Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
UKT: Uang Kuliahku Tinggi Di Masa Pandemi Covid-19
8 Juni 2020 11:08 WIB
Tulisan dari I Made Marta Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya melanda sektor kesehatan dan ekonomi, namun juga berdampak pada sektor pendidikan yang menimbulkan berbagai polemik. Misalnya saja polemik yang sedang hangat saat ini yaitu masifnya gerakan mahasiswa menuntut adanya relaksasi kebijakan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Isu ini sangat mendesak untuk disikapi mengingat sebentar lagi tahun ajaran baru dimulai dan kondisi finasial orang tua/wali mahasiswa belumlah stabil, justru sedang sangat terpuruk. Disisi lain, membayar UKT adalah kewajiban mahasiswa agar tetap berstatus sebagai mahasiswa aktif dan dapat melanjutkan studinya. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian utama seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, nasib berkata lain, tuntutan mahasiswa hanya menjadi angin lalu bagi birokrat kampus.
ADVERTISEMENT
Dasar Hukum Penentuan Uang Kuliah Tunggal
Di perguruan tinggi ini, tuntutan mahasiswa telah dilansungkan sejak kebijakan Studi From Home (SFH) dikeluarkan. Bukan tanpa alasan, tuntutan untuk merelaksasi pembayaran UKT dengan memotong nominal atau bahkan menggratiskan mahasiswa dengan kategori UKT tertentu. Hal ini mengingat kondisi finasial mahasiswa yang sedang terpuruk dan pengeluaran kampus menjadi tidak banyak. Mengapa? Karena dengan adanya kebijakan SFH hampir seluruh fasilitas kampus tidak digunakan dan biaya operasional yang harusnya dikeluarkan secara penuh dapat ditekan oleh pihak kampus. Sehingga cukup rasional adanya kebijakan pemotongan UKT atau bahkan penggratisan bagi mahasiswa yang kurang mampu. Kebijakan ini bukan merupakan keniscayaan apabila birokrat kampus tersebut memahami kondisi kesejahteraan mahasiswa dan memiliki rasa empati serta kepedulian dengan nasib studi mahasiswanya.
ADVERTISEMENT
Bahwa semenjak diterapkannya sistem UKT melalui Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2016 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah menimbulkan banyak problematika dalam perjalanannya. Meskipun telah dilakukan beberapa kali perubahan untuk menindak lanjuti tuntutan masyarakat atau evaluasi yang dilakukan oleh kementerian terkait belum mampu memuaskan mahasiswa. Perlu dipahami bahwa UKT merupakan bagian dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang dasarnya menggunakan sistem subsidi silang. Artinya, setiap mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi yang beragam dapat membayar beban UKT sesuai dengan kemampuan finasialnya agar tetap dapat menikmati pendidikan. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, memberikan dampak pemerataan untuk setiap mahasiswa dan membantu mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Meskipun pada tataran praktis, penentuan kategori UKT bagi beberapa mahasiswa diberbagi perguruan tinggi mendapat sorotan tajam, termasuk di perguruan tinggi ini. Hal ini dipicu oleh sikap tertutupnya birokrat kampus mengenai penentuan kategori UKT bagi mahasiswanya sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Birokrat kampus perlu mengingat bahwa pendidikan tinggi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga diharapkan penentuan kategori UKT harus berdasarkan asas penyelenggaran Pendidikan Tinggi sebagaimana tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yaitu asas keadilan dan keterjangkauan. Selain itu, juga ditegaskan dalam Pasal 6 UU Dikti bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan pada prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Serta keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.
Jika memang birokrat kampus amanah menjalankan ketentuan UU Dikti ini, yang mengatur tegas asas dan prinsip penyelanggaraan pendidikan tinggi termasuk dalam menentukan kategori UKT tentu akan tercipta keadilan bagi seluruh mahasiswanya. Akan tetapi, realitas berkata lain, birokrat kampus tampaknya tidak amanah terlihat dari cara memalingkan badan dan menutup telinga atas apa yang menjadi tuntutan mahasiswa saat ini. Apakah benar isu yang beredar bahwa era komersialisasi pendidikan sudah merambah diseluruh perguruan tinggi di Indonesia? Mungkin saja iya, mungkin saja tidak, tetapi berdoa saja tidak, ya semoga saja.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi Pendidikan Di Perguruan Tinggi
Sebelum membahas komersialisasi pendidikan, perlu dipahami kembali esensi pendidikan sebagai sebuah kegiatan pembekalan bagi seorang manusia untuk dapat berkontribusi di dalam masyarakat. Mengingat bahwa pendidikan merupakan sarana yang memfasilitasi seseorang untuk memperoleh ilmu, keterampilan, dan kemampuan. Bilamana akhirnya esensi tersebut ternodai oleh berkembangnya era komersialisasi pendidikan. Perlu dipahami bahwa istilah komersialisasi pendidikan terdapat 2 (dua) pengertian yang berbeda.
Pertama, komersialisasi pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah keadaan dari suatu lembaga pendidikan yang memiliki program serta perlengkapan yang mahal. Artinya pendidikan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan finansial yang kuat. Sedangkan pengertian kedua dari komersialisasi pendidikan yaitu merujuk pada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan pengutan uang kepada mahasiswa dengan nominal yang tinggi, namun mengabaikan kewajiban penyelenggaran pendidikan yang layak. Maknanya bahwa lembaga pendidikan hanya menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut. Merujuk pada pengertian tersebut, apabila kedua konsep komersialisasi pendidikan tersebut benar-benar terjadi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, tentu ini akan berdampak buruk. Hal ini karena, komersialisasi pendidikan dapat merongrong standar akademik, semangat kolegialitas dan kepercayaan di antara anggota sivitas akademik, serta komersialisasi pendidikan juga merusak citra universitas di mata publik khususnya mahaiswa sebagaimana yang saat ini tengah terjadi di berbagai kampus.
ADVERTISEMENT
Apakah komersialiasi pendidikan menjadi sebuah keharaman yang dihalalkan berbalut legalitas semu? Apakah sikap bungkam dan pasrah dalam keadaan seperti sekarang ini adalah tindakan yang tepat? Memang ada situtasi saat idealitas terbentur realitas, akan tetapi apa gunanya kesadaran yang tidak disertai dengan tindakan? Untuk itu, jika tuntutan relaksasi UKT masih terabaikan tindakan berdiam diri bukanlah jawabannya, melainkan perjuangkan hingga jeritan getir terdengar dan mengetuk pintu hati nurani birokrat kampus yang selama ini abai. Jangan biarkan komersialisasi pendidikan hadir di dunia pendidikan bangsa ini karena akan melunturkan semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
I Made Marta Wijaya, S.H.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana
Direktur Bidang Konsultasi & Bantuan Hukum PPLA
ADVERTISEMENT
CEO Anja Future Academy