Kala Batas Negeri Menjadi Guru Terbaik

Konten dari Pengguna
20 Agustus 2018 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Made Oka Wardhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pukul 2 pagi kala itu saat alarm di ponsel berbunyi, saya harus segera mandi dan bersiap siap agar tidak tertinggal penerbangan pukul 5.30 pagi. Pagi itu saya beserta rekan-rekan kantor yang sedang menjalani Pendidikan dan pelatihan akan bertolak ke Belu, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Kami selama 4 hari akan melakukan pelayanan masyarakat disana, mulai dari mengajar adik-adik SD, SMP, SMA sampai berbagi pengalaman dengan Mahasiswa dan Kepala Sekolah, selain itu banyak kegiatan lain yang cukup padat.
ADVERTISEMENT
Awalnya saya dan teman-teman sempat ragu mengenai program ini, karena kami berpikiran apa yang akan kami lakukan disana? Apakah akan membawa manfaat, atau hanya program yang membuang buang waktu dan biaya, apalagi ditambah sehari sebelum keberangkatan, seluruh peserta harus menghadapi ujian akhir dari pelatihan kami ini. Banyak yang berpikiran dari kami agar program ke Belu dibatalkan saja atau diundur karena sangat mepet dengan ujian akhir. Namun panitia tetap bersikeras bahwa program Belu harus tetap jalan.
Singkat cerita kami yang berjumlah 31 orang berangkat dari Jakarta menuju Kupang, meggunakan maskapai penerbangan nasional, kebetulan rute Jakarta-Kupang dilayani dengan menggunakan pesawat kecil nan ramping yaitu Bombardier CRJ-1000 Next Gen. Dari situ saja banyak teman-teman termasuk saya sudah kembali sedikit mengeluh mengapa pesawatnya kecil sekali dan tidak ada system hiburan personal nya. Rasa ragu itu semakin menjadi jadi, apalagi dari Kupang menuju Belu, kami akan melanjutkan penerbangan singkat dengan menggunakan pesawat ATR-72 60, sebuah pesawat turboprop, yang membuat beberapa orang dari kami agak takut karena baru pertama kali terbang menggunakan pesawat baling-baling.
ADVERTISEMENT
Tiba lah kami siang itu di Bandara A.A Bere Tallo, Atambua, sebuah bandara mungil nan sederhana. Sebelum mendaratpun kami diberikan sedikit “suguhan” turbulence yang menyebabkan pesawat bergoyang goyang agak keras sebelum touchdown di landasan. Semakin kami meragukan program ini.
Setelah hari pertama kami beristirahat, keesokan harinya dimulailah kegiatan pelayanan masyarakat kami. Pertama-tama rombongan berkumpul di SMPN 1 Atambua untuk melakukan apel pagi. Setibanya disana ternyata diluar dugaan, kami disambut bak artis ternama, mereka membuat barisan di sisi kiri dan kanan dan kami masuk sambil menyalami mereka satu persatu dan sementara kami berjalan masuk, anak-anak tersebut mengiringi kami dengan tepukan tangan. Ahh sungguh takjub hati ini mengingat kami, terutama saya belum pernah diperlakukan seperti ini. Dalam apel pagi, kepala sekolah sangat menghargai dan merasa terhormat bahwa sekolah mereka dipilih untuk dijadikan salah satu tempat program pelayanan masyarakat kami.
ADVERTISEMENT
Kami pun mulai mengajar di kelas masing-masing, kebetulan kami dijadwalkan untuk mengajar kelas SMP (kelas XII) bersama 9 orang teman lainnya sementara teman-teman lainnya dibawa ke SD dan SMP berbeda yang tidak jauh tempatnya. Selama mengajar kami jadi mengerti bahwa kondisi mereka yang tinggal di perbatasan dan jauh dari fasilitas yang mumpuni namun tetap memiliki cita-cita yang tinggi dan bersemangat untuk mencapainya. Beberapa tugas yang kami berikan dijawab dengan benar dan cepat oleh anak-anak itu, dan tidak ada kesan mereka malas-malasan dalam mengikuti materi yang disampaikan.
Salah satu dari mereka pada saat ditanyakan cita-citanya menyampaikan ingin menjadi pengusaha dan saat ditanyakan alasannya jawabannya adalah karena dia ingin bebas bekerja tanpa ada ikatan ruang dan waktu. Untuk saya jawaban itu sangat luar biasa bagi seorang anak SMP di perbatasan dimana fasilitas, kemampuan finansial, dan informasi yang sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Selain mengajar di sekolah kami juga berkesempatan bertemu dengan 150 orang kepala sekolah yang ingin mendengar pengalaman kami. Pada kesempatan itu beberapa dari teman kami pun menyampaikan pengalamannya pada saat mereka beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di luar negeri. Hal ini sangat disambut baik oleh para kepala sekolah.
Selain kami yang berbagi pengalaman ada seorang guru yang berkesempatan juga untuk menceritakan bahwa anaknya saat ini sedang persiapan untuk berangkat ke Inggris karena mendapatkan beasiswa LPDP, sang ibu menceritakannya dengan penuh semangat dan haru. Beberapa Kepala Sekolah juga menyampaikan pesannya agar Pemerintah Pusat dapat memberikan perhatian lebih terhadap Pendidikan di daerah perbatasan yang seringnya luput dari perhatian Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun kemudian membuat saya menyadari bahwa dengan kondisi alam yang kering, kondisi ekonomi yang sulit serta minimnya fasilitas masih banyak saudara-saudara kita yang memiliki kemampuan namun tidak memiliki kesempatan karena keadaan-keadaan sulit diatas, sudah sebaiknya kita yang saat ini masih diberi kemudahan tidak menyia nyiakan kesempatan yang ada. Pekerjaan Rumah kita masih banyak, ketimpangan ekonomi masih terjadi, tugas kita sebagai bangsa adalah untuk membantu sesama dan meringankan beban saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Pengalaman diatas membuat kami yang tadinya meragukan program ini berubah menjadi rasa bersyukur atas program ini. Banyak pelajaran yang dapat diambil dan kesimpulan yang dapat saya ambil dari perjalanan ini adalah fokuslah membangun Indonesia, fokuslah memperbaiki Indonesia yang sudah semakin membaik karena dengan potensi yang saya saksikan sendiri di batas negeri, saya yakin Indonesia akan menjadi negara besar dan maju. Terima kasih Belu, telah menjadi guru terbaik.
ADVERTISEMENT