Konten dari Pengguna

Cicipi Buah Manis Demografi: Indonesia Perlu Belajar dari China

I Putu Arya Aditia Utama
Arya saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Genre Indonesia yang fokus dalam isu pembangunan keluarga dan kependudukan. Selain itu, Arya juga bekerja sebagai Tim Staf Khusus Kemenpora RI yang fokus dalam pengembangan strategi kepemudaan.
17 April 2025 15:42 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Arya Aditia Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini memiliki momentum yang sangat strategis karena sedang berada pada fase bonus demografi. Bagi yang belum tahu bonus demografi, ada kutipan yang mudah dipahami dari UNFPA yang menjelaskan bonus demografi sebagai kondisi pergeseran struktur usia penduduk dengan dominasi usia produktif atas usia non-produktif. Indonesia dikatakan berada pada fase ini karena jumlah penduduk usia produktif (15 - 64 tahun) mencapai 69,58% (196,5 juta jiwa) dari total populasi (282 juta jiwa) per Juni 2024.
Selama ini, narasi yang beredar di media menyatakan bahwa Indonesia sedang menikmati bonus demografi. Namanya menikmati, artinya kondisi ini memberikan manfaat bagi kemajuan negara. Pertanyaannya, apakah Indonesia benar-benar sedang menikmati bonus demografi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari analisis kondisi pertumbuhan ekonomi sejak awal Indonesia berada di fase ini. Dari tahun 2012 sampai saat ini, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di angka 4,75%. Padahal, dengan bonus demografi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya dapat lebih jauh melampui angka tersebut. Bahkan, pertumbuhan ekonomi 8% bukanlah hal yang mustahil dicapai oleh Indonesia. Lantas, apa yang yang menyebabkan Indonesia belum dapat secara optimal menikmati buah manis dari Bonus Demografi?
Sumber: Dokumentasi pribadi dari I Putu Arya Aditia Utama dalam agenda Genre Indonesia (Edukasi Gizi dan Bagi-Bagi Makanan Bergizi Gratis)
Perlu Belajar dari China
ADVERTISEMENT
China adalah salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia dan telah berada di fase bonus demografi sejak tahun 1978 dan puncaknya berada di tahun 2020 yang menyentuh sampai di angka 998 juta jiwa usia produktif. Selama berada di fase tersebut, China fokus pada sektor-sektor fundamental yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan bonus demografi. Kunci suksesnya adalah dengan memperbaiki layanan kesehatan, meningkatkan kualitas pendidikan, mendorong kemandirian anak muda, dan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.
Melalui White Papper yang dirilis oleh pemerintah China dalam peringatan 100 tahun Communist Youth League of China (CYLC) dengan judul Youth of China in the New Era, disampaikan berbagai capaian mengenai pembangunan manusia khususnya anak muda selama 100 tahun yang juga menjadi kunci optimalnya pemanfaatan bonus demografi. Pertama, pada sektor layanan kesehatan, China sangat berfokus dalam pemenuhan nutrisi melalui program Nutrition Improvement Program di area miskin dan perdesaan (dari tahun 2011 sampai 2020 telah mengintervensi 131.600 sekolah dan memberikan manfaat kepada 38 juta siswa); penguatan kesehatan fisik dengan meningkatkan jam pelajaran olahraga di kelas; dan meningkatkan kesehatan mental melalui layanan kesehatan mental yang gratis.
ADVERTISEMENT
Kedua, pada sektor pendidikan. China fokus untuk meningkatkan kualitas pendidikan karena China percaya bahwa knowledge can shape one's future and education may change one's life. Yang dilakukan oleh pemerintah China adalah memberikan bantuan biaya sekolah dari sekolah dasar sampai pasca sarjana dengan pembiayaan penuh; mendorong siswa dengan kondisi miskin dan berada di perdesaan untuk menempuh pendidikan tinggi; dan memperkuat pendidikan informal, salah satunya melalui MOOC (Massive Open Online Course).
Ketiga, pada sektor pekerjaan. China fokus dalam membuka kesempatan kerja seluas-luasnya serta mendorong anak mudanya untuk bersaing secara global. Saat ini, opsi karir di China juga sudah sangat beragam, bukan lagi hanya fokus pada sektor konvensional melalui industri, pertanian, militer, tetapi juga sudah mulai melebar ke industri modern. Selain itu, proyeksi angkatan kerja di China tidak hanya bersaing di dalam negeri, tetapi juga memiliki daya saing global sehingga kesempatan kerja semakin meluas dan angkatan kerja produtkif dapat terserap dengan baik.
ADVERTISEMENT
Keempat, pada sektor kemandirian anak muda. China fokus dalam membentuk ekosistem kepemudaan yang inklusif dan berkualitas. Melalui pemerintahnya, organisasi dan komunitas kepemudaan di dorong untuk terus berkreativitas dan konsisten dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Keseriusan pemerintah dalam mengembangkan ekosistem kepemudaan berdampak terhadap meningkatnya tren anak muda di China dalam kegiatan sosial. Selanjutnya, upaya pemerintah dalam mendorong kemandirian pemuda juga ditujukkan dari seriusnya program-program kewirausahaan dan pengembangan bisnis pemula yang digagas oleh pemerintah. Terbukti, dengan beragam inovasi teknologi dan industri kreatifnya, anak-anak muda China menghasilkan produk yang berdaya saing global dan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi China (terbukanya lapangan pekerjaan yang baru dan menambah pemasukan negara).
Fokus China terhadap empat sektor esensial tersebut membawa China dapat mencicipi buah manis dari Bonus Demografi. Pertumbuhan ekonomi China dalam kurun waktu 1992 - 2021 berada di rata-rata 9,24% dan rekor tertingginya pernah mencapai angka 14,3%. Tidak mengherankan bahwa China sekarang muncul sebagai negara yang secara ekonomi mampu menyaingi atau bahkan menyalip Amerika Serikat. Beginilah dahsyatnya buah manis dari bonus demografi apabila disikapi dengan strategi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan China dalam memanfaatkan bonus demografi harus menjadi pelajaran dan cerminan bagi negara-negara yang juga sedang berada di fase ini, termasuk Indonesia. Jangan sampai bonus ini berubah menjadi bencana. Yang awalnya menguntungkan ternyata memberikan kerugian. Maka, Indonesia perlu refleksi.
Indonesia Perlu Refleksi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia perlu refleksi kembali mengenai langkah-langkah strategis dalam memanfaatkan bonus demografi. Wajar saja Indonesia belum menikmati bonus demografi karena kondisi kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kemandirian pemuda di Indonesia masih jauh dari kata berkualitas.
Pertama, dalam konteks kesehatan, sebetulnya ada banyak persoalan yang dapat dibahas, tetapi salah satu persoalan yang paling fundamental adalah tingginya angka stunting di Indonesia. Sampai saat ini, meskipun angka stunting terus mengalami tren penurunan, tetapi angkanya masih tergolong tinggi karena belum memenuhi capaian nasional (angka stunting tahun 2023 sebesar 21,5% sedangkan target nasional tahun 2024 sebesar 14%). Selain stunting, masalah kesehatan yang juga terjadi di Indonesia berkaitan dengan kesehatan fisik yang mana Indonesia masuk sebagai negara dengan aktivitas fisik terendah di dunia. Yang tidak boleh luput dari perhatian juga adalah masalah kesehatan mental dimana 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, buruknya kesehatan gizi, fisik, dan mental dari masyarakat Indonesia yang didominasi oleh usia produktif menjauhkan kesempatan Indonesia untuk dapat mencicipi buah manis demografi.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam aspek pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh seorang profesor di Harvard menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan waktu hingga 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di negara-negara maju. Sungguh realitas yang menyayat hati karena begitu terbelakangnya pendidikan di negara ini. Perlu diakui bahwa negara telah bekerja keras dalam memajukan pendidikan, tetapi perlu juga disadari bahwa upaya tersebut masih belum dapat menjawab mengenai terbatasnya akses pendidikan, sistem yang terus bergonta ganti, kesejahteraan guru yang belum optimal, dan infrastruktur yang belum memadai. Ketika China telah fokus dalam memastikan terjaminnya pendidikan bagi generasi masa depannya, Indonesia masih belum selesai dengan persoalan pemerataan kualitas pendidikan. Sampai saat ini, proporsi masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi pada tahun 2024 hanya 6,82% dari total penduduk. Dari kondisi ini saja sudah bisa dilihat seberapa tertinggalnya pendidikan Indonesia dengan negara lain sehingga berdampak kepada angkatan produktif yang memiliki daya saing yang lemah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pada sektor pekerjaan yang layak. Masalah lapangan pekerjaan di Indonesia adalah persoalan klasik yang perlu mendapatkan atensi khusus. Bayangkan saja, setiap tahunnya rata-rata jumlah angkatan kerja yang masih segar dari lulusan perguruan tinggi mencapai 1,2 juta sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia hanya 300 - 400 ribu. Tidak mengherankan apabila jumlah pengangguran di Indonesia masih tinggi mencapai 7,4 juta orang. Selain itu, rendahnya daya saing SDM Indonesia juga berpengaruh terhadap sedikitnya serapan tenaga kerja di luar negeri sehingga menjadi salah satu penyebab dari menumpuknya angka pengangguran di Indonesia. Sedikitnya jumlah lapangan pekerjaan yang layak dapat disebut sebagai penyebab utama Indonesia belum mencicipi bonus demografi karena besarnya usia produktif tidak diberdayakan dengan baik sehingga secara tidak langsung menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Keempat, pada sektor kemandirian pemuda. Indonesia masih lemah dalam hal ini, salah satu tolak ukurnya dapat dilihat dari rendahnya angka kewirausahaan di Indonesia. Melalui laporan yang dirilis oleh pemerintah, rasio kewirausahaan Indonesia (jumlah wirausaha dibandingkan dengan total angkatan kerja) sekitar 3,35%. Padahal, usia produktif di Indonesia sangatlah besar dan dominan. Logikanya, besarnya jumlah usia produktif seharusnya sejalan dengan banyaknya kegiatan produktif yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi di Indonesia terjadi sebaliknya karena negara dibebankan oleh kehadiran angkatan usia produktif yang tidak produktif.
Melalui refleksi singkat tersebut, sudah sewajarnya Indonesia perlu refleksi sejenak mengenai bonus demografi yang selalu didengungkan sejak tahun 2012. Apakah dominannya jumlah usia produktif ini benar-benar akan menjadi bonus atau menjadi bencana demografi? Bangsa ini sedang menghadapi kesempatan dan ancaman pada waktu yang bersamaan. Tinggal memilih dan mempertegas langkah, apakah akan mengambil kesempatan emas ini atau menerima resiko dari ancaman yang ada.
ADVERTISEMENT
Indonesia Harus Optimis
Periodisasi presiden di Indonesia baru saja bertransisi yang mana dibawah presiden yang baru, masih terhembus angin segar optimisme. Melalui Asta Citanya, Presiden Prabowo Subianto dengan tegas mendorong pertumbuhan ekonomi 8% dan fokus dalam pembangunan sumber daya manusia (melalui program makan bergizi gratis, peningkatan jam olahraga di sekolah, dan mendorong kewirausahaan pemuda). Target ini mungkin terdengar ambisius di tengah kondisi Indonesia yang jauh panggang dari api, tetapi saya memandang bahwa sudah sewajarnya Indonesia berada di posisi tersebut. Berada di kondisi pertumbuhan ekonomi yang 8% bahkan lebih, memiliki generasi masa depan gemilang dengan kesehatan fisik dan mental yang baik, dan terberdayakannya angkatan usia produktif melalui penciptaan kesempatan lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang mustahil untuk Indonesia ada di posisi tersebut. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia serius ingin mencicipi nikmatnya bonus demografi? Apabila serius, waktu masih belum terlambat dan perubahan masih dapat segera dilakukan. Indonesia hanya perlu meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kemandirian pemuda. Meskipun optimis, tetapi narasi optimisme ini harus diiringi dengan langkah-langkah strategis yang dijiwai komitmen dan keseriusan. Negara tidak bisa sendiri, membutuhkan gotong royong dengan seluruh mitra termasuk masyarakat sehingga seluruh langkah yang diambil dapat tersinkronisasi dengan baik dan mendorong terwujudnya ekosistem pembangunan yang berkelanjutan.
Yang terpenting, meskipun Indonesia memiliki karakteristik dan persoalannya sendiri, tetapi Indonesia perlu banyak belajar dari negara lain. Negara yang paling tepat untuk dijadikan referensi belajar adalah China karena Indonesia dan China sama-sama pernah berada di fase bonus demografi, memiliki wilayah yang luas, dan jumlah penduduk yang besar. Dengan demikian, sudah tentu akan banyak terdapat kesamaan variabel dalam proses pembelajaran tersebut. Selebihnya, rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah untuk mengakselerasi pemanfaatan bonus demografi akan dibahas melalui tulisan lainnya.
ADVERTISEMENT