Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Merdeka Belajar Itu Multiple Achievement, Bukan Juara Kelas
10 Juni 2023 9:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir tahun ajaran ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu siswa . Mereka berlomba-lomba menggapai juara kelas. Konon bagi mereka ini adalah prestise dan juga kebanggaan. Para orang tua tak jarang memberi target pada anaknya jika dapat juara kelas akan diberikan hadiah dan pernik-pernik lainnya.
ADVERTISEMENT
Kita lupa bahwa siswa sejak lahir memiliki bakat. Mereka bukanlah kertas kosong yang begitu masa sekolah, maka kertas itu bisa diisi sekehendak hati orang tua dan guru agar mereka jadi apa yang orang tua inginkan.
Padahal menurut filosofi Ki Hajar Dewantara yang juga Bapak Pendidikan Indonesia, siswa bukanlah kertas kosong. Mereka ibarat kertas putih yang telah tergores sketsa-sketsa bakat dan masa depan. Tugas kita adalah untuk menajamkan goresan sketsa itu sehingga menjadi sketsa yang jelas dan utuh. Insan pendidiklah yang nanti berkolaborasi dengan orang tua menebalkan sketsa itu.
Dengan kata lain, siswa sebenarnya telah memiliki bakat tertentu. Tugas kita untuk menajamkan bakat itu, memberikan stimulus yang maksimal, sehingga bakat-bakat itu benar-benar terasa agar semakin berguna di masa depan.
ADVERTISEMENT
Ternyata filosofi ini sudah diterapkan di negara-negara berpendidikan maju seperti Finlandia dan Swedia, hingga mereka paham betul bahwa setiap anak memiliki kodrat alam dan kodrat zamannya masing-masing yang harus kita kembangkan.
Jika diilustrasikan, seekor ikan akan kalah dalam lomba terbang dengan burung. Sebaliknya burung akan kalah jika lomba berenang dengan ikan. Ikan pun akan kalah lomba memanjat dengan monyet.
Beberapa teori psikologi pendidikan membuktikan bahwa setiap manusia memiliki bakat dan bakat itu sangat penting dalam menjalani kehidupan. Pendidikan bertujuan untuk memberi jalan dan stimulus agar para siswa selamat dalam menjalani kehidupannya kelak, di tengah perubahan perubahan yang terjadi dalam lingkup nasional maupun global.
Juara Kelas Belum Tentu Juara Masa Depan
Dalam pengamatan secara empiris, kita meyakini bahwa juara kelas bukanlah segalanya ketika siswa sudah lulus sekolah . Buktinya, banyak siswa dengan pencapaian akademis biasa saja justru bisa menjadi orang sukses dan pemimpin yang bijaksana di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Dalam filosofi Ki Hajar Dewantara itu, kita harus memberi ruang dan apresiasi pada berbagai bakat yang dimiliki oleh siswa. Sistem apresiasi dengan juara kelas atau ranking cenderung diterapkan dengan menitikberatkan pada kemampuan akademis, padahal anak-anak semuanya adalah istimewa dan memiliki bakatnya masing-masing yang harus kita kembangkan.
Oleh karenanya penting bagi kita menghargai berbagai bakat yang dimiliki anak. Itulah sebabnya kami di sekolah menggunakan multiple achievement sebagai acuan pemberian penghargaan untuk siswa. Berdasarkan observasi lapangan, hanya beberapa sekolah yang telah menerapkan ini, terutama di jenjang TK atau SD.
Padahal di level inilah titik kritis menuju pengembangan bakat anak. Di jenjang usia dini dan pendidikan dasar, belum dikenal istilah penjurusan. Ini menjadi momentum para pendidik untuk menggali potensi siswa sehingga bisa mengarahkan secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan di atas semakin kuat untuk mendorong kami menerapkan multiple achievement dalam menghargai jerih payah dan kodrat siswa sebagai manusia. Multiple achievement ini merupakan bentuk penghargaan berbagai kategori yang dianggap penting untuk manusia bertahan hidup serta meningkatkan kualitas hidupnya.
Apabila menilik delapan faktor yang paling menentukan kesuksesan seseorang menurut Thomas J. Stanley, yang pertama adalah kejujuran, diikuti dengan disiplin tinggi, mudah bergaul, dukungan pendamping, kerja keras, kecintaan pada pekerjaan, kepemimpinan dan kepribadian yang kompetitif.
Kecerdasan akademis bahkan tidak termasuk dari delapan faktor utama tersebut. Lalu mengapa kita hanya mengagungkan kecerdasan akademis semata?
Oleh karena itu, di sekolah setiap akhir semester dan akhir tahun, diberikan penghargaan berbagai kategori untuk siswa. Seperti siswa terbaik kategori akademis, kategori kejujuran, kategori kepemimpinan, kategori kerja keras, dan sebagainya. Penghargaan ini semakin lama semakin diperbanyak kategorinya disesuaikan dengan bakat yang dimiliki siswa.
ADVERTISEMENT
Kita harus segera lepas dari belenggu ranking kelas akademis semata. Para orang tua juga perlu diberikan pemahaman bahwa esensi kurikulum merdeka sebenarnya adalah merdeka belajar. Sebagian orang tua masih salah kaprah dalam mendorong bakat anak-anak mereka.
Misalnya jika siswa tersebut kurang dalam pembelajaran matematika, orang tua justru mendorong (bahkan memaksa) siswa untuk les matematika. Yang terjadi siswa justru semakin benci matematika. Padahal sebaiknya, yang dilihat adalah apa yang disukai siswa dan bakatnya.
Itulah yang seharusnya diberikan support untuk dikembangkan. Insan pendidik wajib mendorong orang tua mengidentifikasi bakat sang anak dari usia dini dan mengarahkannya untuk semakin berkembang.
Pemberian penghargaan terhadap siswa terbaik akademis adalah kewajiban bagi pihak sekolah dan guru, sama berharganya dengan bakat-bakat yang lain, seperti siswa terbaik kepemimpinan, kerja keras, kejujuran, keterampilan komunikasi dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Jika bakat ini dikembangkan secara optimal, kita yakin bahwa setiap siswa akan berusaha menjadi yang terbaik, serta mengembangkan bakat-bakat itu untuk menjadi terbaik di bidangnya masing-masing. Bukankah itu yang diperlukan untuk mendukung Indonesia Emas Tahun 2045. Belum terlambat untuk mewujudkan hal itu.