Konten dari Pengguna

Strategi Guru mendidik Gen Z dan Alpha di Zaman Serba Digital

I MADE EDY JUNIAWAN
Kepala SD No. 3 Legian
4 Mei 2025 12:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I MADE EDY JUNIAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: I Made Edy Juniawan, S.Pd.SD., M.Pd.
Kepala SD No. 3 Legian
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia pendidikan mengalami transformasi yang sangat cepat. Perubahan ini tidak hanya dipicu oleh kemajuan teknologi, tetapi juga oleh hadirnya generasi baru yang memiliki cara pandang dan gaya belajar yang berbeda. Mereka adalah Generasi Z dan Generasi Alpha.
Generasi Z, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di tengah geliat revolusi digital. Mereka menyaksikan kemunculan media sosial, hidup berdampingan dengan gadget pintar, dan terbiasa menjelajah dunia melalui layar. Bagi mereka, belajar tidak harus di ruang kelas atau melalui buku teks. Informasi bisa diperoleh dari video YouTube, forum online, atau bahkan dari meme yang sarat makna. Mereka menginginkan akses cepat, visual yang menarik, serta interaksi yang bermakna.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Generasi Alpha anak-anak yang lahir setelah tahun 2013 tidak lagi mengenal dunia sebelum internet. Mereka bukan hanya adaptif terhadap teknologi, tetapi benar-benar hidup di dalamnya. Sejak usia dini, mereka telah terbiasa dengan layar sentuh, sensor gerak, serta algoritma yang seolah memahami keinginan mereka sebelum mereka sempat mengetik. Dunia mereka dipenuhi suara asisten virtual, tayangan on-demand, dan permainan edukatif berbasis artificial intelligence.
Jika Generasi Z memandang teknologi sebagai alat bantu, maka Generasi Alpha menjadikannya bagian dari kehidupan itu sendiri. Mereka belajar membaca melalui aplikasi interaktif, mengenal dunia lewat augmented reality, dan membangun kreativitas melalui platform digital yang sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya.
Transformasi ini tentu membawa peluang besar, sekaligus tantangan nyata bagi para pendidik. Cara mengajar yang efektif satu dekade lalu kini terasa tidak relevan. Pendekatan satu arah, metode hafalan tanpa konteks, serta kurikulum yang kaku seringkali gagal menjawab kebutuhan generasi yang tumbuh bersama teknologi. Mereka tidak hanya butuh guru yang pandai bicara di depan kelas, melainkan pendamping belajar yang memahami dunia mereka, mengikuti ritme mereka, dan mampu menyalakan semangat melalui cara-cara yang sesuai dengan zamannya.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak cukup hanya mendengar dan mencatat; mereka ingin melihat, menyentuh, mengeksplorasi, dan menciptakan sendiri pengalaman belajarnya. Karakteristik belajar mereka sangat visual, interaktif, dan berbasis pengalaman. Mereka merespons lebih baik terhadap video pembelajaran, simulasi digital, animasi 2D/3D, serta game edukatif, dibandingkan dengan teks panjang dalam buku pelajaran. Bagi mereka, belajar bukan sekadar kegiatan akademik, tetapi sebuah petualangan yang harus menyenangkan dan bermakna.
Generasi ini terbiasa dengan segala sesuatu yang serba instan. Konten pendek, visual yang menarik, dan kecepatan akses tinggi telah menjadi standar. Mereka belajar sambil bermain, menyerap informasi sambil berselancar di media sosial, dan menggali makna melalui konten yang sering kali tidak disediakan oleh guru.
Di sinilah tantangan muncul. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mesin pencari, video YouTube, dan aplikasi edukatif kini menjadi “guru tambahan” yang dapat diakses kapan saja, bahkan tengah malam dari balik selimut. Maka, peran guru pun bergeser: dari instruktur menjadi fasilitator, dari pengajar menjadi perancang pengalaman belajar, dari penguasa kelas menjadi teman dialog digital.
ADVERTISEMENT
Belajar dari negara-negara maju, kita dapat melihat bagaimana pendekatan pendidikan telah bergeser. Di Finlandia, misalnya, pembelajaran berfokus pada fenomena nyata dan keterampilan hidup. Siswa diajak mengkaji isu-isu seperti perubahan iklim atau migrasi lintas mata pelajaran. Sekolah minim ujian, tetapi penuh dialog dan kolaborasi.
Di Korea Selatan, pemanfaatan teknologi tinggi sangat ditekankan. Pemerintah mendukung smart school dengan platform pembelajaran adaptif yang disesuaikan dengan kemampuan setiap siswa. Artificial intelligence digunakan untuk menganalisis kesulitan siswa, memberi latihan personal, dan memantau perkembangan mereka secara real time.
Singapura tak hanya unggul secara akademik, tetapi juga menanamkan karakter dan kepemimpinan digital. Kurikulum literasi media dan etika digital diajarkan sejak dini untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga sadar tanggung jawab sosial.
ADVERTISEMENT
Lalu, Indonesia di mana? Indonesia sedang bergerak ke arah yang sama. Penerapan Kurikulum Merdeka dalam tiga tahun terakhir adalah langkah maju untuk memberi ruang bagi kreativitas guru dan kebutuhan individual siswa. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi: kesenjangan akses teknologi, pelatihan guru yang belum merata, serta ketimpangan infrastruktur antar daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan pendidikan yang adil dan relevan dengan zaman.
Dalam situasi ini, peran guru menjadi sangat vital dan tidak tergantikan. Guru tidak bisa hanya menunggu sistem berubah atau kebijakan turun dari atas. Mereka harus menjadi motor perubahan dari dalam kelas menginisiasi, menyesuaikan, dan menafsirkan dinamika pembelajaran sesuai kebutuhan nyata siswa. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan munculnya kecerdasan buatan yang mengubah wajah pendidikan, guru dituntut untuk lebih adaptif dan reflektif terhadap perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Mereka harus peka membaca situasi siswa, mengolah sumber daya secara kreatif, dan merancang pembelajaran yang bermakna serta kontekstual. Bahkan di tengah keterbatasan infrastruktur, pelatihan, dan dukungan sistem, semangat pembelajar sepanjang hayat menjadi kunci. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pelajar yang terus tumbuh. Dalam arti ini, guru adalah garda terdepan perubahan bukan sekadar pelaksana kebijakan, tetapi agen transformasi yang berdaya cipta dan berdaya ubah.
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran kini menjadi keniscayaan. Namun, tanpa nilai dan arah pedagogis yang jelas, teknologi bisa menjadikan pendidikan sekadar hiburan kosong. Guru perlu merancang pembelajaran yang adaptif, personal, dan bermakna. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memahami kebutuhan siswa, memberi ruang eksplorasi, serta menyediakan umpan balik yang cepat dan relevan.
ADVERTISEMENT
Di balik segala kecanggihan layar digital, anak-anak tetap manusia dengan kebutuhan emosional yang nyata. Mereka menghadapi tekanan sosial, rentang perhatian yang pendek, dan tantangan kesehatan mental. Maka, kelas harus menjadi ruang yang hangat dan empatik bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat merasa aman, didengar, dan dihargai. Ini bisa dimulai dari sesi refleksi, praktik mindfulness singkat, atau memberi ruang bagi siswa untuk berbagi pengalaman.
Mengajar Generasi Z dan Alpha memang menantang. Tapi jika kita mampu mendengarkan mereka, mempelajari dunia mereka, dan mengaitkannya dengan nilai-nilai luhur yang kita yakini, maka kita tidak hanya mencetak generasi cerdas, tapi juga generasi yang bijaksana.
Teknologi adalah alat. Guru adalah jantungnya. Pendidikan yang hebat bukan tentang siapa yang paling cepat berubah, tetapi tentang siapa yang paling mampu menjaga esensinya memanusiakan manusia, bahkan di tengah derasnya arus digital.
Kegiatan guru sedang mendampingi siswa belajar di kelas, Foto : Dokumen SD No. 3 Legian
ADVERTISEMENT