Menanamkan Disiplin Positif pada Anak

I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa
Kepala Sekolah di SD No. 2 Penarungan, Guru Penggerak Kemdikbudristek, Alumni Pascasarjana Undiksha.
Konten dari Pengguna
9 Mei 2023 20:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak belajar berbagi. Foto: Chay_Tee/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar berbagi. Foto: Chay_Tee/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hadirnya anak dalam keluarga merupakan buah kebahagiaan yang menghiasi relung hati para orang tuanya. Tanpa kita mintapun, anak-anak nantinya akan tumbuh sesuai kodrat alam dan kodrat zamannya. Salah satu faktor yang paling menentukan masa depan anak adalah pembentukan karakter disiplin, yang mana peran orang tua sangat signifikan dan harus dimulai sejak anak itu lahir.
ADVERTISEMENT
Dalam menanamkan disiplin anak, lumrah kita lihat di sekeliling kita, sebagian orang tua memarahi anak hingga menangis tersedu-sedu sehingga kapok melakukan suatu kesalahan. Ada juga anak yang dibiarkan saja, yang menurut versi mereka (orang tua) akan membuat anak mencari sendiri pengalaman terbaik untuk dirinya. Benarkah demikian?
Sebelum kita menjawab itu, ada yang harus kita garis bawahi bahwa tidak semua orang tua memiliki pengetahuan yang cukup tentang mendidik anak dengan benar. Itu bisa dimaklumi karena belum ada sekolah formal yang dirancang khusus mengajarkan para orang tua bagaimana mempersiapkan pernikahan dan menjadi pendidik untuk anak-anaknya.
Padahal penanaman disiplin merupakan kunci dasar anak-anak bisa melakukan aktivitas lain dengan baik, bermakna dan menumbuhkan harapan masa depan yang cemerlang. Dari banyaknya teknik penanaman disiplin, maka disiplin positiflah yang dirasa bisa menanamkan karakter disiplin anak secara sadar, suka rela dan menumbuhkan integritas berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Metode disiplin positif ini dikembangkan oleh Jane Nelsen, yang pada hakikatnya merupakan penanaman perilaku disiplin dengan menyadarkan anak tanpa kekerasan maupun ancaman, serta mengedepankan komunikasi yang baik orang tua terhadap anak.
Misalnya, saat anak mengambil pisau dapur untuk mainan, lalu dengan penuh emosi orang tua memberi bentakan ke anak. Jika dengan bentakan orang tua dianggap membuat anak menjadi penurut, maka pascabentakan itu, anak akan takut bahkan trauma jika melakukan kesalahan di depan orang tuanya.
Dampak negatifnya, anak mungkin berusaha untuk tidak membuat kesalahan di rumah, namun anak cenderung akan melampiaskan emosinya di tempat lain dengan orang lain pada waktu lainnya. Ini terjadi karena anak melakukannya dengan paksarela (tidak memahami dan melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran).
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan disiplin positif yang mengajak anak duduk bersama, berbicara dengan penuh kasih sayang, tanamkan pengertian dan tanyakan pada anak, bagaimana akibatnya jika membawa pisau? Anak akan menyadari bahaya yang bisa terjadi apabila bermain dengan pisau. Selain itu, secara psikologis tidak ada rasa dendam yang memicu aksi balas dendam, seperti melakukannya pada momen yang lain.

Membedakan Pujian dan Dukungan

Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Shutterstock
Hal yang menjadi karakteristik dalam disiplin positif adalah pemberian dukungan bagi anak dalam melakukan aktivitasnya. Seringkali dukungan dianggap sama dengan pujian, namun sebenarnya pujian dan dukungan memiliki perbedaan.
Carol Dwek pernah melakukan penelitian bahwasanya pujian bukanlah sesuatu yang baik untuk anak. Ada kecenderungan bahwa memberi pujian akan membuat anak menjadi gila pujian. Anak yang terbiasa dipuji ketika melakukan perbuatan baik, akan mengalami beban emosional secara psikologis apabila tidak dipuji setelah melakukan perbuatan baik. Namun, anak yang dididik dengan disiplin positif tidak melakukan perbuatan baik hanya untuk mendapatkan pujian, namun karena kesadaran dan integritas.
ADVERTISEMENT
Dalam sepintas tidak ada perbedaan yang mencolok antara pujian dan dukungan. Namun, jika disimak dengan fokus ada beberapa hal yang menjadi perbedaan utama. Pertama, pujian berkaitan pada persetujuan atau penghargaan dari orang lain, sementara dukungan merupakan penanaman terhadap hal yang dialami atau dirasakan oleh diri sendiri.
Kedua, pujian membuat anak untuk berbuat hal baik demi orang lain, sementara dukungan menggiring anak untuk merefleksi diri sendiri atau berubah untuk diri sendiri. Ketiga, pujian berfokus pada pelaku, misalnya “anak hebat”, sementara dukungan fokus pada perilaku atau sikap, misalnya “semangat dan usahamu luar biasa”.
Tidak mudah untuk menanamkan disiplin positif. Bahkan orang tua yang memahami teori tentang disiplin positif pun kadang kala belum bisa menerapkannya dengan baik. Namun ini tidaklah berarti mustahil. Penerapan disiplin positif memerlukan konsep yang benar, kesabaran yang tinggi, keikhlasan untuk mendidik dengan hati nurani, serta dukungan dari lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Saat ini, penanaman disiplin positif telah diimbaskan di sekolah-sekolah penggerak, maupun pada pendidikan guru penggerak. Momen ini akan bersinergi jika para orang tua juga memahami dengan benar dan berkomitmen dalam menjaga prinsip-prinsip disiplin positif.
Disiplin positif sangat urgen dibentuk pada anak di masa sekarang, mengingat dampak disiplin positif akan menumbuhkan integritas yang tinggi pada anak. Bukankah itu yang kita butuhkan saat ini di tengah semaraknya kasus korupsi yang sedang melanda negeri ini?