untuk menjadikan isu reklamasi sebagai janji politiknya bisa dikatakan saling berkaitan dengan pengertian populisme ini.
Kemudian, hal lainnya ialah menurut Lisa Landy (2019) tentang tulisannya yang menjelaskan populisme juga bisa dikatakan sebagai akibat dari kegagalan sisstem sosial, politik, dan ekonomi yang mapan untuk menjamin aspek-aspek kehidupan yang baik (Pekerjaan, kesejahteraan, layanan dasar, dan keberlangsungan hidup). Kegagalan tersebut melahirkan keraguan atas ideologi kebijakan dan rezim yang berkuasa, sekaligus mengindikasikan kegagalan sistem dalam mewadahi pluralitas kepentingan rakyat. Situasi tersebut berdampak pada berhentinya fungsi representasi sebagai pilar penting demokrasi. Populisme juga hadir dengan narasi mengembalikan system representasi yang sesungguhnya serta responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa dikaitkan dengan fenomena tolak reklamasi oleh gerakan sosial masyarakat di Bali dan Jakarta. Pergerakan massa masyarakat yang tergabung untuk menolak ini sekiranya menjadikan daya tarik bagi kedua pasangan calon gubernur di 2 daerah ini untuk menjadikan isu reklamasi sebagai janji politiknya dengan menjadikan dirinya sebagai representasi politik dari gerakan masyarakat tolak reklamasi untuk mendapatkan kemenangan pada saat momen politik berlangsung.