Etiskah 'Menyidang' Guru di Depan Murid?

I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa
Kepala Sekolah di SD No. 2 Penarungan, Guru Penggerak Kemdikbudristek, Alumni Pascasarjana Undiksha.
Konten dari Pengguna
9 November 2023 18:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru sekolah anak Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru sekolah anak Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini viral di media sosial, seorang senator Bali datang ke beberapa sekolah. Dengan berapi-api dan pasang badan membela siswa, sembari menyiratkan bahwa sekolah dalam menegakkan disiplin haruslah berdasarkan aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Sebagai guru yang open minded, tentu saja kedatangan seorang legislator ke lingkungan sekolah adalah suatu penghargaan dan kehormatan bagi warga sekolah, termasuk guru dan siswa. Jika memang itu tujuannya, maka proses mendidik siswa akan semakin bersinergi, karena tidak hanya guru yang bekerja keras, namun juga didukung oleh para anggota dewan perwakilan daerah yang terhormat.
Hanya saja, banyak pihak meragukan ini tidak murni sebagai bentuk dukungan untuk mewujudkan sekolah sebagai rumah kedua yang memberi rasa aman dan nyaman kepada siswa, namun lebih pada unsur politik yang bisa berbuntut tragedi jangka panjang jika tidak saling refleksi diri.
Bayangkan pada momen yang telah terjadi, guru-guru “disidangkan” langsung di depan siswa, mempertontonkan ketidakberdayaan dan kekuranglayakan guru sebagai pengajar. Momen ini seharusnya tidak menjadi tontonan murid atau khalayak banyak.
ADVERTISEMENT
Ini tidak hanya terjadi di satu sekolah, berbagai sekolah. Apabila terus terjadi, ini disinyalir sebagai bentuk dan upaya diskriminasi terhadap profesi guru secara sengaja.
Ilustrasi guru di sekolah inklusi. Foto: Shutter Stock
Banyak yang tak paham tugas pokok dan fungsi guru yang dianggap hanya sekedar pengajar. Padahal guru punya 7 tugas pokok yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi.
Ketujuh peran ini mengandung proses keberlanjutan yang tak hanya berlangsung sehari dua hari, namun perlu pembiasaan. Jangan tugas mulia ini malah dipatahkan dengan “penganiayaan” karakter guru buntut dari ego sektoral yang pastinya menjadi ancaman eksistensi guru sebagai pendidik profesional.
Masih segar dalam ingatan, di penghujung tahun 2020, ketika seorang guru menulis soal dengan “mempertengkarkan” karakter Megawati dan Anies. DPRD DKI Jakarta juga melakukan pemanggilan, itupun dilakukan tidak serta merta, namun melalui proses yang cukup panjang.
ADVERTISEMENT
Perbedaannya di sini terletak pada profesionalismenya, di mana proses “penyidangan” guru tidak dilakukan di depan siswa, namun dihadapkan di depan orang-orang yang memiliki kapabilitas.
Apabila mengutip aspek psikologis sebagaimana ditulis Boldsky (2020), memarahi seseorang di depan umum hanya akan menimbulkan perasaan malu, berdampak negatif pada perkembangan psikososial, menimbulkan perasaan tidak aman, dan dampak negatif lainnya.
Jika memang sang legislator concern dalam bidang pendidikan, semestinya dialog dilakukan di ruang tertutup bersama para pendidik.
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
Ruang akademis adalah ruang yang beretika dan sopan santun. Apalagi siswa SD secara psikologis berada pada masa operasional konkret (melakukan sesuatu berbantuan media) dan SMP pada tahap operasional formal (mulai belajar logika untuk mengerjakan sesuatu).
Masa operasional konkret dan operasional formal semestinya ditanamkan lebih banyak etika dan sopan santun, karena di masa yang lebih dewasa, akan ditambah pembelajarannya tentang berlogika/bernalar kritis.
ADVERTISEMENT
Kurikulum merdeka pun mengamanatkan adanya penguatan profil pelajar Pancasila, yang salah dua isinya adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Di sisi lain, siswa juga harus bernalar kritis.
Jadi, aspek akhlak mulia tidak bisa diabaikan begitu saja dengan dalih siswa harus berani berdebat dengan guru. Keberanian harus diimbangi dengan etika dan budaya yang bermartabat.
Harus diberikan porsi yang tepat berdebat dalam konteks akademik, etika yang menyertainya, termasuk apabila menginginkan evaluasi guru sebagai pengajar.
Dampak iringan jika diskriminasi di atas terus terjadi berjilid-jilid diprediksi tidak main-main. Sudah banyak pengaduan dari rekan sejawat dan pengawas sekolah bahwa metode “sidang terbuka” yang diterapkan akhir-akhir ini untuk mengadili guru menggerus kepercayaan siswa terhadap guru.
ADVERTISEMENT
Siswa mengabaikan guru, dan begitu juga sebaiknya guru pun enggan menanamkan disiplin secara serius karena takut viral. Belum lagi ada stigma negatif yang diterima guru di mata masyarakat karena sudah “terkenal” di penjuru media sosial.
Kita tentu tidak ingin ada pembiaran oleh guru karena takut mendidik siswa. Kurikulum sebaik apapun tidak akan berdampak sempurna jika tidak didukung oleh semua pihak.
Salah satu fungsi legislatif adalah check and balance, namun kita cenderung melihat unsur “check” nya. Aspek “balance” atau keberpihakan yang berimbang malah terabaikan demi populisme sesaat.
-------------------------------------------------------------
Penulis adalah Kepala SD No. 2 Penarungan, Pengurus PGRI Cabang Mengwi, Alumni S-2 Pendidikan Dasar Undiksha, serta aktif menulis opini di berbagai media nasional dan lokal.
ADVERTISEMENT